Sandyakalaning
Perguruan Tinggi
Benni Setiawan ; Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Oktober 2017
RUMAH bangsa bernama perguruan
tinggi (PT) akhir-akhir ini mendapat sorotan. Sorotan itu tertuju pada dua
hal. Pertama, pemecatan seorang rektor PTN di Jakarta. Sang rektor
diberhentikan karena konon tidak menyelenggarakan sistem pendidikan
pascasarjana sesuai prosedur yang berlaku. Bahkan, berhembus kabar, sang
rektor meluluskan peserta program doktor yang terkait skandal plagiarisme.
Kedua, sorotan tajam mengarah
pada dua PTN di Jatim yang memberikan gelar doktor honoris causa (HC) kepada
dua politikus 'partai hijau'. Penganugerahan doktor HC bagi politisi muda itu
konon didasarkan pada prestasi dan sesuai aturan yang berlaku. Benarkah
demikian?
Bukan usaha dagang
Dua hal itu seakan menjadi
sandyakalaning PT. PT sebagai rumah peradaban seakan menjadi bancakan proyek
kepentingan jangka pendek segelintir oknum. Oknum itu telah membajak muruah
PT untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan. PT bukanlah rumah
perebutan kuasa. PT memanggul beban pencerahan dan pencerdasan bangsa. Saat
PT dikelola dengan manajemen 'konco', ia telah melukai ruang pemerdekaan
manusia muda.
Pada kasus pertama misalnya,
program pascasarjana selayaknya selektif dalam proses penerimaan dan
kelulusan. Artinya, program ini selayaknya tidak sekadar mengumbar ijazah. Ijazah
hari ini seringkali dimaknai sebagai modal sosial. Ijazah dapat mengantarkan
seseorang pada posisi-posisi tertentu. Berbekal ijazah itu seseorang dapat
menduduki posisi terhormat dengan segala fasilitas yang melekat.
Kondisi ini kemudian dibaca
oleh pengelola PT untuk membuka program pascasarjana. Jadilah hampir semua PT
mempunyai program pascasarjana, termasuk perguruan tinggi yang tidak jelas
sekalipun.
Sekadar berbagi pengalaman,
suatu ketika teman mengirim pesan melalui media sosial. Isinya ialah ucapan
selamat kepada sebuah PTS di Jateng atas izin dibukanya program doktor. Padahal,
saya tahu PT itu tidak jelas.
Artinya, kampusnya lebih bagus
jika dibandingkan dengan bangunan sekolah-sekolah menengah swasta di kota
itu. Saat masuk ke kampus itu pun tidak tampak kegiatan akademik.
Suatu ketika seorang asesor
marah-marah. Pasalnya, saat datang ke kampus itu, ia tidak menemukan seorang
dosen atau pimpinan PT. Dia hanya bertemu dengan staf kebersihan yang datang
pagi. Padahal, dia datang pada pukul 09.00. Asesor itu pun akhirnya
meninggalkan kampus itu dan bergumam, "Inilah yang merusak sistem
pendidikan."
Praktik buka program doktor
yang kurang mengindahkan kaidah akademik ini perlu disesalkan. Pasalnya,
program doktor bukanlah usaha dagang untuk menampung mereka yang sekadar
ingin kuliah dan mendapatkan ijazah. Program doktor mencetak manusia akademik
yang ilmunya sangat dibutuhkan bangsa. Doktor di Indonesia memang kurang. Jumlah
doktor di Indonesia hanya sekitar 31 ribu.
Berdasarkan perbandingan doktor
per 1 juta penduduk, RI hanya memiliki 143 doktor. Sementara Malaysia 509, AS
memiliki 9.850 doktor per 1 juta orang, Jerman 3.990 doktor, Jepang 6.438
jumlah doktor, dan India yang memiliki jumlah doktor mencapai 3.420 orang per
1 juta penduduk (Koran Sindo, 23/9).
Kekurangan jumlah doktor bukan
berarti dengan seenaknya membuka program pascasarjana secara 'ugal-ugalan'. Membuka
keran pascasarjana dalam jumlah banyak tanpa memerhatikan kualitas hanya akan
semakin mengecilkan peran kebangsaan Indonesia. Bangsa Indonesia hanya akan
dibanjiri pemilik nama dengan gelar doktor yang mentereng. Namun, miskin
karya dan kiprah untuk bangsa.
Jauhkan dari politik
Apa yang terjadi di sebuah PTN
di Jakarta itu yang menyeret nama rektor, selayaknya menjadi perhatian semua
pihak. Pendidikan perlu dikelola secara profesional. PT selayaknya jauh dari
anasir-anasir politik praktis. Sebagai rumah ilmu, PT perlu menjadi role
model tercipta dan terwujudnya insan berpendidikan.
Salah satu ciri insan
berpendidikan menurut Driyarkara adalah tanggap dan bertanggung jawab. Ia
tanggap terhadap persoalan yang harus segera diselesaikan, dan bertanggung
jawab atas segala hal yang ia lakukan dan pilih.
Saat pendidikan dipenuhi oleh
anasir politik, sulit bagi kita mendapatkan manusia tanggap dan bertanggung
jawab dari rahim pendidikan. Pasalnya, mereka hanya tanggap terhadap
kepentingan jangka pendek.
Tanggung jawab yang ia emban
hanya untuk memuaskan pimpinan partai politik tertentu.
Program pascasarjana perlu
ditata agar tidak setiap PT boleh membuka kelas ini. Pemerintah perlu membuat
regulasi yang lebih ketat agar praktik 'jual beli ijazah' menjadi praktik
legal. Artinya, saat banyak PT membuka program pascasarjana, mereka perlu
memastikan diri mempunyai sumber daya yang memadai sehingga praktik kecurangan
akan dapat dicegah sejak dari hulu.
Tak berguna
Setelah menata program doktor,
pemerintah dan PT pun perlu mengerem memberi gelar doktor HC kepada
seseorang. Apalagi, pemberian gelar itu diberikan kepada kader parpol. Memberi
gelar doktor HC kepada kader politik merupakan sebuah kesia-siaan. Pasalnya,
mereka tidak akan menggunakan gelar itu untuk kemaslahatan umat. Mereka hanya
akan menggunakannya sebagai label pemanis nama.
Kader politik tidak membutuhkan
gelar doktor HC. Pasalnya, persyaratan pencalonan menjadi anggota DPR hanya
cukup lulus SMP. Bahkan, menjadi presiden pun hanya butuh ijazah SMA. Jadi
untuk apa memberikan gelar doktor kepada mereka?
Ironisnya, gelar doktor HC
diberikan kepada kader politik yang usianya relatif masih muda. Secara usia
mereka masih dapat kuliah secara baik dan terhormat di program doktor
universitas yang baik. Memberikan gelar doktor kepada politisi muda pun
mencederai semangat berproses.
Meminjam istilah Mochtar Lubis,
penganugerahan doktor HC kepada politisi muda adalah potret manusia Indonesia
yang enggan bekerja keras dan suka menerabas. Manusia Indonesia yang enggan
bersusah payah membuat tugas makalah dan melakukan penelitian serius untuk
menghasilkan karya monumental bernama disertasi. Mereka cukup dekat pusat
kekuasaan dan mampu menekan kampus tertentu, ia pun akan mendapat gelar
doktor.
Penganugerahan doktor HC yang
akhir-akhir ini marak bak rumput di musim hujan menjadi catatan bagi
pengelolaan PT. Apakah PT akan
digadaikan dengan harga yang murah kepada pemilik kuasa?
Saat PT menyerah tanpa syarat
kepada penguasa, jangan berharap ia menjadi rumah ilmu pengetahuan. Jangan
pernah berharap akan lahir budayawan dari rahim PT. PT hanya akan menjadi
menara gading pendidikan, sebagaimana kritik Paolu Freire.
PT perlu mengembalikan
marwahnya sebagai kawah candradimuka pendidikan nasional. Saat PT masih
tunduk takluk pada 'pasar politik', maka kita tinggal menunggu masa senja dan
kematian institusi mulia ini.
Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar