Sekali
Pribumi, Sesudah itu Heboh
Nasihin Masha ; Pemimpin Redaksi Republika
|
REPUBLIKA,
27 Oktober
2017
Menghadiri momen-momen politik
penting merupakan ritual tersendiri bagi wartawan. Saat Jokowi menang sebagai
gubernur, Jokowi menang sebagai presiden, dan upacara pisah-sambut dari SBY
ke Jokowi pun saya hadiri.
Untuk Anies-Sandi, saya memilih
hadir saat pidato politiknya. Nur Hasan Murtiaji, wakil pemimpin redaksi
Republika, rupanya memiliki ritual yang sama. Maka kami pun berangkat
bersama-sama dari kantor dengan naik bus Transjakarta.
Saat Anies menyebut kata
“pribumi”, saya berbisik ke Hasan, “Ini akan rame.” Dan, jadilah kegaduhan
tersebut. Anies dituduh rasis. Ia dituduh melanggar Inpres Nomor 26 Tahun
1998 yang dibuat di masa BJ Habibie menjadi presiden.
Anies juga dituduh melanggar UU
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang
dibuat di masa pemerintahan SBY. Segera saja, ada yang mengadukan Anies ke
Polri dengan tuduhan rasis tersebut.
Pengadu itu Jack Boyd Lapian
yang disebut berasal dari Gerakan Pancasila. Selain didampingi pengacara,
Jack ditemani orang-orang dari Banteng Muda Indonesia --ormas yang dekat
dengan PDIP. BMI juga diberitakan sebagai salah satu pihak yang ikut
melaporkan Anies ke Polri.
Namun, banyak pula yang membela
dengan argumen bahwa Anies menyampaikan hal itu dalam konteks era kolonial
dan tak ada tendensi rasis. Di antara yang membela adalah Jaya Suprana,
pengusaha dan juga penulis esai. Jaya beretnis Tionghoa. Pembelaan Jaya
dibuat dalam sebuah tulisan.
Sebelum menulis, Jaya mendengar
ulang pidato Anies dari video CNN Indonesia yang diunggah di Youtube. Menurut
dia, hanya sekali Anies menyebut kata “pribumi” yaitu pada kalimat “Dulu kita
semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka. Kini saatnya kita
menjadi tuan di negeri sendiri.”
Jaya mencatat kalimat itu
berada pada menit 06.30 hingga menit 08.00, yaitu diawali dengan suatu prolog
bahwa Jakarta menjadi salah satu saksi kolonialisme dan menjadi kota melting
pot (bertemunya beragam manusia dengan asal-usul dan budayanya
masing-masing). Jakarta juga memiliki posisi penting karena tempat lahirnya
Sumpah Pemuda, kota proklamasi, dan kota dirumuskannya cita-cita nasional
ketika para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dan Pancasila.
Setelah berucap tentang
pribumi, Anies menguncinya dengan pepatah Madura: “Itik se atelor, ajam se
ngeremme”. Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Anies mengingatkan agar
hal itu jangan sampai terjadi.
Anies berpidato dengan membaca
naskah pidato yang sudah disiapkan. Ada bagian yang tak tertulis dalam naskah
pidato tapi diucapkan Anies, ada pula yang tertulis dalam naskah pidato namun
diucapkan dengan kalimat berbeda atau diberi penekanan untuk menguatkan.
Yang tak ada dalam naskah
tertulis, misalnya, tentang masyarakat Betawi yang telah menjadi
sebaik-baiknya tuan rumah. Yang mendapat penekanan, misalnya, tentang letak
pelaksanaan Sumpah Pemuda, Proklamasi, dan sidang BPUPK.
Adapun tentang pribumi ada
sedikit perbedaan. Pada naskah pidato tertulis “rakyat pribumi ditindas dan
dikalahkan” dan seterusnya. Namun, yang diucapkan adalah “dulu kita semua
pribumi ditindas dan dikalahkan” dan seterusnya.
Pidato Anies selain diawali
dengan salam Muslim, juga diawali salam Kristen, Hindu, dan Buddha. Dan saat
menutup, untuk salam Muslim, Anies menggunakan dua versi: versi Muslim pada
umumnya dan versi Nahdliyin. Lengkap.
Berikut ini adalah analisis
pidato Anies yang merujuk pada transkrip pidato yang diucapkan. Saya sengaja
tak melakukan transkrip sendiri, tapi memanfaatkan transkrip yang ada yang
sudah beredar.
Pertama, transkrip yang
dilakukan Uni Z Lubis, wartawan senior yang juga mantan anggota Dewan Pers
dan kini anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat. Kedua, transkrip yang dilakukan
oleh tim SalingSapa.com.
Transkrip versi Uni berdasarkan
mendengarkan ulang dari rekaman video, sedangkan transkrip versi
SalingSapa.com dilakukan menggunakan aplikasi dari rekaman video. Berdasarkan
transkrip dua versi ini didapatkan data-data yang sama.
Ada sejumlah diksi menonjol
yang sering diucapkan pada pidato Anies tersebut. Pertama, kata “keadilan”
diucapkan tujuh kali. Kedua, kata “persatuan” diucapkan lima kali. Ketiga,
kata “untuk semua” dan “bagi semua” --yang mempunyai makna yang sama-
diucapkan 13 kali.
Keempat, kata “Pancasila”
diucapkan tujuh kali. Kelima, kata “bagi seluruh” diucapkan empat kali.
Keenam, kata “kesejahteraan” diucapkan dua kali. Ketujuh, kata “pribumi”
diucapkan satu kali. Sangat menarik mencermati angka-angka tersebut.
Ternyata frasa dan diksi yang
bersifat menyatukan justru paling menonjol yaitu bagi semua, untuk semua,
bagi seluruh, dan persatuan. Adapun tema yang menjadi sorotan dan pokok
paling menonjol selama masa kampanye, yaitu soal “keadilan” dan
“kesejahteraan” menjadi urutan berikutnya.
Namun, yang paling riuh
dibicarakan justru yang diucapkan satu kali: pribumi. Apakah ini yang
dinamakan nila setitik rusak susu sebelanga? Bisa ya jika apa yang
disampaikan Anies dalam konotasi nila.
Namun, jika kita cermat dan
jernih membacanya maka struktur kalimat itu justru dalam ruang “susu”, bukan
nila. Wajar sekali jika semangat persatuan dan menyatukan merupakan yang
paling menonjol karena itu merupakan laku rutin dari pidato politik
kemenangan setelah kompetisi yang tajam.
Menyatukan memang bukan
pekerjaan gampang. Namun, persatuan autentik akan tercipta dengan sendirinya
dengan menghadirkan prestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar