Tiga
Tahun Jokowi-JK
Adi Prayitno ; Dosen Politik FISIP UIN
Jakarta;
Peneliti The Political
Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 20 Oktober 2017
Masa pemerintahan kabinet kerja
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kini genap memasuki
usia tiga tahun. Meski banyak pekerjaan ru mah yang harus dibenahi, sejum lah
capaian penting layak di apresiasi sebagai implementa sinyata dari janji Nawa
Cita. Di bidang politik misalnya, situasi politik semakin kondusif terutama
soal relasi antara presiden dan senator Senayan.
Tidak seperti fase awal
pemerintahan Jokowi-JK yang terbelah (divided government) ekstrem akibat
polarisasi kekuatan politik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) yang saling berkonfrontasi. Sepanjang tahun pertama hingga awal
tahun kedua, energi Jokowi-JK terkuras habis sekadar meladeni manuver politik
KMP.
Hampir semua kebijakan
pemerintah dijegal oposisi yang menguasai suara mayoritas parlemen.
Akibatnya, hubungan eksekutif dan legislatif berlangsung saling curiga,
canggung, bahkan saling menegasi. Memasuki tahun ketiga pemerintahan,
Jokowi-JK mulai bisa menjinakkan kekuatan oposisi, mengontrol kabinet kerja,
serta mengonsolidasikan kekuatan partai politik pendukung untuk mengusung
Jokowi kembali sebagai capres 2019.
Jokowi juga mendapatkan
kepercayaan publik yang cukup tinggi sebagai bekal mempercepat pembangunan
yang terbengkalai. Kesuksesan penyelenggaraan pilkada serentak tahap kedua
yang digelar Februari 2017 lalu di 101 daerah seluruh Indonesia turut
mewarnai kecemerlangan politik diera Jokowi-JK.
Nyaris tak ada gejolak politik
berarti. Ha nya sedikit letupan yang terjadi di jantung Ibu Kota, yakni soal
kisruh Ahok dalam pusaran Pilkada Jakarta. Sebagai bagian dari dinamika
politik, Pilkada Jakarta memang menyita begitu banyak energi dan emosi yang
sekaligus memberikan edukasi politik yang mendewasakan.
Menguji demokrasi dan
nilai-nilai kebangsaan. Begitulah kira-kira makna tersembunyi di balik kisruh
Pilkada Jakarta. Meski sempat gaduh, kisruh efek Pilkada DKI Jakarta nyatanya
”happy ending” yang ditandai dengan kemesraan kembali Jokowi dan umat Islam.
Tahun Kerja
Jokowi-JK menjadikan tahun
ketiga pemerintahannya sebagai tahun kerja. Suasana politik kondusif menjadi
angin surga mengejar target program Nawa Cita. Sejumlah mega proyek
infrastruktur terbukti berjalan mulus tanpa interupsi apa pun sebagai ikhtiar
pemerataan ekonomi keberbagai wilayah. Dengan gelontoran dana sekitar 387
triliun pada 2017, mereka sukses merealisasikan pembangunan infrastruktur dan
memulai pemerataan di berbagai daerah, terutama di luar Jawa.
Pembangunan infrastruktur yang
masif di seluruh wilayah bukan pilihan mudah. Awalnya, kebijakan itu mer
upakan pilihan sulit karena membutuhkan dana besar. Akibatnya pemerintah
melakukan efisiensi anggaran, salah satunya mencabut subsidi di sektor publik
dan menaikkan pajak.
Sebuah kebijakan tak populis,
penuh risiko, rentan resistensi, serta berpotensi menambah angka kemiskinan.
Apalagi, membangun infrastruktur tidak mendatangkan man faat langsung kepada
masyarakat layaknya bantuan langsung tunai ( BLT) seperti era sebelumnya.
Infrastruktur merupakan fasilitas publik yang manfaatnya baru dirasakan dalam
waktu cukup lama.
Meski begitu, tanpa bandara,
pelabuhan, rel kereta, dan jalan mustahil rasanya bisa mewujudkan pemerataan
pembangunan di wilayah. Karena itu, pembangunan infrastruktur tak melulu
dimaknai sebatas penyediaan fasilitas fisik, melainkan sebagai upaya
meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah, distribusi logistik mudah
berbiaya murah yang berimplikasi pada menggeliatnya ekonomi lokal.
Kini efek pembangunan
infrastruktur mulai terasa, terutama dalam memangkas dispari tas harga
didaerah terpencil. Ditengah pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi
relatifstabil di kisaran angka 5%. Pada saat bersamaan inflasi ditekan ke
titik nominal 3%. Itu artinya ada selisih keuntungan yang bisa dipetik
pemerintah.
Dulu pertumbuhan ekonomi memang
mencapai 7%, tapi angka inflasi cukup tinggi men capai 9%. Pemerintah masih
merugi. Meski begitu, bukan berarti Jo kowi-JK tanpa koreksi. Minimnya lapangan
pekerjaan, tingginya angka kemiskinan, tingginya harga kebutuhan pokok,
banyaknya pungli dipemerin tahan, serta rendahnya daya beli masyarakat
menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi sebelum periode 2019 berakhir.
Tentu saja tak mudah mencapai
semua pekerjaan rumah itu. Pemerintah harus fokus bekerja, tak usah berpuas
diri dengan survei yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat. Jelang tahun
politik 2018 dan 2019 energi bangsa akan tergerus habis urus politik.
Pada saat itu lah Jokowi harus
tetap bekerja di jalan sunyi sekalipun tanpa publisitas. Jokowi tak usah
membangun citra lewat ragam media. Cukup ditunjukkan dengan kerja nyata
seperti yang sudah dilakukan selama ini, berpolitik dengan bekerja nyata
untuk rakyat. Itulah sejatinya citra, bukan citra tanpa kerja nyata.
Pertaruhan Politik
Memasuki tahun keempat,
Jokowi-JK mengantongi modal politik cukup memadai untuk merealisasikan semua
target kerja Nawa Cita. Situasi politik yang kondusif, dukungan par lemen,
soliditas partai pendukung, serta kepercayaan (trust) publik menja di amunisi
besar untuk menggenjot pembangunan.
Jokowi-JK tak lagi menjadi mi
nority president karena sandungan oposisi parlemen sudah melemah. Bisa
dimaklumi jika masa awal pemerintahan mereka mengalami turbulensi politik
melelahkan akibat minimnya dukungan parlemen. Namun, setelah hambatan mulai
tiada, Jo kowi-JK harus meningkatkan performa kinerja, terutama disektor
politik, ekonomi, hukum, dan pemberantasan korupsi.
Di sektor hukum dan
pemberantasan korupsi sudah tampak menampilkan kemajuan signifikan. Banyaknya
kepala daerah yang ditangkap KPK serta pembersihan pungli dipemerintahan
menjadi bukti sahih sektor ini bekerja dengan baik. Meski begitu, ada
tantangan nyata disektor pemberantasan korupsi, terutama soal adanya upaya
sistematis melemahkan KPK.
Di sektor ekonomi, meski banyak
capaian positif terutama soal iklim investasi yang meng gembirakan, masih ada
pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi-JK seperti menyediakan lapangan
kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, dan seterusnya. Kedepan sisa dua
tahun kerja akan menjadi pertaruhan politik bagi Jokowi.
Dalam logika perilaku pemilih
rasional (rational choice), jika Jokowi mampu meningkatkan performa kinerja
ekonomi dan politiknya, otomatis akan berdampak positif pada elektabilitas
Jokowi pada Pilpres 2019. Anthony Downs dalam An Eco nomic Theory of
Democracy (1957) menjelaskan pilihan politik seseorang sangat ditentukan oleh
kondisi ekonomi seseorang maupun kondisi ekonomi masyarakat secara umum.
Jika hasil evaluasi masyarakat
terhadap kondisi ekonomi cukup positif, akan berdampak baik pada pemerintah
yang sedang berkuasa. Kepercayaan akan meningkat. Sebaliknya, jika kondisi
ekonomi memburuk, masyarakat akan memberikan punishment terhadap pejabat bersangkutan.
Dalam perkembangannya,
pendekatan rational choice juga di tarik kesektor lain untuk menilai kinerja,
rekam jejak, serta integritas pemimpin petahana. Pemilih rasional akan
cenderung memilih kandidat yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan
ekonomi politik masyarakat dewasa ini.
Pada tahap inilah sisa kerja
dua tahun akan menjadi pertaruhan politik yang sesung guhnya bagi Jokowi.
Pemberantasan korupsi, performa ekonomi, penegakan hukum, serta perkembangan
demokrasi akan menjadi barometer keberhasilan Jokowi yang akan di lihat oleh
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar