Tiga
Tahun Ekonomi Jokowi-JK
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank
Danamon Indonesia Tbk
|
KOMPAS,
21 Oktober
2017
Setiap era kepemimpinan
presiden pasti mempunyai pencapaian tersendiri dengan kelebihan dan
kekurangannya. Permasalahan Indonesia begitu menggunung dan kompleks, banyak
pekerjaan rumah yang belum tuntas yang dititipkan ke pundak pemerintahan
selanjutnya. Oleh karena itu, menjadi pemandangan biasa dan lazim, setiap pergantian
rezim kepemimpinan nasional menimbulkan harapan baru dan ekspektasi tinggi
untuk melangkah ke depannya.
Tidak heran, estafet
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) pada 24 Oktober 2014 disambut hangat berbagai kalangan. Tidak
terasa nakhoda kepemimpinan Jokowi-JK sudah berjalan lebih dari separuhnya
(tiga tahun) menerabas dinamika perekonomian global yang tidak menentu dan
berbagai permasalahan ekonomi dan politik yang sangat menantang.
Indikator makroekonomi
Kabinet Kerja Jokowi-JK
cenderung berlari dengan ritme kerja supercepat dan kadang-kadang targetnya
terkesan sangat ambisius yang membuat kening berkerut.
Alhasil, pro-kontra mengiringi
pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun ini. Ada yang bilang sangat bagus,
ada yang bilang biasa-biasa saja. Reaksi yang wajar, tak ada gading yang
tidak retak, apalagi Indonesia memiliki segudang akumulasi masalah ekonomi.
Oleh karena itu, menarik kita kupas kinerja beberapa variabel makroekonomi
dan finansial selama tiga tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK yang sangat
berpengaruh ke sektor riil dan pasar finansial domestik.
Pertama, inflasi menunjukkan
arah yang semakin baik dengan tren yang makin menurun dan relatif stabil.
Inflasi tahun 2015 turun sangat signifikan ke 3,4 persen dari 8,4 persen pada
tahun 2014. Penurunan terus berlanjut menjadi 3,0 persen pada tahun 2016
walaupun akhir tahun 2017 diperkirakan sedikit naik ke 3,5-3,8 persen.
Turunnya inflasi ini salah satu penyebabnya adalah keberanian pemerintah
melakukan reformasi migas pada November 2014. Subsidi bensin dikurangi secara
signifikan sehingga harga bensin naik Rp 2.000 per liter menjadi Rp 8.500 per
liter. Keputusan tidak populer, sungguh berani dan melawan arus, karena waktu
itu tren harga minyak dunia sedang turun. Bukankah seharusnya harga bensin
turun, ini malahan naik dengan maksud untuk mengurangi subsidi bensin.
Tidak lama kemudian, dewi
fortuna menudungi pemerintahan Jokowi-JK, harga minyak dunia turun drastis ke
56 dollar AS per barrel. Akhirnya, per 1 Januari 2015, harga bensin turun ke
Rp 7.600 per liter, setelah harganya sempat dinaikkan. Inilah cikal bakal
pemerintah berhasil menghapus subsidi bensin dan hanya menyubsidi solar Rp
1.000 per liter. Suatu momen kunci di mana pemerintah berhasil terbebas dari
sandera subsidi BBM yang selalu menjadi ganjalan berat APBN setiap tahunnya.
Penyesuaian harga bensin secara
gradual menyebabkan harga barang dan jasa lain menyesuaikan secara wajar dan
ekspektasi inflasi pun dalam taraf normal. Kondisi ini jauh berbeda
dibandingkan dengan zamannya subsidi bensin. Pada era subsidi bensin, ketika
ada rencana pemerintah menaikkan harga bensin biasanya harga-harga cenderung
bergerak naik lebih dulu dan penimbunan barang marak, kelangkaan barang pun terjadi
sehingga harga-harga melonjak karena ekspektasi inflasi bergerak liar.
Kedua, inflasi yang menurun
menyebabkan suku bunga pun mengalami penurunan. Kondisi ini memberikan ruang
yang cukup longgar buat Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya.
Suku bunga acuan BI tercatat 7,75 persen pada Desember 2014 ke 6,50 persen di
Juli 2016, yang kemudian diganti dengan BI 7-days reverse repo rate menjadi
4,25 persen di September 2017. Ini artinya sejak 2014, BI sudah menurunkan
suku bunga acuannya 2,25 persen. Penurunan ini berimbas pada penurunan suku
bunga deposito 3 bulan sebesar 2,40 persen (dari 8,94 ke 6,54 persen).
Kemudian diikuti penurunan suku bunga pinjaman modal kerja dan pinjaman
investasi masing-masing 1,72 persen (dari 12,79 ke 11,07 persen) dan 1,45
persen (dari 12,36 ke 10,91 persen). Sayangnya, penurunan suku bunga pinjaman
ini relatif lebih lambat daripada penurunan suku bunga deposito.
Ketiga, harga obligasi
Pemerintah RI naik cukup signifikan karena tren inflasi yang menurun dan
naiknya peringkat investasi Indonesia ke layak investasi dari lembaga
pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) pada 19 Mei 2017 setelah menunggu
selama 20 tahun, mengikuti lembaga pemeringkat international lainnya (Fitch
tahun 2011 dan Moodys tahun 2012). Kenaikan harga obligasi ini menyebabkan
imbal hasil yang harus dibayar pemerintah menurun signifikan dari 7,92 persen
pada akhir 2014 menjadi 6,78 persen di 18 Oktober 2017. Animo investor asing
memiliki obligasi (surat utang) RI sangat besar, terbukti dari tingginya
kepemilikan asing dari Rp 406 triliun tahun 2014 menjadi Rp 806 triliun per
17 Oktober 2017, sekitar 39 persen dari total obligasi.
Keempat, seiring dengan
menariknya investasi di Indonesia, harga saham juga menunjukkan kinerja yang
cukup baik walaupun berfluktuasi. Indeks harga saham gabungan pada akhir 2014
tercatat 5.227, sempat menurun ke 4.593 di 2015, tetapi meningkat dua tahun
terakhir ke 5.929 pada 18 Oktober 2017. Dengan kata lain, terjadi kenaikan
sekitar 13,5 persen dibandingkan dengan tahun 2014.
Kelima, kepercayaan investasi
asing terus membaik terhadap Indonesia. Hal ini terlihat dari tingkat risiko
yang turun signifikan, tecermin dari turunnya credit default swap (CDS) 5
tahun. Pada tahun 2015, CDS 5 tahun pernah mencapai puncaknya, yaitu 282
basis poin (2,82 persen) pada 29 Septermber 2015, kemudian turun signifikan
ke 158 basis poin (1,58 persen) pada akhir 2016. Tahun ini CDS 5 tahun
mencapai rekor terendah sepanjang sejarah perekonomian Indonesia di bawah 100
basis poin, yaitu 96 basis poin (0,96 persen) per 19 Oktober 2017.
Dan terakhir, fluktuasi rupiah
terhadap dollar AS semakin rendah dan relatif stabil walaupun melemah secara
gradual dari Rp 11.440 per dollar AS tahun 2014 ke Rp 13.514 per dollar AS
per 18 Oktober 2017. Pelemahan rupiah tidak bisa dihindarkan karena penguatan
dollar AS terhadap sebagian besar mata uang di dunia. Di tahun pertama
kepemimpinan Jokowi-JK, fluktuasi rupiah sangat tinggi sekitar 18 persen,
lebih tinggi dibandingkan 2014, yaitu 14 persen. Namun, rupiah berangsur
makin stabil dengan fluktuasi sekitar 3 persen dalam tahun ini. Kebijakan BI
mewajibkan penggunaan rupiah untuk transaksi domestik dan peraturan lindung
nilai untuk korporasi yang memiliki utang asing cukup ampuh menjaga
volatilitas rupiah, di samping makin percayanya investor asing terhadap
perekonomian nasional.
Pertumbuhan ekonomi
Sayangnya, catatan gemilang
variabel makroekonomi dan finansial belum terefleksi pada pertumbuhan ekonomi
yang meyakinkan. Pertumbuhan yang hanya 5,01 persen dua kuartal
berturut-turut pada 2017 cukup mengkhawatirkan banyak pihak. Geliat sektor
riil terlihat lesu dan daya beli masyarakat, terutama level bawah ke miskin,
terasa sangat lemah.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi
2017 tidaklah lebih buruk dibandingkan 2016, tetapi sayang tak cukup kuat
menopang perekonomian Indonesia. Permasalahan terbesarnya adalah pertumbuhan
ekonomi cenderung menurun lima tahun terakhir sejak 2012. Salah satu
pemicunya, turunnya harga komoditas ekspor primer Indonesia (terutama batubara
dan kelapa sawit) sejak 2011. Pertumbuhan ekonomi 2011 tercatat 6,2 persen,
turun sedikit ke 6,0 persen di 2012. Penurunan berlanjut di 2013 ke 5,6
persen dan 5,0 persen tahun 2014. Kemudian pada awal masa pemerintahan
Jokowi-JK, pertumbuhan turun lagi sedikit menjadi 4,9 persen di 2015. Setelah
itu pertumbuhan hanya sedikit membaik ke 5,0 persen pada 2016 dan dikuatirkan
stagnan di level 5 persen.
Pemerintah sangat menyadari
kondisi ini dan ingin segera mengubah struktur perekonomian yang ada. Konsumsi
rumah tangga yang selalu jadi andalan sebagai motor penggerak ekonomi
domestik selama lebih dari setengah abad (56 tahun sejak 1960) tampaknya
mengalami kejenuhan. Untuk menggeser sumber pertumbuhan dari konsumsi ke
investasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu juga membangkitkan
kembali industri manufaktur tidak gampang. Warisan infrastruktur yang kurang
memadai, bahkan cenderung buruk, jadi beban yang sangat berat bagi
pemerintahan saat ini.
Untuk itu, dipilih resep jitu,
pembangunan infrastruktur secara masif di sejumlah daerah. Keseriusan
pemerintah untuk segera menutup jurang infrastruktur sangat kasat mata
terlihat dua tahun terakhir dengan alokasi anggaran superbesar. Akibatnya,
beban defisit APBN kian membengkak sehingga pemerintah harus mematok target
tinggi penerimaan pajak, saat ekonomi belum terlalu kuat.
Logika sederhana, dengan
banyaknya proyek infrastruktur pemerintah seharusnya bisa jadi stimulus
perekonomian yang efektif untuk mendorong bisnis swasta dan sektor riil ikut
bergerak dan menggeliat. Namun, sayangnya, dampak langsung pembangunannya
sangat minim ke perekonomian saat ini. Penyerapan tenaga kerja di sektor
infrastruktur tak banyak, keterlibatan sektor swasta sebagai rekanan
pemerintah juga relatif terbatas. Tak heran, pembangunan infrastruktur mulai
dipertanyakan manfaatnya. Kita berharap dampak positif pembangunan
infrastruktur tak hanya jangka menengah dan panjang, tetapi juga jangka
pendek.
Tak ada yang meragukan
pembangunan infrastruktur pasti mampu membawa perekonomian Indonesia menuju
masa keemasannya. Namun, masalah jangka pendek harus segera dicarikan jamu
penawarnya untuk memuluskan tercapainya target jangka menengah dan panjang.
Mari kita tunggu dan dukung
efektivitas sisa dua tahun pemerintahan Jokowi-JK agar tercipta fondasi kokoh
dan solid bagi perekonomian ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar