Selasa, 31 Oktober 2017

Mengakhiri Sentimen Pribumisasi

Mengakhiri Sentimen Pribumisasi
Agus Riewanto ;   Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
                                             SUARA MERDEKA, 27 Oktober 2017



                                                           
BELUM lama ini istilah pribumi dan nonpribumi menjadi perbincangan hangat publik, yang dipicu oleh pernyatan Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan dalam pidato politik pascapelantikannya di Balai Kota DKI. Di hadapan ribuan pendukung Anies mengatakan: "Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri”.

Tak pelak lagi pernyataan Anies ini memicu kontroversial, tak sedikit yang setuju dengan pernyataan Anies ini sebagai bagian dari upaya menaikkan tensi semangat pendukungnya, namun tak sedikit pula yang mengkritiknya, bahkan organisasi Banteng Muda Indonesia (BMI) telah melaporkan Anies ke Bareskrim Polri karena dianggap melanggar peraturan.

Pernyataan Anies yang membedakan pribumi dan nonpribumi secara kategorik ini seolah hendak menghidupkan kembali idiom politik diskriminasi dalam sejarah sosial politik di Indonesia yang memunculkan segregasi antarsuku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Padahal dalam rentang sejaranh sesungguhnya idiom pribumi dan nonpribumi merupakan tafsiran politis dari kebijakan ciptaan Kolonial Belanda yang sengaja membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing (China, Arab, India, dll) dan bumi putra dalam rangka untuk memudahkan dalam pemberlakuan hukum untuk mereka.

Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku baginya Hukum Perdata Barat dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan hukum perdata dan Hukum Dagang di Belanda berdasarkan Asas Konkordansi, yaitu suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.

Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat yang pada tiap-tiap daerah berlainan coraknya. Adapun bagi golongan Timur Asing dibagi 2 (dua), yaitu berdasarkan Stb. 1924-557 berlaku di KUHPerdata dan KUHD dengan pengecualian Tentang Pencatatan Sipil, cara-cara perkawinan ditambah dengan pengangkatan anak dan bagi golongan bukan Cina berdasarkan Stb. 1924-556 berlaku KUHPdt dan KUHD dengan pengecualian, mengenai Hukum Kekeluargaan dan mengenai Hukum Waris tanpa wasiat.

Dari aspek sejarah hukum sesungguhnya Belanda sendiri tidak pernah menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi, hanya membagi golongan penduduk yang pada awalnya bertujuan memudahkan kontrol penerapan hukum yang sesuai dengan karakter masing-masing golongan penduduk.

Bahkan jika dibaca dari aspek konstitusional dalam UUD 1945 sebelum Amandemen hingga UUD 1945 Pascaamandemen pada Pasal 26 Ayat (1) tidak pernah menggunakan istilah ”pribumi”. Jika dilacak dalam undang-undang organik yang mengatur tentang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI sebagaimana diubah menjadi UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI juga tidak menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi.

Sentimen Emosional

Jika kemudian muncul istilah pribumi dan nonpribumi bukan istilah dalam hukum, melainkan istilah ujaran politik yang secara terus-menerus dipergunakan sebagai alat agitasi politik kepentingan tertentu dalam kehidupan sosial politik yang menjadi stigma (pelabelan) politik untuk membedakan akses ekonomi, politik dan budaya. Akhirnya mendorong lahirnya politik diskriminasi. Itulah sebabnya di kemudian hari istilah pribumi dan nonpribumi dikomodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat mengaduk-aduk sentimen emosional dan kerap kali memicu konflik.

Umumnya konflik itu terjadi antara warga China dengan penduduk setempat, konflik dahsyat yang tak dapat dilupakan dalam panggung sejarah adalah terjadi pada Mei 1998 yang memicu gerakan politik Reformasi 1998. Itulah sebabnya mengapa pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Dan pada tahun 2008 pemerintah mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dengan demikian, istilah pribumi dan nonpribumi dalam sejarah sosial politik di Indonesia merupakan idiom yang syarat dengan masalah dan luka, karena realitasnya memainkan isu ini dapat memicu ketegangan, konflik dan kekerasan dalam masyarakat.

Sejarah mencatat banyak juga orangorang peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang juga sama-sama berjuang di masa kolonial Belanda dan kependudukan Jepang serta telah merasa menjadi bagian dari Indonesia. Dalam Susunan Pengurus BPUPKI terdapat keterlibatan nama-nama seperti Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa yang mewakili peranakan Tionghoa; AR Baswedan yang mewakili peranakan Arab; dan Dahler yang mewakili peranakan Eropa.

Jadi alangkah elok dan bijaksananya jika para pemimpin politik lokal dan nasional memiliki kesadaran sejarah bangsa, agar tak lagi memainkan isu-isu ini dalam ucapan, pidato atau bahkan ujaran- ujaran dalam keseharian, karena akan dapat memicu kesadaran kolektif perbedaan. Secara simbolik akan mengesankan pribumisasi atau mengambil alih semua kegiatan berbangsa dan bernegara khusus untuk kaum pribumi. Saatnya bangsa ini menatap masa depan dengan tanpa melestarikan idiom-idiom negatif yang dapat menafikan eksistensi dan peran warga negara Indonesia yang berasal dari suku, agama, ras dan antargolongan yang berbeda dalam mengisi pembangunan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar