Quo
Vadis Densus Antikorupsi?
Hariman Satria ; Dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Kendari
|
KORAN
SINDO, 26 Oktober 2017
KORAN SINDO pada 24 Oktober
2017 memublikasi opini yang ditulis Bam bang Soesatyo (Bamsat) dengan tema
“Mengapa harus takut pada Densus Tipikor?” Inti gagasan Bamsat adalah bahwa
kehadiran Densus Tipikor tidak usah dimaknai berlebihan dan tidak akan
menimbulkan kegaduhan.
Dengan segala hormat, saya
harus mengatakan bahwa gagasan Bamsat tersebut perlu dijelaskan lebih jauh
agar tidak menimbulkan distorsi informasi di tengah khalayak. Apalagi ini
menyangkut isu seksi yang bernama korupsi. Saya memberi tema tulisan ini
adalah “Quo Vadis Densus Antikorupsi?“. Frasa quo vadis ber asal dari bahasa
Latin yang berarti “mau dibawa ke mana” sehingga arti harfiah tulisan ini
adalah “mau dibawa ke mana Densus Antikorupsi?”
Wacana Densus Antikorupsi
Tidak ada angin, tidak ada
hujan, tiba-tiba Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)
mencetuskan gagasan tentang pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi (Densus
Antikorupsi) yang menyandang tugas mulia, yakni memberantas korupsi. Bak gayung
bersambut, anggota Komisi III DPR RI bahkan mulai membahas anggaran untuk Densus
ini.
Tidak tang gungtang gung,
proyeksi anggaran setiap tahunnya berada dikisaran Rp2, 692 triliun.
Bandingkan dengan KPK yang anggarannya hanya Rp734,2 miliar. Demikian pula
Satgasus Kejaksaan Agung yang mengantongi dana operasional Rp140 miliar
setiap tahunnya. Bila dilihat dari jumlahnya, anggaran Densus Antikorupsi
tersebut memang fantastis, terutama dalam konteks sebagai lembaga yang baru
dibentuk.
Belum lagi bila dilihat
riwayatnya, detasemen ini berasal dari rahim kepolisian. Suatu lembaga yang
hingga kini prestasinya dalam pemberantasan korupsi masih jauh dari kata
cemerlang. Apalagi bila ditarik kebelakang, salah satu stimulan berdiri
kokohnya KPK di tengah amuk badai korupsi pada 1998 adalah karena
institusi-institusi penegak hukum yang diharapkan mampu memberantas korupsi
malah menjadi bagian yang perlu dibersihkan pula.
Dalam kosakata lain, jika
kepolisian dan kejaksaan mampu memproteksi aparaturnya dari virus korupsi,
KPK tidak perlu dibentuk. Lalu apa yang mendorong detasemen ini dibentuk?
Saya termasuk orang yang meyakini bahwa ada aktor-aktor yang ber usaha
mengganggu percepatan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Aktor-aktor tersebut bisa jadi
adalah kombinasi antara politisi busuk, pengusaha hitam, dan birokrat korup.
Sebab tidak ada urgensinya untuk membentuk suatu deta semen khusus
pemberantas korupsi.
Bila nawaitu nya adalah ingin
memberantas korupsi, me ngapa tidak menguatkan KPK saja? Saat ini KPK
misalnya butuh penguatan baik dari aspek anggaran, personil terutama penyidik
independen mau pun hal-hal yang lain.
Belum lagi ada potensi
terjadinya benturan antara KPK dan Densus Antikorupsi ketika nanti
masing-masing menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Pertanyaan yang mesti
dijawab juga, misalnya, adalah bagaimana jika praktik korupsi itu terjadi di
lingkungan Polri sendiri? Tentu saja Densus Antikorupsi akan sangat sulit
bertindak fair dan objektif. Di satu sisi ingin menegakan hukum dan membe
antas korupsi, tetapi di sisi yang lain Densus akan berhadap-hadapan dengan
kekuatan besar yang ada di lingkup internal Polri.
Pendeknya Densus akan mengalami
dilema, sebab ada conflict of interest. Imbasnya pemberantasan korupsi secara
internal jauh dari kata efektif. Karena itu saya menyarankan agar kita tidak
lagi membuang-buang energi dengan membentuk lembaga baru pemberantas korupsi.
Sudah saatnya seluruh daya
upaya kita fokuskan untuk mendorong KPK agar tetap konsisten memberantas
korupsi tanpa pandang bulu. Adapun pihak kepolisian kita dorong agar lebih
transparan dan objektif dalam menangani kasus korupsi.
Bila memang semangatnya adalah
ingin berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, anggota Komisi III DPR RI
yang terhormat itu seharusnya lebih da hulu menagih komitmen kepolisian
melalui pembe nah an internal. Sebab su dah men jadi rahasia umum bahwa ada
dugaan praktik korupsi yang sudah menggurita dikepolisian dan itu belum
pernah dituntaskan.
Kejaksaan dan KPK vs Densus Antikorupsi
Hadirnya Densus Anti Korupsi
sebetulnya menambah panjang daftar lembaga negara yang mengawasi uang negara
dari ancaman koruptor. Pasalnya sebelum detasemen ini mewacana, sudah ada 6
lembaga yang ditugasi mencegah dan memberantas korupsi, yakni ins pektorat,
BPKP, BPK, Bareskrim Polri, kejaksaan, dan KPK.
Kenyataannya dengan 6 lembaga
ini saja progres pemberantasan korupsi belum maksimal. Dalam riwayatnya, KPK
bahkan mendapatkan tantangan dan rintangan yang begitu keras. Sementara
performa lem baga-lembaga lain dalam pemberantasan korupsi masih
angin-anginan.
Kalau sudah begitu, masihkah
kita perlu berbicara soal Densus Antikorupsi? Saya berpandangan bahwa pemberantasan
korupsi sesungguhnya harus difokuskan kepada KPK dan kejaksaan sebagai
backbone alias tulang pung gung. Ada pun kepolisian hanya perlu menyidik
perkara korupsi yang belum tersentuh kejaksaan dan KPK.
Dalam kon disi yang de mi kian
akan tercipta sinergi antara KPK, kejaksaan, dan kepolisi an dalam mem
berantas korupsi. Bertali an dengan itu, secara teori KUHAP mengenal asas
deferensiasi fungsional, yakni memisahkan kewenangan antara po lisi sebagai
penyidik, jaksa sebagai penuntut, dan pengadilan sebagai pemutus perkara
(baca: korupsi).
Meskipun begitu, semua lembaga
tersebut masih merupakan suatu peradilan pidana yang terpadu (integrited
criminal justice system). Dalam konteks sistem peadilan pidana terpadu ini,
kejaksaan menempati posisi sebagai dominus litis atau pengendali perkara.
Secara normatif, asas dominus litis dapat dijumpai pada Pasal 14 jo Pasal 137
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Di sana disebutkan bahwa jaksa
berwenang menuntut siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam
daerah hukumnya. Selain itu jaksa berwenang mengadakan pra-penuntutan jika
terdapat kekurangan pada saat penyidikan oleh penyidik.
Di sinilah kemudian kita
mengenal bolak-balik perkara dari penyidik ke jaksa atau sebaliknya. Posisi
jaksa sebagai pengendali perkara kemudian di tegaskan kembali dalam Pasal 2
ayat (1) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Secara implisit peraturan a quo
telah menempatkan jaksa dalam posisi yang sangat strategis, sebab maju atau
tidaknya berkas perkara (baca: korupsi) kepengadil an berada di tangan
kejaksaan. Seorang hakim di pengadilan tindak pidana korupsi tidak dapat
“memaksa” jaksa untuk melim pahkan berkas perkara korupsi kepengadilan.
Sebaliknya, adanya prinsip
dominus litis ini seharusnya mampu mendegradasi problem ber larut-larutnya
status seseorang sebagai tersangka korupsi oleh penyidik kepolisian. Apalagi
selama ini kepolisian bisa menersangkakan seseorang dalam waktu yang lama dan
kadang kala berkas perkara (SPDP) tidak diserahkan kekejaksaan.
Tentu ini dapat mengganggu
progres pemberantasan korupsi. Demikian pula dengan KPK. Meskipun tidak
secara tegas disebut sebagai dominus litis, jika merujuk pada Pasal 6 jo
Pasal 9 dan Pasal 12 UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, di sana kita dapat menyimpulkan bahwa KPK memang sejak awal
disiapkan sebagai lembaga superbodi dalam pencegahan dan pem berantasan
korupsi.
KPK bahkan menggabungkan
kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam satu atap. Penggabungan ini
adresatnya adalah agar pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien. Sebab
alur perkara berada dalam kendali suatu lembaga. Meskipun begitu publik juga
harus tetap mengawasi kinerja KPK.
Hadirnya kejaksaan sebagai
dominus litis perkara pidana dan KPK yang menyandang status lembaga superbodi
seharusnya menjadi modal mumpuni bangsa ini dalam pemberantas an korupsi.
Dalam konteks itu, kehadiran Densus Antikorupsi rasanya sudah tidak relevan
lagi karena akan tumpang tindih dengan kejaksaan dan KPK.
Karenanya political will
pemerintah seharusnya lebih difokuskan pada penguatan KPK dan kejaksaan,
bukan dengan menyetujui usulan pembentukan Densus Antikorupsi. Sikap Presiden
Joko Widodo yang secara bijak memerintahkan ditundanya pembentukan Densus
Antikorupsi menjadi penegasan political will pemerintah.
Meskipun demikian saya perlu
sampaikan bahwa Presiden seharusnya bukan hanya memerintahkan penundaan,
melainkan menghentikan secara permanen. Akhirnya saya harus mengatakan bahwa
kerja pemberantasan korupsi sesungguhnya adalah amanat rakyat yang tertuang
dalam Mukadimah UUD 1945.
Sebab pendiri bangsa ini telah
berikrar untuk membentuk suatu negara yang makmur, adil, dan sejahtera. Tapi
bila korupsi masih merajalela, impian itu tetntu akan sangat sulit
diwujudkan.
Padahal dalam sudut pandang
kenegaraan, John Locke dan Thomas Hobbes melalui teori du contract social dan
factum subjectionis telah menegaskan bahwa tugas dan tanggung jawab negara
adalah memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar