Senin, 23 Oktober 2017

Melawan Korupsi Akademik

Melawan Korupsi Akademik
Fuad Fachruddin ;   Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan,Yayasan Sukma
                                            MEDIA INDONESIA, 16 Oktober 2017



                                                           
"LAGAKNYA bak profesor pemikir jempolan. Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi. Kacamata tebal, maklum kutu buku. Ngoceh paling jago, banyak baca Kho Ping Hoo. Bercerita temanku tentang kawan temannya. Nyatanya skripsi beli oh di sana..." (Teman Kawanku Punya Teman, Iwan Fals album Wakil Rakyat, 1987)

Integritas akademik ialah sebuah kemewahan yang sulit dicapai.

Ranah akademik, yang semestinya steril dari praktik kecurangan, justru menjadi ajang praktik-praktik yang mencederai semangat yang mengagungkan kejujuran dalam proses pencapaian.

Sementara itu, budaya instan yang berlaku di masyarakat menambah dorongan bagi praktik menyimpang di dunia akademik.

Integritas akademik dikesampingkan dan praktik korupsi akademik menjadi sesuatu yang jamak dan dianggap wajar.

Bait-bait lirik lagu Iwan Fals di atas mengingatkan publik, terutama para pendidik dan akademisi, untuk terus melawan setiap praktik korupsi akademik.

Sebabnya, membiarkan praktik korupsi akademik layaknya menggali liang lahat untuk moralitas dan ilmu pengetahuan yang merupakan fondasi kemajuan dan kelangsungan suatu bangsa.

Integritas akademik

Integritas berasal dari kata integer dan integritas dalam bahasa Latin secara harafiah berarti utuh.

Integritas merupakan perilaku manusia yang ideal.

Integritas sejajar kualitas diri seperti jujur dan amanah.

Seorang yang berintegritas selalu siap mengatakan kebenaran, apa pun risikonya, dan mengakui kekeliruannya apabila kebijakan yang diambil pada masa lalu terbukti keliru (Macfarlane: 2009).

Integritas akademik mencakup isu-isu moral seperti kejujuran, pandangan, atau sikap tentang benar atau salah secara moral dan merasa bertanggung jawab mencegah ketidakjujuran akademik (M Stephens dan Wangaard: 2016).

Integritas mencerminkan komitmen seseorang untuk mengamalkan dan menegakkan empat komponen moral, yaitu kejujuran, amanah, adil, dan menghargai hak orang lain dalam sikap dan tindakan.

Dikenal banyak ragam praktik korupsi akademik. Pemberian gelar akademik atau nilai asal-asalan, gelar, dan capaian akademik palsu, rekayasa data penelitian, plagiarisme, manipulasi jam mengajar/kuliah, hingga 'uang pelicin/sogokan' dalam proses skripsi/kelulusan.

Salah satu bentuk korupsi akademik yang sering terjadi ialah praktik jual beli karya akademik seperti skripsi, makalah/paper, tesis, atau disertasi. Dalam kajian academic dishonesty, dikenal dengan istilah ghost writing, karya akademik yang ditulis orang lain.

Dalam banyak kasus korupsi akademik, masyarakat cenderung permisif dan menerimanya. Proses panjang akademik yang semestinya menjadi ukuran diabaikan demi gengsi dan desakan kebutuhan akan pengakuan.

Mengapa menegakkan integritas akademik dan menumbuhkan gerakan penolakan terhadap praktik korupsi akademik tidak mudah?

Mengapa seseorang terlibat atau memilih ketidakjujuran akademik?

Setidaknya ada lima faktor, pertama hambatan yang bersifat laten untuk menegakkan integritas akademik.

Yakni keraguan di kalangan orang tua, guru/pengajar, administrator dan komite sekolah terhadap penerapan kebijakan integritas akademik secara tegas tanpa pandang bulu.

Ada kalanya para pengajar enggan menerapkan hukuman terhadap mereka yang melakukan kecurangan karena takut dikritik dan dianggap pengajar yang killer.

Hal itu menyebabkan banyak pengajar melunak saat dihadapkan pada praktik korupsi akademik.

Bahkan, dalam banyak kasus, manajemen lembaga pendidikan justru memaafkan atau membatalkan hukuman terhadap pelaku tindak korupsi akademik karena takut menghadapi risiko tuntutan pengadilan atau ancaman pelaku, keluarga, atau pendukung pelaku. (Lathrop dan Foss: 2005).

Keraguan untuk melawan korupsi akademik juga muncul dari kebutuhan pencitraan, seperti dianggap daerah yang berhasil dalam sektor pendidikan.

Kedua, sikap victimless crime di kalangan masyarakat.

Selama kecurangan di ranah akademik dianggap bermanfaat dan tidak memengaruhi atau menyakiti orang lain, serta sepanjang masyarakat yang memanfaatkan jasa itu tidak merasa dirugikan, penegak hukum tidak bisa menindak pelaku korupsi akademik. (Davis: 2009).

Ketiga, komodifikasi pendidikan. Konsep ini berasal dari perspektif kritis studi pendidikan (Morrow dan Torres: 1995).

Yaitu upaya mentransformasi pendidikan menjadi komoditas. Penyelenggaraan pendidikan dipandang memiliki nilai ekonomi atau orientasi pasar.

Proses trasnformasi pendidikan menjadi komoditas menghilangkan makna hakiki pendidikan, yaitu proses pemartabatan manusia.

Persaingan yang ketat dalam pasar jasa penyelenggaraan pendidikan menjadikan kualitas sebagai faktor penting.

Dalam praktiknya, acap kali pengelola pendidikan lebih memilih kepentingan materi dan mengabaikan proses dan ketentuan sehingga mengorbankan mutu pendidikan.

Keempat, sikap sebagian warga masyarakat yang memandang korupsi akademik seperti jual beli karya ilmiah atau gelar akademik bukan perbuatan haram.

Haram lebih dipahami dalam konteks mencari rezeki materi (uang).

Meskipun kita mengenal ungkapan yang bagus (atsar) "Ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak sampai kepada orang yang melakukan maksiat."

Kasus jual beli makalah, dll, sering tidak dianggap sebagai perbuatan maksiat.

Kelima, keterbatasan waktu yang dimiliki seseorang dapat mendorong seseorang melakukan tindak praktik korupsi akademik.

Desakan waktu sering mendorong orang mengesampingkan akal sehat dan moralitas akademik mereka dan mengambil jalan pintas.

Praktik seperti ghost writing ialah contoh korupsi akademik yang muncul dengan alasan keterbatasan waktu (Davis, et all, 2009).

Membangun budaya integritas akademik dan menghapuskan praktik korupsi akademik tidak mudah.

Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan; pertama semua pihak harus berkomitmen bahwa bersekolah adalah proses belajar mencari, mendapatkan, dan membangun ilmu.

Pencapaian nilai akademik yang tinggi atau gelar hanyalah efek samping yang baik dari belajar.

Belajar harus dimaknai proses 'menjadi'.

Salah satunya menjadi whole person (seorang yang berilmu dan bermoral).

Kedua, pada tingkat pendidikan tinggi, ada empat hal saling berinteraksi, yaitu akses, mutu, akuntabilitas, dan ketersediaan waktu belajar.

Akses pendidikan tinggi terbuka luas untuk semua warga bangsa.

Namun, perlu didukung jaminan mutu sehingga warga bangsa mendapat jaminan pendidikan tinggi berkualitas.

Ketersediaan waktu belajar individu warga masyarakat merupakan salah satu faktor penting menjamin akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Dibutuhkan skema durasi penyelesaian studi yang jelas dan tegas sehingga konsepsi murid purna waktu dan paruh waktu menjadi penting.

Melawan korupsi akademik ialah kredo bagi para pendidik.

Jika kredo ini ditinggalkan, perkembangan pengetahuan dan moralitas bangsa ini menjadi taruhannya.

Proses pendidikan hanya berujung pada mutu yang buruk.

Sarjana kita menjelma, tak ubahnya seperti lirik lagu Iwan Fals, "...tiada bedanya dengan roti."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar