Selasa, 31 Oktober 2017

Kenapa Banyak Tulisan Buruk?

Kenapa Banyak Tulisan Buruk?
AS Laksana ;   Cerpenis dan Kolumnis
                                                    JAWA POS, 30 Oktober 2017



                                                           
STEVEN Pinker, ilmuwan psikolinguistik dari Universitas Harvard, AS, dalam ceramah-ceramahnya tentang penulisan sering mengajukan pertanyaan: Kenapa kebanyakan tulisan buruk sekali dan bagaimana cara menjadikannya lebih baik? Tentu saja dia tidak membicarakan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia. Dia membicarakan tulisan-tulisan berbahasa Inggris dan menjawab pertanyaannya dalam buku panduan yang cemerlang, berjudul The Sense of Style: The Thinking Person's Guide to Writing in the 21st Century.

Saya teringat buku tersebut, juga pertanyaannya, karena beberapa hari lalu disodori sejumlah pertanyaan oleh wartawan yang surat kabarnya hendak menurunkan laporan tentang merosotnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia di kalangan murid-murid sekolah. Itu laporan yang penuh keprihatinan dalam menyambut Hari Sumpah Pemuda. Dia merasa bahwa murid-murid sekolah saat ini lebih bangga belajar bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.

Benarkah itu masalah? Mungkin tidak. Penguasaan yang bagus terhadap bahasa asing –Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Mandarin, dan sebagainya– akan memberi peluang murid-murid untuk memasuki dunia yang lebih luas.

Dalam soal buku saja, orang yang menguasai satu bahasa asing, katakanlah Inggris, jelas akan memiliki lebih banyak bacaan dan bisa menyerap lebih banyak pengetahuan bila dibandingkan dengan orang-orang yang bangga hanya berbahasa Indonesia. Ada banyak buku bagus dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan lain-lain, baik fiksi maupun nonfiksi; tidak banyak dalam bahasa Indonesia.

Kawan-kawan saya sesama penulis yang fasih membaca buku-buku dalam bahasa asing bisa menulis lebih bagus dalam bahasa Indonesia. Jadi, saya tidak melihat bahasa Indonesia sedang terancam atau mengalami kemerosotan atau tidak lagi dicintai hanya karena orang-orang menyukai pelajaran bahasa asing. Bahasa tumbuh bersama masyarakat pemakainya; masyarakat tumbuh berkat pengetahuan yang dia miliki.

Jika benar bahwa murid-murid sekolah lebih menyukai mata pelajaran bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia, saya pikir karena mereka memiliki ”cita-cita” atau menaruh ”harapan” tertentu dalam mempelajari bahasa asing. Bukan semata-mata karena penguasaan bahasa asing sering ditanyakan kelak ketika mereka mencari pekerjaan, tetapi mungkin mereka memiliki hasrat lebih dari itu: mendapatkan lingkungan pergaulan yang lebih luas, mendapatkan teman-teman dari negara-negara lain, ingin bisa membaca lebih banyak buku, dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi penambah semangat belajar bahasa asing bagi murid-murid.

Sebaliknya, ketika mereka mempelajari bahasa Indonesia, apa ”cita-cita” atau ”harapan” yang ada di belakangnya? Hampir tidak ada, jika bukan tidak ada sama sekali. Bahasa Indonesia mereka pelajari sebagai mata pelajaran wajib saja. Mereka tidak tertarik pada materinya, bosan pada cara guru menyampaikan, dan tidak tahu kenapa harus menguasai bahasa Indonesia sebaik-baiknya.

Mungkin guru-gurunya pun bingung jika ditanya: Apa yang menarik dalam pelajaran bahasa Indonesia dan apa pentingnya bagi murid-murid menguasai bahasa Indonesia sebaik mungkin?

Saya pikir, memaksa orang agar tekun mempelajari sesuatu yang tidak menarik adalah urusan mustahil. Dalam transaksi sehari-hari, kita tidak bisa menyalahkan pembeli jika mereka tidak mau membeli barang dagangan kita. Kita tidak punya hak untuk memaksa orang membeli barang dagangan yang tidak menarik bagi mereka.

Di luar urusan persekolahan dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran, saya justru melihat bahasa Indonesia semakin maju. Ia sudah cukup canggih dan memadai sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Kita bisa menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rumit dan kompleks dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Ada tudingan bahwa media sosial memberi pengaruh besar bagi kemerosotan orang dalam kemampuan berbahasa atau mendorong kekasaran bentuk ekspresi, baik oleh orang-orang secara umum maupun politisi. Saya pikir, itu tuduhan yang berlebihan. Sebelum era internet dan media sosial, kebanyakan tulisan buruk juga mutunya dan jumlah orang yang membaca buku tidak banyak. Pada waktu itu orang mengeluhkan televisi.

Bahwa kebanyakan orang menulis buruk atau berbahasa secara buruk, itu hal yang lumrah. Di tempat-tempat lain juga seperti itu: Kecakapan berbahasa adalah hal yang sulit dikuasai, terutama bahasa tulis. Untuk keperluan berkomunikasi lisan, orang menguasai bahasa secara alami melalui pergaulan sehari-hari dan mereka merasa apa yang mereka miliki sudah cukup. Mereka bisa bercakap-cakap dengan orang lain, merayu, melakukan tawar-menawar —tidak ada masalah.

Namun, kecakapan berbahasa tulis bukan sesuatu yang didapat secara alami; ia harus dipelajari. Orang perlu memiliki kemampuan berpikir, menguasai bahan, memiliki kosakata yang cukup kaya, dan mengetahui cara mengungkapkannya —dalam suara dan gaya yang menarik. Itu berarti orang perlu banyak membaca, mencintai kalimat, serta memahami kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar. Mungkin nanti dia akan merasa perlu melanggar kaidah untuk kepentingan tertentu saat menulis, tetapi itu bukan pelanggaran oleh orang yang tidak tahu kaidah.

Prasyarat-prasyarat untuk menguasai kecakapan berbahasa Indonesia secara bagus itulah yang tidak pernah dipenuhi pemerintah hingga hari ini. Murid-murid sekolah tidak dibimbing menjadi pembaca buku, tidak diajari mengungkapkan pemikiran secara tertulis dalam metode yang menyenangkan, tidak diajak bersenang-senang dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar