Protokol
Madrid dan Ekonomi Kreatif
Ari Juliano Gema ; Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual
dan Regulasi Bekraf RI
|
KOMPAS,
30 Oktober
2017
Pada 2 Oktober 2017, Indonesia secara
resmi bergabung menjadi negara pihak ke-100 dari The Protocol Relating to
Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (Protokol
Madrid).
Bergabungnya Indonesia ditandai
dengan diserahkannya instrumen aksesi Indonesia atas Protokol Madrid oleh
Menteri Hukum dan HAM RI kepada Dirjen World Intellectual Property
Organization (WIPO) di Geneva, Swiss, saat penyelenggaraan Sidang Umum WIPO.
Penyerahan dilakukan setelah
selesainya proses aksesi perjanjian internasional di dalam negeri melalui
penerbitan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2017. Hal ini merupakan komitmen
pemerintah, seperti disampaikan Presiden Jokowi kepada Dirjen WIPO saat
berkunjung ke Indonesia 19 September 2017.
Protokol Madrid merupakan
perjanjian internasional yang disepakati negara anggota WIPO pada 1989
sebagai dasar hukum pembentukan Sistem Madrid untuk pendaftaran internasional
merek. Sistem Madrid berupaya membentuk satu sistem pendaftaran merek yang
sederhana lewat kantor pendaftaran merek setempat, bahasa lokal, biaya
tunggal, dan mata uang lokal. Dengan demikian, pemilik merek di Indonesia
dapat menggunakan Sistem Madrid untuk mendaftarkan merek dan memperoleh
perlindungan tak hanya di Indonesia, tetapi juga di 116 wilayah negara pihak
dalam Protokol Madrid dengan mudah.
Survei Khusus Ekonomi Kreatif
(SKEK) yang dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat
Statistik (BPS) untuk mengetahui perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia
pada 2016 menghasilkan indikator makroekonomi yang meliputi data produk
domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif, ekspor barang ekonomi kreatif, dan
tenaga kerja ekonomi kreatif.
Berdasarkan SKEK diketahui PDB
ekonomi kreatif yang tercipta pada 2015 sebesar Rp 852 triliun. PDB ekonomi
kreatif tumbuh 4,38 persen pada 2015, dari Rp 784,8 triliun pada 2014.
Ekonomi kreatif memberikan kontribusi 7,38 persen terhadap total perekonomian
nasional. Kuliner, fashion, dan kriya adalah tiga subsektor ekonomi kreatif
dengan sumbangan terbesar terhadap PDB ekonomi kreatif.
Nilai ekspor barang ekonomi
kreatif pada 2015 sebesar 19,4 miliar dollar AS, meningkat 6,6 persen
dibandingkan 2014 yang sebesar 18,2 miliar dollar AS. Dalam neraca ekspor
nasional, ekspor ekonomi kreatif masuk dalam kategori ekspor nonmigas, yang
pada 2014-2015 secara umum mengalami penurunan, tetapi ekspor ekonomi kreatif
justru mengalami penguatan. Lima negara tujuan ekspor terbesar adalah AS
(31,72 persen), Jepang (6,74 persen), Taiwan (4,99 persen), Swiss (4,96
persen), dan Jerman (4,56 persen).
Menurut SKEK, penduduk
Indonesia yang bekerja di sektor ekonomi kreatif pada 2015 berjumlah 15,9
juta orang. Sekitar 53,68 persen tenaga kerja ini adalah perempuan.
Bandingkan dengan proporsi jumlah perempuan dalam struktur tenaga kerja
Indonesia tahun 2015 yang hanya sekitar 37,16 persen.
Struktur tenaga kerja ekonomi
kreatif masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SMA sederajat (57,2
persen) sehingga masih butuh dukungan dalam hal pendidikan dan pelatihan SDM.
Sekitar 92,37 persen usaha di
sektor ekonomi kreatif masih menggunakan modal sendiri. Hanya sedikit yang
menggunakan perbankan sebagai sumber pembiayaan. Hal ini karena aset utama
usaha ekonomi kreatif umumnya aset tak berwujud berupa hak kekayaan
intelektual (HKI), bukan aset berwujud yang dapat dijadikan jaminan pinjaman
di bank. Namun, menurut SKEK, hanya 11,05 persen usaha ekonomi kreatif
memiliki HKI terdaftar, seperti merek, paten, dan desain industri.
Pengembangan pasar internasional
Selama ini Bekraf telah
memberikan dukungan kepada pelaku ekonomi kreatif yang telah terkurasi untuk
menampilkan produknya di luar negeri dalam berbagai kesempatan. Contohnya, di
Ambiente, SXSW, Salone del Mobile Milano, Venice Art Biennale, OzAsia, Cebit,
NYNow, Arab Fashion Week, dan Tokyo Games Show. Lewat cara ini, terbuka akses
bagi pelaku ekonomi kreatif untuk bertemu dengan calon mitra usaha dan
investor di luar negeri dalam rangka mengembangkan usaha mereka ke pasar
internasional.
Dalam mengembangkan usaha
mereka, khususnya untuk mengekspor produk ke pasar internasional, aspek
perlindungan HKI atas produk tersebut, terutama merek, menjadi hal yang
penting diperhatikan. Dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota Protokol
Madrid, pemilik merek Indonesia yang ingin mendaftarkan mereknya di beberapa
negara kini tinggal mendaftarkan mereknya melalui Ditjen Kekayaan Intelektual
saja. Tak perlu datang sendiri ke negara tujuan pendaftaran atau menunjuk
kuasa di masing-masing negara tujuan pendaftaran merek. Cara ini memangkas
banyak waktu dan biaya.
Calon mitra usaha dan investor
akan lebih yakin bekerja sama dengan pelaku ekonomi kreatif yang telah
terlindungi mereknya di beberapa negara tujuan ekspor. Bagi calon mitra usaha
dan investor, ini juga akan mempermudah pengembangan usaha untuk pasar
internasional di masa mendatang. Posisi tawar pelaku ekonomi kreatif pun jadi
lebih baik saat berhadapan dengan mitra usaha dan investor.
Perlindungan HKI menjadi
sedemikian penting karena HKI adalah esensi dari ekonomi kreatif. HKI
memberikan nilai tambah terhadap suatu produk. Tanpa HKI, produk yang
diperdagangkan hanya akan menjadi komoditas. Bekraf selama ini telah membantu
memfasilitasi pendaftaran HKI di tingkat nasional, khususnya merek, untuk
pelaku ekonomi kreatif dengan skala ekonomi mikro dan kecil di berbagai
pelosok Tanah Air lewat bantuan teknis dan finansial. Sejak 2016, Bekraf
telah memfasilitasi sekitar 2.000 permohonan pendaftaran HKI.
Untuk mewujudkan harapan
Presiden Jokowi agar ekonomi kreatif menjadi tulang punggung ekonomi
nasional, Bekraf juga berencana memfasilitasi pendaftaran merek pelaku
ekonomi kreatif skala mikro dan kecil di beberapa negara tujuan ekspor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar