Kenapa
Banyak Tulisan Buruk?
AS Laksana ; Cerpenis dan Kolumnis
|
JAWA
POS, 30 Oktober 2017
STEVEN Pinker, ilmuwan
psikolinguistik dari Universitas Harvard, AS, dalam ceramah-ceramahnya
tentang penulisan sering mengajukan pertanyaan: Kenapa kebanyakan tulisan
buruk sekali dan bagaimana cara menjadikannya lebih baik? Tentu saja dia
tidak membicarakan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia. Dia membicarakan
tulisan-tulisan berbahasa Inggris dan menjawab pertanyaannya dalam buku
panduan yang cemerlang, berjudul The
Sense of Style: The Thinking Person's Guide to Writing in the 21st Century.
Saya teringat buku tersebut,
juga pertanyaannya, karena beberapa hari lalu disodori sejumlah pertanyaan
oleh wartawan yang surat kabarnya hendak menurunkan laporan tentang
merosotnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia di kalangan murid-murid
sekolah. Itu laporan yang penuh keprihatinan dalam menyambut Hari Sumpah
Pemuda. Dia merasa bahwa murid-murid sekolah saat ini lebih bangga belajar
bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.
Benarkah itu masalah? Mungkin
tidak. Penguasaan yang bagus terhadap bahasa asing –Inggris, Prancis, Jerman,
Spanyol, Mandarin, dan sebagainya– akan memberi peluang murid-murid untuk
memasuki dunia yang lebih luas.
Dalam soal buku saja, orang
yang menguasai satu bahasa asing, katakanlah Inggris, jelas akan memiliki
lebih banyak bacaan dan bisa menyerap lebih banyak pengetahuan bila
dibandingkan dengan orang-orang yang bangga hanya berbahasa Indonesia. Ada
banyak buku bagus dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan lain-lain, baik
fiksi maupun nonfiksi; tidak banyak dalam bahasa Indonesia.
Kawan-kawan saya sesama penulis
yang fasih membaca buku-buku dalam bahasa asing bisa menulis lebih bagus
dalam bahasa Indonesia. Jadi, saya tidak melihat bahasa Indonesia sedang
terancam atau mengalami kemerosotan atau tidak lagi dicintai hanya karena
orang-orang menyukai pelajaran bahasa asing. Bahasa tumbuh bersama masyarakat
pemakainya; masyarakat tumbuh berkat pengetahuan yang dia miliki.
Jika benar bahwa murid-murid
sekolah lebih menyukai mata pelajaran bahasa asing ketimbang bahasa
Indonesia, saya pikir karena mereka memiliki ”cita-cita” atau menaruh
”harapan” tertentu dalam mempelajari bahasa asing. Bukan semata-mata karena
penguasaan bahasa asing sering ditanyakan kelak ketika mereka mencari
pekerjaan, tetapi mungkin mereka memiliki hasrat lebih dari itu: mendapatkan
lingkungan pergaulan yang lebih luas, mendapatkan teman-teman dari
negara-negara lain, ingin bisa membaca lebih banyak buku, dan sebagainya.
Semua itu bisa menjadi penambah semangat belajar bahasa asing bagi
murid-murid.
Sebaliknya, ketika mereka
mempelajari bahasa Indonesia, apa ”cita-cita” atau ”harapan” yang ada di
belakangnya? Hampir tidak ada, jika bukan tidak ada sama sekali. Bahasa
Indonesia mereka pelajari sebagai mata pelajaran wajib saja. Mereka tidak
tertarik pada materinya, bosan pada cara guru menyampaikan, dan tidak tahu
kenapa harus menguasai bahasa Indonesia sebaik-baiknya.
Mungkin guru-gurunya pun
bingung jika ditanya: Apa yang menarik dalam pelajaran bahasa Indonesia dan
apa pentingnya bagi murid-murid menguasai bahasa Indonesia sebaik mungkin?
Saya pikir, memaksa orang agar
tekun mempelajari sesuatu yang tidak menarik adalah urusan mustahil. Dalam
transaksi sehari-hari, kita tidak bisa menyalahkan pembeli jika mereka tidak
mau membeli barang dagangan kita. Kita tidak punya hak untuk memaksa orang
membeli barang dagangan yang tidak menarik bagi mereka.
Di luar urusan persekolahan dan
bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran, saya justru melihat bahasa Indonesia
semakin maju. Ia sudah cukup canggih dan memadai sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Kita bisa menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rumit dan
kompleks dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Ada tudingan bahwa media sosial
memberi pengaruh besar bagi kemerosotan orang dalam kemampuan berbahasa atau
mendorong kekasaran bentuk ekspresi, baik oleh orang-orang secara umum maupun
politisi. Saya pikir, itu tuduhan yang berlebihan. Sebelum era internet dan
media sosial, kebanyakan tulisan buruk juga mutunya dan jumlah orang yang
membaca buku tidak banyak. Pada waktu itu orang mengeluhkan televisi.
Bahwa kebanyakan orang menulis
buruk atau berbahasa secara buruk, itu hal yang lumrah. Di tempat-tempat lain
juga seperti itu: Kecakapan berbahasa adalah hal yang sulit dikuasai,
terutama bahasa tulis. Untuk keperluan berkomunikasi lisan, orang menguasai
bahasa secara alami melalui pergaulan sehari-hari dan mereka merasa apa yang
mereka miliki sudah cukup. Mereka bisa bercakap-cakap dengan orang lain,
merayu, melakukan tawar-menawar —tidak ada masalah.
Namun, kecakapan berbahasa tulis
bukan sesuatu yang didapat secara alami; ia harus dipelajari. Orang perlu
memiliki kemampuan berpikir, menguasai bahan, memiliki kosakata yang cukup
kaya, dan mengetahui cara mengungkapkannya —dalam suara dan gaya yang
menarik. Itu berarti orang perlu banyak membaca, mencintai kalimat, serta
memahami kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar. Mungkin nanti dia akan
merasa perlu melanggar kaidah untuk kepentingan tertentu saat menulis, tetapi
itu bukan pelanggaran oleh orang yang tidak tahu kaidah.
Prasyarat-prasyarat untuk
menguasai kecakapan berbahasa Indonesia secara bagus itulah yang tidak pernah
dipenuhi pemerintah hingga hari ini. Murid-murid sekolah tidak dibimbing
menjadi pembaca buku, tidak diajari mengungkapkan pemikiran secara tertulis
dalam metode yang menyenangkan, tidak diajak bersenang-senang dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar