Mengharap
Tuah dan Berkah Ahok
Hersubeno Arief ; Jurnalis Senior; Mantan Wartawan Republika
|
INDONESIANA,
29 Oktober
2017
Seorang petinggi partai terheran-heran ketika mendapat kiriman foto
Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar
sedang menemui mantan Gubernur
DKI Jakarta Ahok di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok beberapa
hari lalu. “Ada apa ya? Apa perhitungan Cak Imin kok sampai harus mengunjungi
Ahok? Pertanyaan itu diulang beberapa
kali untuk menunjukkan betapa peristiwa tersebut merupakan sebuah fenomena
politik yang menarik, tapi sekaligus mengherankan.
Dalam politik bertemunya dua
orang tokoh bisa berarti banyak. Bisa menimbulkan berbagai tafsir. Sebuah
signal yang bisa membawa kita untuk memahami langkah, maupun peristiwa
politik ke depan.
Ketika Ketua Umum DPP Gerindra
Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana, dan kemudian
dilanjutkan dengan kunjungan Jokowi ke Bukit Hambalang, kediaman Prabowo,
sarat dengan makna dan tafsir politik.
Pertemuan tersebut ditafsirkan
sebagai simbol rekonsiliasi antara dua tokoh yang pernah bersaing keras dalam
Pilpres 2014. Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai “diplomasi menunggang
kuda,” karena Jokowi sempat
menunggangi kuda milik Prabowo.
Diharapkan pertemuan dapat menurunkan tensi ketegangan antara
keduanya, maupun diantara para pendukung.
Di luar pesan yang sampai dan
mencuat ke permukaan, pasti ada deal-deal politik di belakang layar yang
tidak pernah kita ketahui.
Begitu pula halnya Ketua Umum
DPP Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu Prabowo di Cikeas menjelang pengesahan RUU Pemilu.
Banyak pengamat yang menafsirkan pertemuan yang dikenal dengan istilah
“Diplomasi Nasi Goreng” itu sebagai signal menyatunya dua jenderal yang
secara politik tidak pernah bersatu.
Sangatlah wajar bila kemudian
muncul banyak pertanyaan, apa
kalkulasi politik kunjungan Cak Imin
ke tempat Ahok “nyantri” di Mako Brimob?
Mengharap Berkah
Dalam tradisi
Nahdliyin yang menjadi basis Cak Imin, kunjungan atau sowan, biasanya
dilakukan oleh seorang santri kepada kyai. Bahkan ketika seorang kyai besar
yang sudah meninggal, makamnya akan banyak diziarahi. Selain menunjukkan
sikap hormat dan bhakti seorang santri, mereka mengharap karomah, berkah para
kyai. Dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai “ngalap berkah.” Tidak ada
urusannya dengan politik.
Tradisi ini kemudian juga
diadopsi dalam politik praktis. urusannya tidak jauh-jauh dari berebut suara
pemilih. Presiden Jokowi termasuk yang sering berkunjung ke pesantren dan
menemui kyai-kyai besar. Ketua Umum Golkar Setya Novanto belakangan terlihat
wora-wiri ke pesantren. Dia malah disebut-sebut telah mendapat gelar Kyai
Haji (KH). Sebuah foto para santri putri berbaris mencium tangan Novanto
beredar luas. Orang yang dicium tangannya menunjukkan maqom (posisinya) sudah
tinggi. Mumpuni. Levelnya sudah ma’rifat.
Pada kasus Ahok, apakah dia
juga sudah mempunyai maqom yang
tinggi, sehingga sejumlah tokoh penting ramai-ramai mengunjunginya? Pasti ada sesuatu yang
“istimewa” dan “penting.” Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Anshor Yaqut
Cholil Qoumas memang menjuluki Ahok sebagai Sunan kali Jodo. Tapi julukan itu
pasti sekedar main-main. Kalau serius, sungguh keterlaluan.
Sebelum Cak Imin, Ketua Umum
Partai Nasdem Surya Paloh, dan Agus Harimurti telah mengunjungi Ahok. Kunjungan Surya Paloh bisa dipahami, karena
Nasdem adalah partai yang pertama kali mendukungnya pada pilkada DKI. Jadi kunjungan Surya, merupakan kunjungan
seorang kakak, atau orang tua. Sementara kunjungan Agus tentu berbeda
maknanya.
Agus membawakan kue basah, dan
Ahok kemudian menitipkan surat untuk SBY. Kunjungan tersebut tidak terlalu
mengundang kehebohan, barangkali karena kapasitas Agus bukan seorang ketua
umum partai.
Namun jangan lupa, Agus adalah anak SBY. Sebagai putera
mahkota, diprediksi pada waktu yang dirasa sudah tepat, Agus akan mewarisi tahta Ketua Umum Partai
Demokrat. Artinya kunjungan Agus adalah representasi dari SBY.
Agus secara personal dikenal
tidak cukup dekat dengan Ahok. Dalam Pilkada DKI 2017, dia malah bersaing
dengan Ahok. Dalam putaran pertama
Agus yang berpasangan dengan Silvy bahkan dianggap sebagai pesaing
paling potensial mengalahkan Ahok. Apalagi berbagai survei menyebutkan
tingkat elektabilitas sangat tinggi.
Berbagai operasi politik
dilakukan untuk menjatuhkan elektabilitas Agus, termasuk sejumlah black
campaign. Sehari menjelang pemungutan suara putaran pertama, mantan Ketua
KPK Antasari Azhar yang menjadi terpidana
kasus pembunuhan, melaporkan SBY ke
Bareskrim Polri dengan tuduhan yang cukup serius. SBY dituding sebagai aktor
di balik rekayasa sehingga Antasari harus mendekam di balik penjara.
Nah ketika Agus kemudian
mengunjungi Ahok, tentu bukan
merupakan kunjungan biasa. Sarat
dengan makna politik. Apalagi sebelumnya baik AHY maupun SBY melakukan
berbagai manuver politik yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mendekati
Jokowi.
Jangan lupa Ahok adalah wakil
Jokowi saat menjadi gubernur DKI, dan digadang-gadang menjadi cawapres Jokowi
pada Pilpres 2019. Dalam Pilkada DKI kendati tidak secara terbuka, Jokowi
mendukung penuh Ahok. Seorang pengamat malah menyebut istana sebagai posko
pemenangan Ahok.
Sepekan sebelum peringatan HUT
Kemerdekaan RI ke-72, Agus bertandang ke istana. Dia menyampaikan undangan
kepada Jokowi untuk menghadiri peresmian The Yudhoyono Institute. Dalam
pertemuan tersebut Agus menyampaikan salam dan menegaskan dukungan SBY
terhadap pemerintahan Jokowi.
Setelah itu SBY bertandang ke
istana dalam momentum HUT Kemerdekaan RI ke-72. Saat itu fokus media justru
pertemuan antara SBY dengan Megawati. Maklumlah keduanya terlibat perang
dingin sejak SBY mencalonkan diri sebagai presiden, pada Pilpres 2014. Tidak ada media yang
menghubungkan kedatangan SBY ke istana dengan Jokowi.
Signal politik bahwa SBY kian
mendekat ke Jokowi terjadi ketika Sidang Paripurna DPR membahas Perppu ormas.
Demokrat berada dalam kubu partai yang mendukung pengesahan Perppu, kendati
dengan catatan harus ada revisi.
Pilihan politik Demokrat ini
mendapat kecaman sangat luas. Sebagai pendukung Perppu ormas, di media sosial
Demokrat dikelompokkan sebagai Parpol yang harus diboikot dalam pemilu.
Mereka di-bully habis. Apalagi sebelumnya Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan dengan
tegas mengatakan partainya akan menolak pengesahan Perppu ormas karena tidak
memenuhi unsur kegentingan memaksa.
SBY yang semula tegar
menghadapi serangan di medsos, akhirnya menemui Jokowi di istana, dan
menegaskan sikap partainya yang meminta revisi Perppu Ormas yang telah
disahkan menjadi UU.
Seperti diungkapkan Mensesneg
Pratikno pertemuan tersebut atas permintaan Agus, sebulan sebelumnya.
Pertemuan baru terjadi pasca pengesahan Perppu ormas, karena kesibukan
presiden. Jadi Perppu ormas bukanlah agenda
utama pertemuan tersebut. Ada agenda lain yang tidak disebutkan oleh
Pratikno, karena dia mengaku tidak mengikuti pertemuan.
Tek- tok politik antara Agus,
SBY dengan Jokowi dan kemudian kunjungan Agus ke Ahok bisa dibaca sebagai
upaya pendekatan SBY ke Jokowi dan kelompok-kelompok di belakangnya. Apa
agenda besar di balik itu? Waktu yang akan menjawab. Banyak spekulasi yang
menyebut hal itu sebagai upaya “menitipkan” Agus ke Jokowi.
Pilkada DKI memaksa Agus
melepas jabatan dan karir militernya. Dia sementara ini mengelola The Yudhoyono Institute sebagai
Direktur Eksekutif. Agus tampaknya dipersiapkan untuk jabatan-jabatan politik
lain yang penting. Menjadi menteri dalam kabinet, bila terjadi reshufle, atau
cawapres pada Pilpres 2019, merupakan pilihan yang masuk akal.
Jika benar seperti itu, maka
dalam kalkulasi SBY, posisi Jokowi masih sangat kuat. Dia menerapkan strategi
Sun Tzu “menghindari musuh yang terlalu kuat.” Politik di Indonesia saat ini tampaknya
tengah memasuki sebuah situasi yang pernah dinyatakan oleh mantan Presiden AS
George W Bush, “ You are either with us, or agains us.”
Kunjungan Agus, Cak Imin, dan
kemungkinan disusul tokoh-tokoh lain ke Ahok bisa memandu kita untuk memahami
konstelasi politik Indonesia. Ahok menjadi sebuah kartu puzzle yang
menghubungkannya menjadi sebuah mozaik
apa yang terjadi di balik layar panggung besar politik Indonesia. Karena
itulah dia harus di-"sowani". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar