Detasemen
Antikorupsi Kepagian
Zainal Arifin Mochtar ; Ketua PuKAT Korupsi
Fakultas Hukum UGM
|
TEMPO.CO,
24 Oktober
2017
Di tengah pelbagai serangan
terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan politikus
belakangan ini, ada ide baru untuk mendorong pembentukan Detasemen Khusus
Anti-Korupsi. Ide ini mengemuka dengan dukungan kuat dari politikus Senayan
berupa janji fasilitas, penguatan, dan dana yang lumayan besar.
Kita perlu menyambut penuh
sukacita ide ini sebagai iktikad untuk memberantas korupsi yang lebih serius.
Apalagi jika ide itu didatangkan dalam wacana Kepala Polri, yang mengepalai
lembaga yang selama ini dianggap gagal memberantas korupsi sehingga menjadi alasan
di balik pembentukan KPK pada 2002.
Hanya, ide tersebut terlalu
sumir karena nyaris tanpa pemikiran yang matang tentang politik hukumnya.
Sekadar menyitir Mahfud Md., politik hukum dapat dimaknai dalam tiga aras:
pertama, cetak biru yang matang; kedua, tarik-menarik kepentingan politik
dalam penyusunannya; dan ketiga, bagaimana memastikan implementasinya. Dalam
hal inilah ide Detasemen Khusus Anti-Korupsi masih jauh dari matang.
Perihal cetak biru, kita belum
melihat apa sebenarnya yang diinginkan dengan Detasemen Khusus Anti-Korupsi.
Apa dasar hukumnya nanti? Bagaimana bentuk lembaganya? Bagaimana fungsinya?
Bagaimana mekanisme kerjanya? Bagaimana relasi dengan lembaga lain? Dan
seterusnya.
Itu semua bukan pertanyaan
sederhana karena jawabannya akan sangat menentukan kelembagaan detasemen itu.
Misalnya, pilihan hukumnya menggunakan undang-undang atau peraturan presiden
atau malah peraturan Kapolri? Pilihan menggunakan aturan bukan tanpa
konsekuensi karena akan sangat menentukan bentuk kelembagaan serta, jika
harus menegasikan atau mengecualikan, menetapkan hal yang telah diatur dengan
undang-undang atau peraturan lain.
Mengapa pertanyaan ini muncul
karena belum jelas apa yang akan dilakukan oleh detasemen tersebut. Yang baru
ada masih seputar pernyataan bahwa Kapolri senantiasa menjanjikan tidak akan
mengganggu dan menegasikan peran lembaga yang sudah ada, yakni kejaksaan dan
KPK. Lalu ada pula ide yang berseliweran tentang mau menggabungkan fungsi di
dalam detasemen ini dengan penuntutan (kejaksaan) dan kerja pendukung lainnya
(misalnya Badan Pemeriksa Keuangan). Pada ide ini saja masih akan
mendatangkan perdebatan serius, apalagi tatkala ide itu belum ada tapi
ujug-ujug sudah membicarakan kemungkinan sokongan dana negara hingga
triliunan demi mendorong kerja lembaga ini.
Untuk memperkuat kepolisian
dalam menangani perkara korupsi sebenarnya tak perlu membentuk lembaga
semacam detasemen khusus. Penguatan fungsi dan personel di unit kepolisian
yang selama ini menangani perkara korupsi tetap dapat dilakukan. Ini termasuk
penanganan berbagai perkara non-korupsi yang ditengarai terjadi di kepolisian
dengan model penanganan koruptif.
Kita semua masih mendengar
cerita langsung dari orang-orang yang beperkara di kepolisian yang dimintai
dana sangat besar dengan semua tetek bengek pungli. Ini perkara non-korupsi
yang ditangani secara koruptif. Masalah tersebut bisa banyak penyebabnya.
Bisa karena kualitas aparat yang buruk, gaji yang minim, dan kemungkinan
lain, seperti biaya operasional yang kurang. Biaya operasional ini bukan hal
sepele. Sebab, dengan ratusan ribu laporan perkara setiap tahun, lemahnya
biaya operasional penanganan perkara sering berdampak terhadap kualitas
penanganan perkara.
Jika dana triliunan ke
detasemen khusus itu bisa terwujud, rasanya lebih baik menggunakan dana
tersebut untuk penguatan kelembagaan dan fungsi kepolisian daripada
memaksakan pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Adalah kesalahan besar
jika membayangkan sumber korupsi di kepolisian adalah tatkala menangani kasus
korupsi. Kasus non-korupsi yang ditangani secara koruptif adalah juga sumber
utama korupsi. Maka, ide Detasemen Khusus Anti-Korupsi ini adalah ide yang
kepagian di antara sekian tahun masalah kualitas penanganan perkara di
kepolisian.
Belum lagi soal mekanisme dan
kerja kelembagaannya. Bagaimana mereka akan bekerja dan berkoordinasi dengan
lembaga lain akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak kalah rumitnya.
Bayangkan, bahkan KPK-yang sudah punya kewenangan koordinasi dan supervisi
secara kuat-masih tertatih-tatih dalam melaksanakannya karena berbagai faktor
aturan maupun praktis. Kita semua paham, perkara korupsi menghadapi tembok
besar yang namanya kepentingan. Dalam langgam kepentingan inilah koordinasi
dan supervisi itu mudah terbengkalai.
Tentu masih ada banyak
pertanyaan lain karena tak jelasnya cetak biru detasemen ini. Padahal
"setan datangnya di detail". Detail yang jelas dan baik itulah yang
akan menentukan apakah ide ini memang lahir dari pemikiran yang jernih soal
pemberantasan korupsi atau malah hanya akan menjadi pengganggu ritme
pemberantasan korupsi yang dilakukan kepolisian, kejaksaan, dan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar