Mengapa
Kata “Pribumi” Menjadi Begitu Sensitif?
Denny JA ; Pendiri Lingkaran
Survei Indonesia
|
REPUBLIKA,
18 Oktober
2017
Jika hanya sebagai sebuah kata atau terminologi,
tak ada yang salah dengan kata “pribumi” ataupun kegiatan kaum pribumi. Ia
menjadi sensitif jika kata “pribumi” itu berubah menjadi sebuah kesadaran
kolektif mayoritas menyusun perjuangan ekonomi dan politik.
Itulah respons cepat saya
terhadap hingar bingar dan hiruk pikuk di ruang publik akibat digunakannya
kata pribumi dalam pidato pertama Gubernur DKI terpilih setelah dilantik:
Anies Baswedan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan pribumi sebagai penghuni asli, yang berasal dari tempat yang
bersangkutan. Dalam bahasa Inggris ia diterjemahkan sebagai indigenous
people.
PBB sendiri selaku lembaga
tertinggi dunia, sejak tahun 1994, menetapkan hari internasional bagi rakyat
pribumi di seluruh dunia. Hari itu jatuh pada tanggal 9 Agustus. Itulah momen
kaum pribumi di seluruh dunia merayakannya, sekaligus mendiskusikan
kondisinya.
Bahkan PBB sudah pula
menetapkan hak asasi bagi kaum pribumi di seluruh dunia: United Nations
Declaration of the Rights of Indigeneous People. Dalam artikel 3, hak itu
berbunyi: hak kaum pribumi untuk mengejar kepentingan ekonomi, sosial dan
kultural.
Kata pribumi juga bahkan
menjadi nama sebuah organisasi resmi di Indonesia: Himpunan Pengusaha Pribumi
Indonesia (HIPPI).
Di tahun 2015, bahkan
pemerintahan Jokowi yang diwakili wakil presiden Jusuf Kala juga menghadiri
acara pengusaha pribumi itu.
Pertanyaannya mengapa hak kaum
pribumi yang justru dirayakan oleh dunia, dan di Indonesia sendiri ada
organisasi resmi menggunakan kata pribumi seperti HIPPI, kini menjadi begitu
sensitif di Jakarta atau Indonesia, ketika Anies Baswedan mengutipnya dalam
pidato?
Ada dua hal penyebabnya.
Pertama longgarnya definisi pribumi itu. Kedua, ada problem ekonomi dan
politik dengan the so called “kaum pribumi,” itu.
Jika pribumi didefinsikan
sebagai melayu muslim, mereka mayoritas dalam jumlah tapi merasa minoritas
dalam penguasaan ekonomi. Dan kini mereka mulai kuatir pula dominasinya dalam
politik terancam. Kesadaran kolektif ekonomi politik kaum pribumi ini yang
memang sensitif karena konteks ekonomi politik Indonesia.
Publik Indonesia harus berani
membongkar lebih jauh dan mempercakapkan soal ekonomi politik pribumi itu
secara dingin, rasional dan ilmiah. Itu lebih baik ketimbang masalah ini
disembunyikan di bawah karpet merah, seolah indah dan tenang di permukaan,
namun justru membara membakar secara diam diam.
Jika pribumi semata diartikan
sebagai penduduk adat asli nusantara yang sangat minoritas jumlahnya, itu
akan adem saja. Problemnya adalah melalui evolusi kata, pribumi itu di
sebagian komunitas berarti melayu muslim yang mayoritas. Kini mereka ingin
bangkit perkasa secara politik dan ekonomi.
Evolusi pengertian pribumi
sebagai melayu itu terlacak sejak abad ke tujuh. Termasuk pertama kali kata
melayu digunakan, itu oleh seorang
pendeta Budha I Ching (634-713). Ia melaporkan perjalanannya dari China ke
India.
Ia menuliskan dua buku, yang
bercerita pengalaman. Tulisnya, setelah berlayar 20 hari, kami sampai di
tanah Sriwijaya. Raja di sana sangat ramah. Ia membantu kami tinggal 2 bulan
di tanah Melayu.
Pada mulanya, kata Melayu hanya
didefinisikan untuk wilayah sekitar kerajaan Sriwijaya. Tahun 1795,
pengertian melayu diluaskan oleh Blumenbach untuk semua ras bewarna coklat.
Termasuk di dalamnya antara lain suku yang berada di Maluku dan Sunda.
Tahun 1854, pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan undang-undang mengatur pemisahan tiga rasial dengan tiga
tingkat status sosial. Golongan pertama, disebut kaum Eropa. Golongan kedua
kaum Timur Asing, terdiri dari Cina, India, Arab dan asing lainnya di luar
Eropa. Golongan ketiga adalah kasta paling rendah: inlander.
Eropa adalah penguasa. Inlander
itu rakyat yang dikuasai. Golongan Timur Asing berada di tengah. Inilah kali
pertama, kosakata “inlander” menjadi politis. Bersama kosakata itu melekat
status ekonomi politi paling rendah.
Inlander itu kemudian
pengertiannnya menjadi pribumi. Berbaur
pula ia dengan pengertian etnik Melayu.
Kosakata pribumi dan Melayu pun
berevolusi menjadi Melayu Muslim. Awalnya itu terjadi untuk alasan praktis
dan mudah bagi penguasa kolonial mengidentifikasi kaum inlander.
Dalam perkembangannya, mereka
yang sudah lama tinggal di bumi nusantara termasuk yang Arab sekalipun sejauh
Muslim masuk pula dalam kategori Melayu atau pribumi.
Kata pribumi dengan salah
ataupun benar hidup di banyak benak masyarakat sebagai Melayu beragama Islam.
Berkembanglah rakyat Indonesia menjadi pribumi dan non pribumi. Kemudian ia
menjadi melayu muslim versus etnik Tionghoa (Cina).
Dari sebuah kosa kata, kaum
pribumi atau Melayu Muslim, menjelma menjadi kesadaran identitas. Kaum
pribumi merasa mayoritas, namun tertinggal secara ekonomi.
Sejarah kecemburuan ekonomi
pribumi terutama kepada etnik Cina acapkali berbuah kekerasan.
Sejak merdeka, Bung Karno
hingga Gus Dur mencoba membangun kesadaran warga negara. Apapun etniknya,
agamanya, ia Indonesia. Namun sejarah juga mencatat. Kecemburuan ekonomi
acapkali pula membuat warga Indonesia etnik Cina menjadi amuk massa.
Peristiwa besar terakhir huru hara 1998. Etnik Cina (non pri)
termasuk yang menjadi korban kekerasan. Presiden Habibie melalui Inpres, no
26 tahun 1998, melarang penggunaan kata pribumi dan non pribumi dalam semua
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan. Reformasipun mengubah landscape
politik.
Tapi yang belajar sejarah juga paham, perubahan cepat hanya mungkin terjadi pada aturan.
Mindset kolektif, apalagi realitas adalah raksasa yang hanya mampu berubah
pelan-pelan saja. Di tingkat aturan, apalagi hanya sebuah inpres, bukan Undang-Undang atau
konstitusi, tak akan mampu meredam penggunaan kata pribumi. Yang lebih
sensitif justru kenyataan itu: kesadaran ekonomi dan politik pribumi tak akan
bisa diredam hanya oleh sebuah inpres, selama akar masalahnya masih kokoh di
sana.
Apa yang harus dilakukan?
Inilah pertanyaan penting. Memilih tidak membicarakan soal ekonomi politik
“kaum pribumi,” demi sopan santun politik, sementara ada kegelisahan yang
riel di bawah permukaan, itu bukan pilhan cerdas.
Percakapan publik yang hangat
dan ilmiah atas hal itu boleh dibiarkan bergulir dengan tiga prinsip dasar.
Pertama, tak boleh ada
diskriminasi atas warga negara. Apapun etnik dan agamanya, semua warga negara
memiliki hak dan perlindungan hukum yang sama.
Kedua, tak boleh ada kekerasan
di ruang publik. Aparat hukum harus berani dan tegas untuk menindak aneka
kekerasan fisik ataupun ujuran kebencian.
Ketiga, ketimpangan ekonomi
yang tajam, apalagi jika bertumpang tindih dengan identitas etnik atau agama,
di seluruh dunia, akan menjadi bara api sebuah negara.
Hikmah kontroversi soal pidato
Gubernur DKI, Anies Baswedan, mungkin menjadi picu untuk percakapan di ruang
publik secara dingin mencari solusi bersama. Saatnya ruang publik kita diisi
oleh percakapan visioner, dengan riset, data, argumen, dan studi komparatif.
Ruang publik kita kini hanya
ramai untuk isu korupsi dan sensasi politik. Kita rindu percakapan yang
mencerahkan soal tema besar kondisi ekonomi, ketimpangan, keadilan,
kebebasan, kemakmuran.
Persoalannya, bisakah
mempercakapkan isu yang panas, seperti pribumi itu, dengan kepala dingin? ●
|
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pribumi sebagai penghuni asli
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia