Melawan
Korupsi Akademik
Fuad Fachruddin ; Divisi Penjaminan Mutu
Pendidikan,Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Oktober 2017
"LAGAKNYA bak profesor
pemikir jempolan. Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi. Kacamata
tebal, maklum kutu buku. Ngoceh paling jago, banyak baca Kho Ping Hoo.
Bercerita temanku tentang kawan temannya. Nyatanya skripsi beli oh di
sana..." (Teman Kawanku Punya Teman, Iwan Fals album Wakil Rakyat, 1987)
Integritas akademik ialah
sebuah kemewahan yang sulit dicapai.
Ranah akademik, yang semestinya
steril dari praktik kecurangan, justru menjadi ajang praktik-praktik yang
mencederai semangat yang mengagungkan kejujuran dalam proses pencapaian.
Sementara itu, budaya instan
yang berlaku di masyarakat menambah dorongan bagi praktik menyimpang di dunia
akademik.
Integritas akademik
dikesampingkan dan praktik korupsi akademik menjadi sesuatu yang jamak dan
dianggap wajar.
Bait-bait lirik lagu Iwan Fals
di atas mengingatkan publik, terutama para pendidik dan akademisi, untuk
terus melawan setiap praktik korupsi akademik.
Sebabnya, membiarkan praktik
korupsi akademik layaknya menggali liang lahat untuk moralitas dan ilmu
pengetahuan yang merupakan fondasi kemajuan dan kelangsungan suatu bangsa.
Integritas akademik
Integritas berasal dari kata
integer dan integritas dalam bahasa Latin secara harafiah berarti utuh.
Integritas merupakan perilaku
manusia yang ideal.
Integritas sejajar kualitas
diri seperti jujur dan amanah.
Seorang yang berintegritas
selalu siap mengatakan kebenaran, apa pun risikonya, dan mengakui
kekeliruannya apabila kebijakan yang diambil pada masa lalu terbukti keliru
(Macfarlane: 2009).
Integritas akademik mencakup
isu-isu moral seperti kejujuran, pandangan, atau sikap tentang benar atau
salah secara moral dan merasa bertanggung jawab mencegah ketidakjujuran
akademik (M Stephens dan Wangaard: 2016).
Integritas mencerminkan
komitmen seseorang untuk mengamalkan dan menegakkan empat komponen moral,
yaitu kejujuran, amanah, adil, dan menghargai hak orang lain dalam sikap dan
tindakan.
Dikenal banyak ragam praktik
korupsi akademik. Pemberian gelar akademik atau nilai asal-asalan, gelar, dan
capaian akademik palsu, rekayasa data penelitian, plagiarisme, manipulasi jam
mengajar/kuliah, hingga 'uang pelicin/sogokan' dalam proses
skripsi/kelulusan.
Salah satu bentuk korupsi
akademik yang sering terjadi ialah praktik jual beli karya akademik seperti
skripsi, makalah/paper, tesis, atau disertasi. Dalam kajian academic
dishonesty, dikenal dengan istilah ghost writing, karya akademik yang ditulis
orang lain.
Dalam banyak kasus korupsi
akademik, masyarakat cenderung permisif dan menerimanya. Proses panjang
akademik yang semestinya menjadi ukuran diabaikan demi gengsi dan desakan
kebutuhan akan pengakuan.
Mengapa menegakkan integritas
akademik dan menumbuhkan gerakan penolakan terhadap praktik korupsi akademik
tidak mudah?
Mengapa seseorang terlibat atau
memilih ketidakjujuran akademik?
Setidaknya ada lima faktor,
pertama hambatan yang bersifat laten untuk menegakkan integritas akademik.
Yakni keraguan di kalangan
orang tua, guru/pengajar, administrator dan komite sekolah terhadap penerapan
kebijakan integritas akademik secara tegas tanpa pandang bulu.
Ada kalanya para pengajar
enggan menerapkan hukuman terhadap mereka yang melakukan kecurangan karena
takut dikritik dan dianggap pengajar yang killer.
Hal itu menyebabkan banyak
pengajar melunak saat dihadapkan pada praktik korupsi akademik.
Bahkan, dalam banyak kasus,
manajemen lembaga pendidikan justru memaafkan atau membatalkan hukuman
terhadap pelaku tindak korupsi akademik karena takut menghadapi risiko
tuntutan pengadilan atau ancaman pelaku, keluarga, atau pendukung pelaku.
(Lathrop dan Foss: 2005).
Keraguan untuk melawan korupsi
akademik juga muncul dari kebutuhan pencitraan, seperti dianggap daerah yang
berhasil dalam sektor pendidikan.
Kedua, sikap victimless crime
di kalangan masyarakat.
Selama kecurangan di ranah
akademik dianggap bermanfaat dan tidak memengaruhi atau menyakiti orang lain,
serta sepanjang masyarakat yang memanfaatkan jasa itu tidak merasa dirugikan,
penegak hukum tidak bisa menindak pelaku korupsi akademik. (Davis: 2009).
Ketiga, komodifikasi
pendidikan. Konsep ini berasal dari perspektif kritis studi pendidikan
(Morrow dan Torres: 1995).
Yaitu upaya mentransformasi
pendidikan menjadi komoditas. Penyelenggaraan pendidikan dipandang memiliki
nilai ekonomi atau orientasi pasar.
Proses trasnformasi pendidikan
menjadi komoditas menghilangkan makna hakiki pendidikan, yaitu proses
pemartabatan manusia.
Persaingan yang ketat dalam
pasar jasa penyelenggaraan pendidikan menjadikan kualitas sebagai faktor
penting.
Dalam praktiknya, acap kali
pengelola pendidikan lebih memilih kepentingan materi dan mengabaikan proses
dan ketentuan sehingga mengorbankan mutu pendidikan.
Keempat, sikap sebagian warga
masyarakat yang memandang korupsi akademik seperti jual beli karya ilmiah
atau gelar akademik bukan perbuatan haram.
Haram lebih dipahami dalam
konteks mencari rezeki materi (uang).
Meskipun kita mengenal ungkapan
yang bagus (atsar) "Ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak sampai kepada
orang yang melakukan maksiat."
Kasus jual beli makalah, dll,
sering tidak dianggap sebagai perbuatan maksiat.
Kelima, keterbatasan waktu yang
dimiliki seseorang dapat mendorong seseorang melakukan tindak praktik korupsi
akademik.
Desakan waktu sering mendorong
orang mengesampingkan akal sehat dan moralitas akademik mereka dan mengambil
jalan pintas.
Praktik seperti ghost writing
ialah contoh korupsi akademik yang muncul dengan alasan keterbatasan waktu
(Davis, et all, 2009).
Membangun budaya integritas
akademik dan menghapuskan praktik korupsi akademik tidak mudah.
Setidaknya ada dua hal yang
dapat dilakukan; pertama semua pihak harus berkomitmen bahwa bersekolah
adalah proses belajar mencari, mendapatkan, dan membangun ilmu.
Pencapaian nilai akademik yang
tinggi atau gelar hanyalah efek samping yang baik dari belajar.
Belajar harus dimaknai proses
'menjadi'.
Salah satunya menjadi whole
person (seorang yang berilmu dan bermoral).
Kedua, pada tingkat pendidikan
tinggi, ada empat hal saling berinteraksi, yaitu akses, mutu, akuntabilitas,
dan ketersediaan waktu belajar.
Akses pendidikan tinggi terbuka
luas untuk semua warga bangsa.
Namun, perlu didukung jaminan
mutu sehingga warga bangsa mendapat jaminan pendidikan tinggi berkualitas.
Ketersediaan waktu belajar
individu warga masyarakat merupakan salah satu faktor penting menjamin
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Dibutuhkan skema durasi
penyelesaian studi yang jelas dan tegas sehingga konsepsi murid purna waktu
dan paruh waktu menjadi penting.
Melawan korupsi akademik ialah
kredo bagi para pendidik.
Jika kredo ini ditinggalkan,
perkembangan pengetahuan dan moralitas bangsa ini menjadi taruhannya.
Proses pendidikan hanya
berujung pada mutu yang buruk.
Sarjana kita menjelma, tak
ubahnya seperti lirik lagu Iwan Fals, "...tiada bedanya dengan
roti." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar