Antara
Pribumi dan Rakyat Miskin
Bagong Suyanto ; Guru Besar Sosiologi
FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Oktober 2017
SESUNGGUHNYA tidak ada yang
salah jika ada seorang pemimpin berusaha membangkitkan emosi dan rasa
persatuan dengan mengingatkan kembali luka lama ketika bangsa dijajah
kolonial. Akan tetapi, apa yang dilontarkan Anies Baswedan dalam pidato
pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta justru membuat warganet melontarkan
berbagai kritikan. Pascamasyarakat Jakarta berkotak-kotak dalam sekat
golongan dan isu SARA, Anies justru mempergunakan satu terminologi yang
dirasa banyak pihak kontraproduktif: pribumi! Dalam penggalan pidatonya,
Anies menyatakan: “…Dulu kita semua
pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi
tuan rumah di negeri sendiri.... Kita yang bekerja keras mengusir
kolonialisme. Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di Ibu Kota
ini.”
Memainkan rasa sentimen dan isu
SARA selama masa kampanye mungkin masih dipahami banyak pihak sebagai bagian
dari strategi meraup simpati pemilih. Akan tetapi, ketika keputusan siapa
pemegang pilkada sudah diketuk, dan jabatan sudah jelas ada di tangan,
mengungkap kembali luka lama isu yang berbau SARA sebetulnya kurang elok.
Dikatakan kurang elok karena penggunaan terminologi pribumi otomatis akan
dilawankan atau beroposisi biner dengan terminologi lain, yaitu Tionghoa. Di
tengah semangat untuk membangun persatuan dan kesatuan, membuka kembali
cerita lama yang mengidap bak penyakit kronis bagi bangsa ini jelas akan
berisiko melahirkan efek samping yang kurang menguntungkan bagi bangsa ini.
Pascapilkada, upaya yang seharusnya dilakukan seorang pemimpin ialah
bagaimana melakukan rekonstruksi dan membangun rekonsialisasi yang
menyejukkan. Membakar kembali padang ilalang yang mudah tersulut api tentu
bukan tindakan yang bijaksana. Namun, nasi sudah menjadi bubur, dan wajar
jika banyak pihak menganggap apa yang dilontarkan Anies dalam pidato
pertamanya sebagai Gubernur DKI merupakan sikap politiknya selama ini.
Kesulitan
Sebagai sebuah sikap politik,
apa yang dilontarkan Anies sebetulnya bukan hal baru. Selama ini, berbagai
kebijakan telah dikeluarkan pemerintah untuk mendorong peningkatan kiprah dan
peran pribumi dalam aktivitas perekonomian nasional. Di masa Orde Lama
pemerintah mencoba menjalankan Program Banteng (1950-1957) untuk mendongkrak
peran pribumi agar menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Melalui kebijakan
alokasi lisensi impor dan proteksi diharapkan, peluang dan peran pengusaha
pribumi dapat tumbuh. Akan tetapi, sayangnya, karena tidak didukung
pengalaman dan karena terlalu lama menjadi petani dan pamong praja, hasilnya
tidak seperti diharapkan. Program Banteng dalam praktik gagal karena jatah
lisensi impor ternyata banyak yang dijual ke pengusaha Tionghoa.
Pada 1959, melalui Peraturan
Pemerintah No 10 Tahun 1959, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru untuk
memfasilitasi pengusaha pribumi, yaitu dengan cara mencabut izin perdagangan
eceran Tionghoa di tingkat desa. Toko-toko Tionghoa yang sebelumnya banyak
beroperasi di desa ditutup paksa dan waktu itu sekitar 120 ribu orang
Tionghoa eksodus meninggalkan Indonesia karena ancaman kekerasan. Kesulitan
untuk mengurangi ruang gerak pengusaha Tionghoa di Tanah Air sebagian
disebabkan kebijakan yang dijalankan tidak pernah sepenuh hati. Di masa Orde
Baru, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan pengusaha pribumi acapkali tidak
banyak memberikan hasil seperti yang diharapkan karena dominasi pengusaha
Tionghoa dalam aktivitas ekonomi sesungguhnya merupakan bagian integral dari
struktur kapitalisme Indonesia.
Di zaman Orde Baru, pengusaha
Tionghoa merupakan bagian esensial dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan di
luar pendapatan dari negara (extra-budgetary revenues) yang sering dimainkan
kekuatan militer dan birokrat politik. Perselingkuhan antara dominasi modal
asing, kaum teknokrat, militer, dan pengusaha Tionghoa membuat peluang pengusaha
pribumi naik kelas menjadi terhambat. Di era Orde Baru, menurut kalkulasi
Richard Robison (1986) dalam bukunya yang terkenal, Indonesia: The Rise of Capital, modal pengusaha Tionghoa yang ada
di Indonesia saat itu diperkirakan sekitar 70%-75% dari total investasi
kapital nasional. Proporsi dominasi pengusaha Tionghoa yang luar biasa inilah
yang diduga menjadi salah satu sebab pecahnya aksi kerusuhan rasial pada 1974
dan kasus penjarahan aset-aset milik orang Tionghoa yang ada di Jakarta dalam
peristiwa kerusuhan Mei 1989.
Ibarat api dalam sekam, bara
api kebencian dan hubungan yang tidak serasi antara pribumi dan Tionghoa
boleh dikata tidak pernah benar-benar dapat dipadam. Meskipun Gus Dur ketika
menjabat presiden telah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat
rekonsiliasi dan mencegah sentimen ras berkembang di Indonesia yang
multipluralis, sentimen yang sudah mendarah daging itu tampaknya tidak mudah
untuk dihilangkan begitu saja.
Akar masalah
Sebagai seorang intelektual dan
birokrat, Anies Baswedan saya yakin tidak memiliki motif buruk atas pilihan
terminologi yang dilontarkan. Sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sejak masa
kampanye menginginkan kota yang dipimpinnya ramah dan berpihak kepada manusia
penghuninya, apa yang dikatakan Anies sangat mungkin lebih didorong rasa
kemanusiaannya yang terusik menyaksikan sebagian besar masyarakat Jakarta
yang hingga kini masih terpolarisasi dan bahkan mengalami marginalisasi.
Dominasi pengusaha Tionghoa dalam aktivitas perekonomian nasional adalah realitas
yang tidak bisa dibantah. Akan tetapi, di Indonesia ini etnik Tionghoa yang
hidup dalam penderitaan dan mengalami marginalisasi juga bukan berarti tidak
ada. Dalam perspektif hak asasi manusia, barangkali lebih elok jika semangat
yang ingin dibangun Anies adalah keberpihakan kepada kaum papa atau
orang-orang marginal--tanpa label apa agama mereka, apa warna kulit dan etnik
mereka, dan apa pula ideologi politik mereka.
Akar masalah sosial-ekonomi
yang dihadapi Kota Jakarta bukanlah isu segregasi etnik dan polarisasi
antarkelas yang berakar pada perbedaan etnik. Kemiskinan dan kesenjangan
sosial yang masih terjadi di Jakarta niscaya merupakan imbas dari berbagai
persoalan struktural, seperti ketidakadilan, ketidakberdayaan, dan dominasi
yang sudah bertali-temali mulai puluhan tahun silam. Untuk membongkar dan
menangani akar masalah yang tengah dihadapi Kota Jakarta ini, tentu yang
dibutuhkan bukan sekadar terminologi yang bisa memperburuk sentimen rasial,
melainkan rekonsiliasi dan kesediaan semua pihak untuk bergandengan tangan
memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar