Senin, 23 Oktober 2017

Proklamasi Pembangunan Desa

Proklamasi Pembangunan Desa
Ahmad Erani Yustika ;   Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa/PPMD (2015-2017); Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi
                                                      KOMPAS, 23 Oktober 2017



                                                           
Pusat pertaruhan pembangunan Indonesia hari ini adalah: bisakah dualitas desa-kota didamaikan? Pertanyaan itu mewakili skeptisisme akut yang telah menjalar sangat lama bahwa keduanya merupakan keniscayaan yang tidak akan bisa dipertemukan.

Desa menjadi paria dan kota melesat laksana kecepatan cahaya. Relasi desa-kota tak dapat disatukan dalam prosa “memberi dan menerima” secara setara, tapi menjadi hubungan yang predatorik. Secara ekonomi, relasi transaksi menikam desa lewat jalur eksploitasi penguasaan sumber daya ekonomi (alam) dan perdagangan. Secara sosial, kota menghajar desa via penetrasi karakter individualitas dalam hubungan bermasyarakat sehingga modal sosial mengalami delusi sistemik.

Secara politik, kerumunan warga tak pernah menjelma menjadi alat tukar pengaruh kebijakan, tetapi sekadar dikonversi menjadi lumbung suara dalam festival demokrasi lima tahunan. Intinya, seluruh kemuliaan hidup diraup oleh (warga) kota dan nestapa dalam ragam kekalahan diterima sebagai takdir oleh (komunitas) desa. Desa takluk!

Daya hidup desa

Terbitnya politik pembangunan desa yang ditandai oleh kelahiran UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 segera menyergap menjadi kesadaran dan harapan baru atas kejumudan kemajuan desa. Pembangunan tak lagi sekadar dirayakan sebagai turunnya daftar proyek yang dikerjakan di desa, tetapi dipestakan atas kedaulatan desa dalam merumuskan dan memutuskan masa depannya sendiri. Di masa silam, desa dan warganya menonton dengan khidmat deru pembangunan dari pagar rumah sambil berharap proyek itu tak menjadi onggokan monumen karena tidak bersenyawa dengan kebutuhan warga.

UU yang baru memastikan dikuburnya model itu karena desa memiliki kewenangan untuk menegakkan kedaulatannya. Dua otoritas vital yang dipunyai desa itu adalah kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal usul (rekognisi). Demikian pula proses pembangunan meletakkan warga sebagai partisipan gerakan, di mana musyawarah desa (musdes) menjadi forum tertinggi dalam mengambil keputusan. Pelan-pelan literasi politik diperkuat agar warga sadar atas kekuasaan yang dimilikinya.

Kewenangan lokal berskala desa sebetulnya menjadi bahasa desentralisasi dalam literatur ekonomi dan politik. UU Desa telah mendesentralisasikan urusan pembangunan sampai ke level pemerintahan desa, bukan cuma di kabupaten. Asas subsidiaritas ini memberikan ruang penuh bagi desa memutuskan serta menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan selama berada dalam skala desa. Jika desa berderu dengan aneka program pembangunan, itu tak lagi monopoli keputusan pemerintahan di atasnya dalam memasok kebutuhan program, tetapi hasil dari sikap kolektif warga yang dirangkum dalam proses musdes.

Tak dibenarkan pemangku kepentingan lain, termasuk pusat, mengambil arena kewenangan itu karena keberadaannya diproteksi UU. Kewenangan ini menahbiskan desa sebagai pemegang otoritas untuk menjaga suara dan daya hidup warganya di lapangan politik, di mana partisipasi memiliki bobot penuh karena dilatari kewenangan mengambil keputusan, bukan sekadar mengerjakan program.

Kewenangan hak asal-usul menjadikan desa lebih tangguh lagi karena pilar terpenting desa sebetulnya terletak pada tiang pancang sosial. Desa hidup berdasarkan dinamika norma, budaya, adat, keyakinan, dan agama yang menjadi mata air pengetahuan serta konsensus dalam menjaga kehidupan bersama. Desa di masa lalu mengendalikan seluruh perkara kehidupan bersandarkan pada aturan main informal tersebut sebelum tahap demi tahap direnggut oleh formula aturan main formal (hukum negara). Desa dapat mengelola harmoni hidup secara ritmis karena mereka adalah agregasi komunitas yang terpaut dengan nilai-nilai setempat. Ini beda halnya dengan desa masa kini yang digiring menjadi unit administrasi pemerintahan sehingga seluruh aturan perilaku hidup mesti dikelola dengan hukum formal yang kadang jauh dari nilai adat desa.

Implikasinya, salah satu tiang penyangga roboh dan “surau” desa menjadi nyaris ambruk. Untungnya, jaminan penyelenggaraan asas rekognisi ini mendirikan kembali pilar tersebut sehingga desa tegak lagi. Kemenangan merawat kekayaan ini akan menjadi penanda kekuatan bantalan sosial desa. Desa punya daya hidup!

Aneka kewenangan penting itu tak akan menjelma jadi daya dorong perubahan jika tak disertai sumber daya. Itulah yang dibaca oleh pemerintah sehingga politik fiskal digeser dengan memberikan instrumen “dana transfer” ke desa, yang disebut dana desa (DD). Desa yang telah memiliki otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa mengelola anggaran sendiri (anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa) dengan salah satu sumbernya dari DD (di samping enam sumber lain).

Pada 2015 total DD Rp 20,7 triliun (dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke 74.754 desa); dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910 desa). Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian luas.

Sejauh yang sudah tercapai selama dua tahun pelaksanaan program DD ini, sekurangnya lima hal pokok telah dirasakan di lapangan. Pertama, desa berdenyut kembali dalam kegairahan pembangunan yang ditandai oleh maraknya kegiatan musdes dan keterlibatan warga dalam perencanaan sampai eksekusi pembangunan. Salah satu pemandangan lazim saat ini, warga desa berkerumun membahas aneka ikhtiar pembangunan dan pemberdayaan, seperti inisiasi pasar desa atau pembentukan badan usaha milik desa (BUMDesa).

Kedua, transparansi anggaran menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas penyelenggara pemerintahan desa. Di balai desa dipasang baliho APBDesa, demikian pula di lokasi-lokasi strategis atau sarana ibadah. Desa telah memberikan jawaban kontan atas kepercayaan yang diberikan. Ketiga, keswadayaan dan gotong royong terlihat kokoh karena seluruh program harus dijalankan secara swakelola, tak boleh diberikan kepada pihak ketiga. Tak jarang, warga desa menyumbangkan apa pun yang dimiliki agar pembangunan berjalan paripurna, misalnya tenaga, tanah, rumah, dan aset fisik lain.

Keempat, ongkos pembangunan menjadi amat murah karena dikerjakan oleh warga desa dengan semangat keguyuban tanpa harus mengorbankan kualitas. Pada 2016 saja telah terbangun hampir 67.000 kilometer (km) jalan, jembatan 511,9 km, MCK 37.368 unit, air bersih 16.295 unit, dan PAUD 11.926 unit. DD juga dimanfaatkan untuk posyandu 7.524 unit, polindes 3.133 unit, dan sumur 14.034 unit. DD juga digunakan untuk membangun tambatan perahu 1.373 unit, pasar desa 1.819 unit, embung 686 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, penahan tanah 38.184 unit, dan ribuan BUMDesa (PPMD, 2017). Dengan menggunakan ukuran apa pun, efisiensi DD sangat mengagumkan.

Kelima, munculnya aneka upaya untuk memperkuat kapasitas warga dan pemberdayaan lestari dengan basis budaya dan pengetahuan lokal. Banyak desa yang menginisiasi munculnya sekolah desa, sekolah perempuan, peraturan desa untuk memproteksi sumber daya alam dan ekologi, pembuatan almanak desa, balai rakyat, dan masih banyak lagi prakarsa menggetarkan di desa. DD bukan cuma dirayakan sebagai tradisi penyerapan anggaran, melainkan aktivitas berdesa yang mengendap dalam jantung kesadaran kedaulatan desa. Desa memproduksi sejarah!

Poros kolaborasi

Memasuki tahun ketiga eksekusi program DD, isu vital yang harus dihela adalah pendalaman. Pendalaman program tersebut bertumpu pada tiga palagan besar. Pertama, menggerakkan program ini sebagai titik tolak kesadaran untuk menegakkan perspektif yang utuh soal pembangunan. Pembangunan desa adalah keseluruhan manifes untuk menentukan harkat kemanusiaan warga desa.

Kedua, meninggikan pengetahuan bahwa sumber daya ekonomi desa harus dikuasai dan dikelola oleh (warga) desa yang bertumpu pada kewenangan raksasa yang dipunyai desa. Penguasaan sumber daya ekonomi, pemapanan organisasi ekonomi, dan advokasi kebijakan ekonomi merupakan cagar penting meneguhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi desa.

Ketiga, memastikan isu tata kelola desa (keuangan, program, pengawasan pembangunan) sebagai khazanah merawat keragaman desa sehingga negara tak perlu punya obsesi berlebihan untuk melakukan pengaturan, tetapi justru memperlebar ruang untuk menghidupkan gagasan dan praktik terbaik setiap desa.

Demi mencapai ketiga pendalaman di atas, di masa-masa mendatang sasaran konsensus yang harus dibangun adalah dengan menengadahkan tangan melampaui urusan DD itu sendiri. Energi desa digeser dari perkara DD ke urusan literasi pembangunan yang lebih besar. Jika desa memiliki imajinasi pembangunan melampaui sekadar membangun infrastruktur, benih-benih penguatan perspektif pembangunan telah berjalan.

Saat sekarang pembangunan infrastruktur memang bukan pilihan yang salah karena di lapangan hal tersebut dibutuhkan, bahkan bagi desa-desa tertentu (tertinggal) masih akan menjadi kebutuhan primer sampai dua-tiga tahun ke depan. Sungguh pun begitu, salah satu ruang strategis yang harus dipertukarkan ke desa adalah informasi. Balai rakyat menjadi instrumen primer untuk memasok keseluruhan data persoalan dan potensi desa sehingga menjadi bahan baku dalam merumuskan dan mengambil keputusan (via musdes). Oleh karena itu, mendorong ekspansi kapabilitas manusia merupakan arena pertempuran yang mesti dimenangkan di desa.

Berikutnya adalah membangun poros kolaborasi besar yang menjadi batu bata untuk meninggikan derajat pembangunan desa. Salah satu elemen yang belum terlalu tersentuh adalah membangun relasi desa dan kawasan perdesaan. Hiruk-pikuk pembangunan desa jika tak ditangani secara cermat akan menciptakan isolasi yang berlebihan, di mana pembangunan satu desa tak bersentuhan dengan desa lain di sekitarnya. Contoh kasus, jika desa akan membangun spesialisasi komoditas demi mencapai skala ekonomi untuk produk olahan (sektor industri), maka itu hanya mungkin dilakukan pada lingkup kawasan perdesaan, bahkan untuk banyak komoditas (misalnya perkebunan) butuh arena lebih luas (kabupaten atau provinsi).

Pranata yang sudah disusun dua tahun ini pada level desa akan terus diperkuat oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, sambil pada saat yang sama kolaborasi besar antardesa (kawasan) dan pemangku kepentingan (universitas, masyarakat sipil, ormas, dunia usaha/BUMN, dan lain sebagainya) dieksekusi dengan serius.

Terakhir, menghubungkan pembangunan desa dengan agenda besar bangsa: mengurangi intensi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Salah satu program yang harus disangga adalah reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS). Pendalaman pembangunan desa, pemberdayaan, dan DD dijadikan satu paket dengan agenda redistribusi aset serta perluasan akses untuk mengerek kesejahteraan ekonomi. Saat ini agenda itu sudah berjalan dan telah dibuat satu struktur definitif untuk menjalankan dan mengawal agenda raksasa tersebut. Selama dua tahun ini saja, tanpa mengaitkan dengan program RAPS, jumlah desa yang naik kelas telah melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019.

Selama lima tahun ditetapkan target peningkatan 5.000 desa dari tertinggal ke berkembang dan 2.000 desa dari berkembang ke maju/mandiri. Sampai akhir 2016 jumlah desa yang naik kelas dari tertinggal ke berkembang 9.975 dan desa berkembang ke mandiri 4.058 (PPMD, 2017). Ukuran itu memakai indeks desa membangun yang diluncurkan sejak 2015. Dengan masuknya agenda RAPS sebagai paket pembangunan desa, akan kian kukuh daya ungkit pembangunan desa. Pokok- pokok pikiran dan perbuatan inilah yang disebut sebagai peneguhan (proklamasi) pembangunan desa. Mengibarkan bendera pembangunan desa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar