Menuju
Kongres Ke-19 Partai Komunis China
Steven Polhaupesy ; Peneliti The Habibie
Center
|
KOMPAS,
18 Oktober
2017
Pada 18 Oktober 2017, China
akan mengadakan pesta politik lima tahunan dalam sistem negara-partai
(party-state system) melalui kongres ke-19 Partai Komunis China.
Meski hampir bisa dipastikan Xi
Jinping akan terpilih kembali dalam periode kedua kepemimpinan (2017-2022)
sebagai sekretaris Partai Komunis China (PKC) dan presiden China, penting
untuk kita mempertanyakan, mengapa kongres ke-19 PKC relevan dalam
memengaruhi perubahan kebijakan luar negeri China di tingkat kawasan dan
global?
Terdapat dua alasan utama akan
relevansi pentingnya kongres ke-19 PKC terhadap perubahan kebijakan luar
negeri China. Pertama, pengaruh terhadap perubahan agenda politik Xi Jinping.
Kedua, pergantian pemangku kebijakan pada tingkat birokrasi PKC, militer, dan
pemerintah. Kedua hal ini menentukan kebijakan luar negeri China yang terlihat
semakin agresif dalam lima tahun ke depan.
Agenda utama dalam kongres PKC
adalah pidato politik Xi Jinping dan penjabaran arah ideologi serta kebijakan
strategis PKC lima tahun mendatang. Kongres ke-19 PKC akan memberikan
kesempatan bagi Xi Jinping memberikan landasan ideologi baru yang kemungkinan
besar akan mengusung tema ”China-isasi Marxisme” (Sinicization of Marxism),
yang dapat diartikan ciri khas politik China akan berwatak pada peradaban
kultural ala Konfusianisme dengan berbasis revolusi dan reformasi kelas
sosial.
Dalam konteks kebijakan luar
negeri, relevansi ideologi China-isasi Marxisme berdampak terhadap pilihan
pendekatan politik yang berciri khas pada superioritas peradaban dan
hierarkisme kultural China serta perjuangan menempatkan posisi yang pantas
bagi China dalam tatanan politik kawasan dan global. Apabila landasan
ideologi itu terealisasikan, kebijakan luar negeri China akan jadi lebih
agresif pasca-kongres ke-19 PKC.
Dalam sistem negara-partai
China, birokrasi PKC memiliki posisi hierarkis tertinggi dan krusial dalam
melegitimasi jalannya birokrasi pemerintahan. PKC berperan sebagai pembuat
kebijakan yang menentukan landasan kebijakan untuk diimplementasikan oleh
pemerintah.
Menariknya, ranking elite
politik PKC lebih tinggi dibanding jabatan struktural pada birokrasi
pemerintahan, di mana ini sering kali menyebabkan tumpang tindih klaim
otoritas antara birokrasi PKC dan pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan. Kongres ke-19 PKC memberikan kesempatan bagi Xi Jinping untuk menciptakan
birokrasi yang efektif sekaligus menempatkan suksesor dan loyalis.
Melalui kampanye antikorupsi
yang diusung Xi Jinping, lebih dari 200 pejabat tinggi PKC, militer, dan
birokrasi pemerintah yang berasal dari faksi politik yang berseberangan dengan
Xi Jinping berhasil dibungkam. Banyak posisi jabatan strategis birokrasi PKC
menjadi lowong. Ini menjadi keuntungan rezim untuk menempatkan para loyalis
Xi Jinping dalam birokrasi PKC, militer, dan pemerintahan melalui mekanisme
kongres ke-19 PKC.
Selain berdampak positif
terhadap alur koordinasi dan implementasi kebijakan luar negeri China yang
lebih terkonsentrasi sesuai agenda politik Xi Jinping, perbedaan pendapat
antar-elite birokrasi PKC, militer, dan pemerintahan juga dapat diredam.
Dengan kata lain, koordinasi birokrasi dapat mendorong kebijakan luar negeri
China menjadi lebih efektif, tetapi juga agresif pada saat yang bersamaan
karena konsentrasi pengambilan kebijakan berpusat pada Xi Jinping.
Kebijakan luar negeri
Berdasarkan dua alasan di atas,
terdapat tiga arena kebijakan luar negeri di mana China akan muncul lebih
agresif setelah kongres ke-19 PKC. Arena pertama terlihat dalam konteks
hubungan China-Amerika Serikat. Meski China memerlukan AS untuk menjamin
stabilitas pertumbuhan ekonomi, tensi dinamika hubungan China-AS terus
meningkat pasca-pelantikan Donald Trump sebagai presiden AS.
Dengan pendekatan politik
China-isasi Marxisme, stabilitas dan menghindari friksi pada hubungan
China-AS akan menjadi pilihan utama meskipun pada saat yang bersamaan China
menanti momentum untuk memosisikan dirinya sebagai adidaya menggantikan AS.
Arena kedua terkait hubungan
China-Taiwan. Kongres ke-19 PKC menjadi kesempatan bagi China merespons hasil
pemilu Taiwan tahun 2016 serta kebijakan Taiwan yang pro-kemerdekaan di bawah
rezim Tsai Ing-wen. Pasca-kongres ke-19 PKC, China akan mengintensifkan
kebijakan prounifikasi dengan Taiwan demi mewujudkan kembali idealisme
”kebangkitan besar bangsa China” yang juga merupakan cita-cita revolusi dan
reformasi China-isasi Marxisme, di mana ini juga akan meningkatkan dukungan
nasionalistik rakyat China yang berdampak positif bagi legitimasi rezim PKC
di bawah Xi Jinping.
Arena ketiga terkait perubahan
kebijakan maritim dan pertahanan yang semakin agresif. Di bawah Xi Jinping,
setidaknya beberapa kebijakan maritim dan pertahanan dapat dikatakan
tergolong agresif, misalnya melalui pembangunan pulau-pulau buatan di Laut
China Selatan (LCS), pengorganisasian ulang daerah komando militer dengan
sebutan ”Teater Peperangan”, penetapan hukum implementasi perikanan Provinsi
Hainan yang membatasi zona perikanan LCS, dan konsolidasi lembaga penegakan
hukum urusan maritim yang berdampak pada modernisasi Coast Guard serta
pelatihan nelayan sebagai milisi. Pasca-kongres ke-19 PKC, konsolidasi
kekuasaan pada birokrasi PKC, militer, dan pemerintah akan memberikan
keleluasaan bagi Xi Jinping melakukan manuver kebijakan luar negeri yang
lebih agresif.
Perubahan agenda politik Xi
Jinping serta perombakan struktur birokrasi partai, militer, dan pemerintahan
akan berpengaruh pada kebijakan luar negeri China yang lebih bersifat agresif
pada tataran politik kawasan dan global. Karena itu, penting bagi Indonesia
mengamati kongres ke-19 PKC demi memahami arah sasaran kebijakan luar negeri China
lima tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar