Mengakhiri
Sentimen Pribumisasi
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 27 Oktober 2017
BELUM lama ini istilah pribumi
dan nonpribumi menjadi perbincangan hangat publik, yang dipicu oleh pernyatan
Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan dalam pidato politik pascapelantikannya
di Balai Kota DKI. Di hadapan ribuan pendukung Anies mengatakan: "Dulu
kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya
menjadi tuan rumah di negeri sendiri”.
Tak pelak lagi pernyataan Anies
ini memicu kontroversial, tak sedikit yang setuju dengan pernyataan Anies ini
sebagai bagian dari upaya menaikkan tensi semangat pendukungnya, namun tak
sedikit pula yang mengkritiknya, bahkan organisasi Banteng Muda Indonesia
(BMI) telah melaporkan Anies ke Bareskrim Polri karena dianggap melanggar
peraturan.
Pernyataan Anies yang
membedakan pribumi dan nonpribumi secara kategorik ini seolah hendak
menghidupkan kembali idiom politik diskriminasi dalam sejarah sosial politik
di Indonesia yang memunculkan segregasi antarsuku, agama, ras dan
antargolongan (SARA).
Padahal dalam rentang sejaranh
sesungguhnya idiom pribumi dan nonpribumi merupakan tafsiran politis dari
kebijakan ciptaan Kolonial Belanda yang sengaja membagi penduduk Hindia
Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing (China,
Arab, India, dll) dan bumi putra dalam rangka untuk memudahkan dalam
pemberlakuan hukum untuk mereka.
Bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan berlaku baginya Hukum Perdata Barat dan Hukum Dagang Barat yang
diselaraskan dengan hukum perdata dan Hukum Dagang di Belanda berdasarkan
Asas Konkordansi, yaitu suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa
atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada
Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Dengan
kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum
perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Bagi golongan Bumi Putera dan
yang dipersamakan berlaku Hukum Adat yang pada tiap-tiap daerah berlainan
coraknya. Adapun bagi golongan Timur Asing dibagi 2 (dua), yaitu berdasarkan
Stb. 1924-557 berlaku di KUHPerdata dan KUHD dengan pengecualian Tentang
Pencatatan Sipil, cara-cara perkawinan ditambah dengan pengangkatan anak dan
bagi golongan bukan Cina berdasarkan Stb. 1924-556 berlaku KUHPdt dan KUHD
dengan pengecualian, mengenai Hukum Kekeluargaan dan mengenai Hukum Waris
tanpa wasiat.
Dari aspek sejarah hukum
sesungguhnya Belanda sendiri tidak pernah menggunakan istilah pribumi dan
nonpribumi, hanya membagi golongan penduduk yang pada awalnya bertujuan
memudahkan kontrol penerapan hukum yang sesuai dengan karakter masing-masing
golongan penduduk.
Bahkan jika dibaca dari aspek
konstitusional dalam UUD 1945 sebelum Amandemen hingga UUD 1945
Pascaamandemen pada Pasal 26 Ayat (1) tidak pernah menggunakan istilah
”pribumi”. Jika dilacak dalam undang-undang organik yang mengatur tentang
Kewarganegaraan Indonesia, yaitu UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
RI sebagaimana diubah menjadi UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
juga tidak menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi.
Sentimen Emosional
Jika kemudian muncul istilah
pribumi dan nonpribumi bukan istilah dalam hukum, melainkan istilah ujaran
politik yang secara terus-menerus dipergunakan sebagai alat agitasi politik
kepentingan tertentu dalam kehidupan sosial politik yang menjadi stigma
(pelabelan) politik untuk membedakan akses ekonomi, politik dan budaya.
Akhirnya mendorong lahirnya politik diskriminasi. Itulah sebabnya di kemudian
hari istilah pribumi dan nonpribumi dikomodifikasi sedemikian rupa, sehingga
dapat mengaduk-aduk sentimen emosional dan kerap kali memicu konflik.
Umumnya konflik itu terjadi
antara warga China dengan penduduk setempat, konflik dahsyat yang tak dapat
dilupakan dalam panggung sejarah adalah terjadi pada Mei 1998 yang memicu gerakan
politik Reformasi 1998. Itulah sebabnya mengapa pemerintah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan
Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan
Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan. Dan pada tahun 2008 pemerintah mengesahkan UU Nomor 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dengan demikian, istilah
pribumi dan nonpribumi dalam sejarah sosial politik di Indonesia merupakan
idiom yang syarat dengan masalah dan luka, karena realitasnya memainkan isu
ini dapat memicu ketegangan, konflik dan kekerasan dalam masyarakat.
Sejarah mencatat banyak juga
orangorang peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang juga sama-sama berjuang
di masa kolonial Belanda dan kependudukan Jepang serta telah merasa menjadi
bagian dari Indonesia. Dalam Susunan Pengurus BPUPKI terdapat keterlibatan
nama-nama seperti Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng
Hoa yang mewakili peranakan Tionghoa; AR Baswedan yang mewakili peranakan
Arab; dan Dahler yang mewakili peranakan Eropa.
Jadi alangkah elok dan
bijaksananya jika para pemimpin politik lokal dan nasional memiliki kesadaran
sejarah bangsa, agar tak lagi memainkan isu-isu ini dalam ucapan, pidato atau
bahkan ujaran- ujaran dalam keseharian, karena akan dapat memicu kesadaran
kolektif perbedaan. Secara simbolik akan mengesankan pribumisasi atau
mengambil alih semua kegiatan berbangsa dan bernegara khusus untuk kaum
pribumi. Saatnya bangsa ini menatap masa depan dengan tanpa melestarikan
idiom-idiom negatif yang dapat menafikan eksistensi dan peran warga negara
Indonesia yang berasal dari suku, agama, ras dan antargolongan yang berbeda
dalam mengisi pembangunan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar