Sabtu, 21 Oktober 2017

Menimbang Rapor Keuangan

Menimbang Rapor Keuangan
Paul Sutaryono ;   Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI
                                                      KOMPAS, 19 Oktober 2017



                                                           
Pada 20 Oktober 2017, tepat tiga tahun Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin Indonesia. Apa hasilnya? Dari sisi ekonomi dan keuangan, secara ringkas, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah stabil dan ekonomi tumbuh di level 5 persen.

Bagaimana kinerja dan capaian di sektor perbankan? Apa saja tantangan ke depan? Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 19 September 2017 menunjukkan, kredit tumbuh 7,85 persen dari Rp 3.974 triliun per Juli 2016 menjadi Rp 4.286 triliun per Juli 2017. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur 9,03 persen dari Rp 4.407 triliun menjadi Rp 4.805 triliun. Pertumbuhan kredit dan DPK yang tak seimbang itu telah mendorong penurunan rasio kredit (loan to deposit ratio/LDR) dari 90,18 persen menjadi 89,20 persen, masih dalam ambang batas 78-92 persen. Pertumbuhan kredit yang ”hanya” 7,85 persen kurang mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,17 persen pada 2017.

Namun, di tengah ekonomi yang sedang kurang darah, bank masih dapat meningkatkan laba sebelum pajak 16,24 persen dari Rp 141 triliun menjadi Rp 164 triliun. Akibatnya, imbal hasil aset (return on assets/ROA) menebal dari 2,35 persen menjadi 2,49 persen. Singkatnya, kualitas aset membaik.

Aneka tantangan

Lantas, apa tantangan ke depan? Pertama, bagaimana laju kredit hingga akhir 2017? Mampukah kredit perbankan mencapai dua digit sampai akhir tahun? Berat. Alasannya, permintaan kredit dari sektor riil belum optimal. Hal itu tersurat pada fasilitas kredit yang sudah disetujui, tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) yang naik 10,84 persen dari Rp 1.246 triliun per Juli 2016 menjadi Rp1.381 triliun per Juli 2017. Data itu menyiratkan aktivitas sektor riil masih belum berjalan dengan kapasitas produksi secara penuh (full capacity).

Secara serius, pemerintah telah mendorong sektor riil supaya terus berproduksi sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang. Tekad itu diwujudkan dengan meluncurkan 16 kebijakan ekonomi, tetapi belum ”nendang” juga. Karena itu, Bank Indonesia (BI) dengan gagah perkasa menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Repo Rate 25 basis poin (0,25 persen) berturut-turut pada minggu ketiga Agustus dan September 2017 menjadi 4,25 persen. Hal itu bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan.

Sayangnya, penurunan suku bunga itu datang terlambat sehingga dikhawatirkan kurang mampu mengangkat pertumbuhan kredit secara optimal pada kuartal IV-2017. Mengapa? Sebab, transmisi kebijakan moneter itu memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk sampai pada penurunan suku bunga kredit.

Sebelumnya, bank akan mengulas profil risiko dan imbal hasil bank dalam rapat asset and liability committee (ALCO). Rapat berfungsi untuk mengetahui, mengawasi, dan memantau likuiditas secara menyeluruh dan posisi neraca bank untuk mitigasi risiko likuiditas. Risiko likuiditas adalah risiko ketika bank tak mampu memenuhi komitmen keuangan kepada nasabah, kreditor, dan atau investor saat jatuh tempo. Rapat juga membahas risiko pendanaan (funding risk) dan risiko suku bunga (interest risk). Setelah itu bank baru bisa memutuskan menurunkan atau tidak suku bunga deposito dan bunga kredit.

Kedua, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu ”memaksa” empat bank pemerintah, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN, serta enam bank papan atas lainnya untuk menjadi pionir dalam penurunan suku bunga kredit yang diawali dengan penurunan suku bunga deposito.

Karena 10 bank papan atas itu menguasai sebagian besar pangsa pasar (market share) perbankan, alhasil, suka tak suka bank umum kegiatan usaha (BUKU) lainnya akan segera mengikuti penurunan suku bunga kredit itu. Jika tidak, pangsa pasar mereka akan makin tergerus.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sisi permintaan. Bagaimana kiatnya? Segera menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 9 persen menjadi 7 persen seperti rencana awal. KUR ditujukan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan plafon kredit di atas Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (mikro) dan hingga Rp 500 juta (KUR ritel). Untuk plafon kredit hingga Rp 10 juta, tersedia ultra mikro (UMI) dengan suku bunga kredit 2-4 persen (Paul Sutaryono, Kompas, 9/10/2017). Inilah langkah strategis untuk membangun ekonomi dari pinggir.

Ketiga, keterbatasan ruang fiskal. Saat ini pembangunan dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur yang membutuhkan dana amat besar. Untuk membiayai proyek infrastruktur pada 2014-2019, Indonesia membutuhkan dana Rp 6.541 triliun. Dana sebesar itu untuk membiayai 225 proyek dan program kelistrikan, termasuk 52 pembangunan jalan, 19 proyek jaringan kereta api, 17 bandara, 13 pelabuhan, dan 25 kawasan ekonomi.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu membiayai Rp 1.555 triliun atau sekitar 24 persen (Kompas, 5/5/2017). Namun, di tengah tekad pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dengan capaian yang menggembirakan itu, kemampuan fiskal pemerintah mulai terbatas karena pendapatan negara yang tak memenuhi target. Pendapatan negara meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Data mencatat penerimaan pajak mencapai Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari target Rp 1.283,57 triliun per September 2017, padahal semestinya penerimaan pajak mencapai minimal 75 persen.

Rasanya pemerintah tak akan menambah utang luar negeri karena defisit APBN Perubahan (APBN-P) 2017 sudah ditetapkan 2,9 persen. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menitahkan bahwa rasio defisit APBN dibatasi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN, APBD, dan Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menitahkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Menembus kebuntuan fiskal

Untuk menembus kebuntuan fiskal, terdapat beberapa alternatif solusi. Pemerintah wajib melakukan penghematan besar-besaran dengan mengerem pengeluaran kementerian atau lembaga. Pun, pemerintah perlu melakukan penjadwalan kembali proyek infrastruktur dan memprioritaskan proyek yang memberikan dampak positif langsung pada masyarakat luas seperti irigasi (bendungan dan bendung) dan jalan kereta api termasuk kereta bawah tanah (mass rapid transit/MRT) dan kereta ringan (light rail transit/LRT).

Selain itu, pemerintah juga perlu mendesak bank papan atas selain bank pelat merah yang sudah rajin menggarap proyek infrastruktur untuk ikut membiayai, terutama bank papan atas yang masuk 10 besar sehingga tidak hanya getol membiayai kredit konsumsi. Terakhir, pemerintah wajib mendorong swasta untuk berperan aktif membiayai proyek infrastruktur sebagaimana saran Bank Dunia.

Keempat, Jokowi-JK hendaknya menggugah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar merevitalisasi koperasi. Dengan demikian, koperasi tidak tergoda untuk menawarkan investasi dengan skema ponzi yang merugikan masyarakat luas. Investasi model ponzi merupakan investasi yang menawarkan imbal hasil selangit dalam sekejap. Keuntungan investasi bukan bersumber dari investasi yang sebenarnya, melainkan dari uang yang disetor investor. Cukuplah investasi bodong di Koperasi Pandawa, Depok, Jabar, menjadi kasus terakhir.

Sudah sepatutnya koperasi kembali ke khitahnya menjadi soko guru pembangunan ekonomi rakyat dengan ikut mengucurkan KUR dan UMI. Koperasi lebih dituntut untuk membiayai sektor produktif pada segmen yang relatif kecil. Namun, koperasi memiliki kesempatan sangat luas untuk memberikan kontribusi besar dalam menyangga ekonomi nasional. Inilah tantangan koperasi yang mencapai 152.282 unit dengan 26,8 juta anggota per 5 Juli 2017.

Kelima, efektif 1 Juni 2017, suku bunga kartu kredit telah menipis dari maksimal 2,95 persen per bulan atau 35,40 persen per tahun menjadi 2,25 persen per bulan atau 26,95 persen per tahun. Itu berarti angsuran per bulan menjadi lebih ringan.

Akan tetapi, bandingkan dengan suku bunga kartu kredit bank-bank di Malaysia yang ternyata jauh lebih rendah 7,99-15 persen per tahun, seperti Maybank, CIMB, RHB, BSN, Affin Bank, Public Bank, Alliance Bank, Bank Islam, AmBank, Citibank, dan HSBC. Tak hanya itu, mayoritas bank di Malaysia tak mengenakan biaya tahunan. Suku bunga kartu kredit berkisar 0,67-1,25 persen per bulan jauh lebih rendah daripada bank nasional 2,25 persen per bulan. Sarinya, masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan kembali suku bunga kartu kredit.

Keenam, pelonggaran moneter berupa loan to value (LTV) spasial untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) yang sedang digodok BI bakal menjadi stimulus tersendiri. Kelak akan terdapat LTV menurut wilayah atau provinsi. Penurunan suku bunga kartu kredit dan LTV spasial dapat mendorong pertumbuhan KPR dan KKB sehingga mengerek pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hingga kuartal II-2017, konsumsi rumah tangga telah memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB 55,6 persen disusul investasi 31,3 persen dan ekspor 19,1 persen.

Ketujuh, saatnya OJK menggeber bank syariah agar makin tinggi dalam memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kredit perbankan syariah hanya sekitar 5 persen dari total kredit perbankan Rp 4.286 triliun per Juli 2017. Itu jumlah yang terlalu kecil, padahal basis nasabah (customer base) begitu luas lantaran mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Inilah tantangan sejati bagi bank syariah. Nah, ketika aneka tantangan demikian dapat teratasi, maka amat diharapkan pertumbuhan ekonomi akan kian subur di tangan Jokowi-JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar