Gubernur
yang Gagal Memahami Indonesia
Fadly Rahman ; Sejarawan Universitas
Padjadjaran
|
DETIKNEWS,
18 Oktober
2017
Anies Baswedan resmi dilantik
menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022. Salah satu pernyataan yang
dilontar dalam pidatonya –dan menjadi viral di media sosial– adalah:
"dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka,
saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri." Pertanyaan yang patut
dilontar balik untuk sang gubernur terpilih adalah, siapa yang ia maksud
dengan "pribumi" itu? Apa makna di balik kata itu? Dan, siapa dan
apa konteks "tuan rumah" yang ia maksudkan?
Makna "dulu" atas
nama "kita semua pribumi" yang ia maksudkan sendiri merujuk ke
konteks sejarah Indonesia masa kolonial. Artinya, konteks
"pribumi"-nya sang gubernur terpilih mesti didudukkan dalam
diskursus sejarah kolonial dan poskolonial untuk membedah makna terdalam di
balik kata yang sensitif digunakan dalam memori sejarah bangsa Indonesia
(kecuali bagi mereka yang amnesia sejarah).
Mengapa sensitif? Sebelum
menyelami konteks sejarahnya, setidaknya kita bisa merefleksikan penggunaan
kata "pribumi" dalam masa kekinian terkait kasus tuduhan
"penistaan agama" yang dialamatkan kepada Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) pada masa pelaksanaan kampanye calon gubernur DKI Jakarta. Kata
"pribumi" kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai
oposisi biner terhadap kata "non-pribumi" yang maksudnya merujuk
pada masyarakat berdarah keturunan Tionghoa.
Itulah mengapa, pasca
lengsernya Soeharto pada Reformasi 1998, Presiden B.J. Habibie segera
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 tahun 1998 tentang penghentian
penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi dalam semua perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan. Inpres itu diterbitkan, mengingat kata
"pribumi" dan "non-pribumi" telah memakan banyak korban
jiwa pada masa menjelang Reformasi 1998. Dalam hal ini jelas, penekanan kata
"pribumi" dalam pidato gubernur baru DKI Jakarta merupakan
ahistorisitas atau contradictio in
terminis atas Inpres 1998.
Selain itu, kata
"pribumi" pun belakangan waktu kerap disematkan dalam atribut
kelompok agama tertentu, seperti belum lama ini tersirat dari teks spanduk:
"Kebangkitan Pribumi Muslim" yang dibentangkan para pendukung
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih. Teks ini menjadi konyol,
karena kata "pribumi muslim" memiliki ragam oposisi biner, misalnya
saja: non-pribumi muslim, arab muslim, india muslim, dan cina muslim. Lalu
apa definisi dan batasan "pribumi" itu sendiri? Apakah mereka
muslim yang, misalnya, berdarah Jawa, Sunda, Melayu, Makassar, atau Ambon?
Bagaimana dengan gubernur terpilih sendiri yang merupakan seorang muslim
berdarah Arab (yang seharusnya tidak masuk dalam kategori muslim pribumi,
mengingat ia memiliki gen asing alias non-pribumi).
Sekalipun diselimuti
kekonyolan, justru rendahnya nalar dalam memahami makna "pribumi"
dapat berpotensi mengarah pada kebencian terhadap suku, agama dan ras
tertentu. Bahkan ironisnya, ada oknum-oknum orang tua, orang dewasa, dan guru
yang menanamkan benih-benih rasisme dan puritanisme (ras dan agama) kepada
anak-anak. Mereka yang mengklaim diri sebagai "pribumi" kebanyakan
tidak menyadari, tidak ada yang benar-benar murni dalam kehidupan ciptaan
Sang Khalik; terlebih lagi hidup menjadi bagian dari Indonesia, negara-bangsa
dengan keragaman budayanya. Mereka yang memurnikan diri sebagai
"pribumi" pun tidak menyadari bahwa pemurnian diri tak jauh beda
dengan fasisme, dan dalam konteks Indonesia lebih buruk dari kehidupan masa
kolonial. Mengapa?
Gagal Paham Sejarah
Setidaknya, ada tiga alasan
yang menunjukkan gagal pahamnya sang gubernur terpilih dalam memahami makna
"pribumi". Pertama, gagal paham terhadap sejarah Indonesia sendiri.
Penamaan pribumi sebenarnya sinonim dengan 'inlander', kata yang pernah
dipakai pada masa kolonial Hindia Belanda. Sejak penerapan Regelings
Reglement (peraturan pemerintah) tahun 1854, pemerintah Hindia Belanda
membagi kelas sosial ke dalam tiga golongan, yakni orang-orang Eropa
(Europeanen), orang-orang Timur Asing (Vreemde oosterlingen yang mencakup
Arab, Tionghoa, dan India), serta Pribumi (Inlanders).
Meski penggolongan kelas sosial
ini mengalami beberapa kali perubahan kebijakan hingga awal abad ke-20, namun
pada dasarnya pemerintah kolonial cenderung melakukan diskriminasi terhadap
kaum Inlander. Kata 'Inlander' bahkan acap dikonotasikan rendah dalam hidup
keseharian masyarakat. Misalnya di ruang-ruang publik khusus untuk
orang-orang Eropa, tertulis pengumuman: "Verboden voor honden en
Inlander" (terlarang untuk anjing dan Pribumi). Jelas, menyamakan
pribumi dengan anjing adalah hal sangat menghina. Itulah mengapa sejak awal
masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, kaum nasionalis Indonesia
mulai menolak untuk menggunakan kata Inlander. Organisasi-organisasi masa
pergerakan nasional hingga kemerdekaan pun secara sadar mulai mengubah citra
rendah kata Inlander dengan nama "Indonesia", mulai dari
Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Sarekat Islam,
hingga Majelis Syuro Muslimin Indonesia.
Ingkar Kebangsaan
Kedua, gagal paham menjadi
Indonesia. Menjadi Indonesia artinya berikrar untuk meleburkan segala
perbedaan (suku, agama, dan ras) sebagai hasrat hidup bersama selaku sebuah
bangsa. Sejak sebelum Kemerdekaan pun komitmen itu sudah diikrarkan pada 1928
dalam Kongres Pemuda, dan lebih ditegaskan setelah Indonesia merdeka melalui
semboyan kebangsaan "Bhinneka Tunggal Ika". Bung Hatta sudah pernah
menyiratkan bahwa yang diperlukan dari kemajemukan Indonesia adalah persatuan
yang tulus. Ketidaktulusan untuk bersatu karena terjebak pada fanatisme
sempit (kesukuan, beragama, dan ras) akan sukar untuk membuahkan persatuan;
yang dikhawatirkan terjadi malahan "persatean".
Adalah hal yang ideal
mengidentikkan Indonesia dengan segala keragaman identitasnya. Namun
keidealan itu berpotensi runtuh jika mereka dengan latar belakang identitas
suku, agama, dan rasnya menjumawakan ego identitasnya seraya meliyankan
mereka yang berasal dari luar kelompoknya. Mereka lupa dengan akar sejarah
dan budaya ke-Indonesia-annya. Padahal Bung Karno sudah jauh-jauh hari
mengingatkan: "kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi
Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi.
Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya
ini."
Pernyataan Bung Karno itu
secara implisit adalah ikrar untuk hidup menjadi bagian dari Indonesia. Dan,
mengingkarinya berarti ingkar terhadap esensi hidup berbangsa itu sendiri.
Keberagaman adalah Fitrah
Terakhir, gagal paham terhadap
ajaran agamanya sendiri. Mengingkari keberagaman apalagi menista ras ciptaan
Allah, sama artinya mengingkari firman Allah sebagaimana termaktub dalam
Al-Qur'an surah Al-Hujuraat ayat ke-13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal."
Qasim Rashid dalam artikelnya Anyone Who Says the Quran Advocates
Terrorism Obviously Hasn't Read Its Lessons on Violence di
independent.co.uk (10/4) menyatakan sebab seorang muslim terjerumus dalam
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Menurutnya, itu terjadi karena kini
banyak orang belajar Islam hanya dari kabar-kabur yang beredar di media
sosial daripada dari Al-Qur'an dan riwayat hidup Rasulnya. Anjur Rashid: "read the Qur'an, a biography of
Muhammad, seek out the True Islam education campaign". Pemikiran
Rashid menyadarkan kita bahwa kekerasan atas nama agama tidak terlepas dari
gagal pahamnya individu terhadap nilai-nilai toleransi, kasih sayang, serta
welas asih Tuhan dan Rasul-Nya.
Disadari atau tidak, penekanan
kata "pribumi" dalam pidato sang gubernur terpilih adalah
pengingkaran terhadap makna ke-Indonesia-an. Dus, sebelum puritanisme "à
la Pribumi" itu tumbuh subur, untuk memutus akarnya, maka belum ada kata
terlambat bagi kita untuk menanamkan pemahaman pengetahuan sejarah, budaya,
civic, dan agama yang bersendikan pada nilai-nilai ke-bhinekaan-an Indonesia
bagi masyarakat. Tidak perlu lagi ada dikotomi pribumi dan non-pribumi,
karena siapapun yang berstatus sebagai warga negara Indonesia, apapun
sukunya, agamanya, dan rasnya adalah orang Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar