Menyoal
Larangan Jenderal Gatot Masuk Amerika
Vinsensio Dugis ; Dosen Hubungan
Internasional FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Oktober 2017
KASUS penolakan masuk ke Amerika
Serikat (AS) yang dialami Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa hari
lalu masih menjadi perhatian publik. Jenderal Gatot yang sedianya menghadiri
Chief of Defense Conference on Country Violent Extremist Organizations (VEOs)
di Washington DC 23-24 Oktober terpaksa batal hadir. Berbagai bentuk reaksi
muncul atas peristiwa itu. Meskipun pihak AS telah menyatakan permintaan maaf
secara resmi atas insiden penolakan itu, termasuk juga dicabutnya larangan
masuk ke AS terhadap Jenderal Gatot, pemerintah Indonesia masih menunggu
adanya penjelasan resmi dari pihak AS.
Berkaitan dengan peristiwa itu,
apa saja yang mungkin perlu diketahui publik sehingga tidak harus merespons
dengan berbagai spekulasi tak berdasar?
Pertama, insiden penolakan
serupa yang dialami Jenderal Gatot sudah cukup sering diberlakukan AS kepada
berbagai individu dengan berbagai latar belakang, mulai artis, atlet
terkenal, diplomat, jenderal, hingga bekas pemimpin negara. Figur-figur
terkenal yang pernah dicekal AS antara lain Hamid Abaoutalebi, mantan Dubes
Iran untuk PBB, Yusuf Islam, salah satu penyanyi terkenal Inggris yang
sebelumnya bernama Cat Stevens, Diego Maradona, pemain sepak bola terkenal
asal Argentina, Narenda Modi, Menteri Utama Negara Bagian Gujarat, India, dan
termasuk juga mantan Sekjen PBB dan Presiden Austria Kurt Waldheim bersama
istrinya.
Pelarangan masuk ke AS juga
dikabarkan pernah dikenakan terhadap sejumlah petinggi TNI setelah peristiwa
lepasnya Timor Leste dari Indonesia dan juga peristiwa reformasi 1998. Hal
yang berbeda dari kasus-kasus itu jika dibandingkan dengan yang dialami
Jenderal Gatot ialah umumnya larangan diketahui jauh sebelum keberangkatan.
Peristiwa yang dialami Jenderal Gatot menjadi bernuansa 'spesifik' karena
kepergian itu memenuhi undangan resmi Pangab AS dan semua persyaratan
administratif terkait dengan visa telah dikeluarkan pihak AS. Selain itu,
larangan masuk justru didapatkan dari pihak airline
beberapa saat sebelum keberangkatan.
Di titik inilah (pemberitahuan
yang mendadak) peristiwa penolakan AS ini dianggap tidak saja mengecewakan,
tetapi juga memalukan. Pernyataan maaf yang disampaikan berbagai pihak AS
harus dapat dilihat dalam konteks ini meskipun dengan harapan akan ada
penjelasan resmi dari pihak AS di kemudian hari. Kedua, becermin dari
penolakan-penolakan yang ada sebelumnya, rasanya tidak bakalan ada penjelasan
resmi secara terbuka dalam waktu dekat yang akan dikemukakan pihak AS
sebagaimana yang diharapkan berbagai pihak termasuk pemerintah Indonesia.
Adalah US Customs and Border
Protection (CBP), suatu lembaga yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri
AS, yang mempunyai otoritas penuh mengeluarkan keputusan tentang siapa yang
boleh dan tidak boleh masuk ke AS.
Dengan struktur yang kuat dan
jumlah personel yang banyak, CBP selama ini sudah terkenal sebagai salah satu
lembaga yang menyimpan berbagai informasi yang didapat dari lembaga-lembaga
lain termasuk intelijen di AS untuk mengambil keputusan terakhir
boleh-tidaknya seseorang masuk ke AS.
Dari sejarah penolakan yang
selama ini ada, atas nama kepentingan keamanan AS, penjelasan lanjutan di
balik keputusan penolakan terhadap masuknya seseorang ke AS kerap dianggap
bukanlah sesuatu yang 'harus' sifatnya meskipun dari sisi norma boleh jadi
dianggap tidak etis oleh pihak lain. Atas dasar itu, publik termasuk
pemerintah boleh saja berharap akan adanya penjelasan lanjutan di balik
penolakan masuknya Jenderal Gatot ke AS. Namun, kita tidak perlu kaget jika
harapan tersebut tidak bakal terealisasi dalam waktu dekat. Sekali lagi, atas
nama kepentingan keamanan, bagi AS penolakan jauh lebih penting daripada
keharusan memberikan penjelasan sebagaimana yang mungkin diharapkan
pemerintah dan sebagian publik di Indonesia.
Kondisi ini (tidak adanya
penjelasan resmi dalam waktu dekat dari pihak AS) tentu saja potensial
menimbulkan berbagai spekulasi. Untuk itu, dibutuhkan kearifan berbagai pihak
untuk melihat peristiwa ini dalam konteks sebagaimana ditulis di atas, dan
tanpa perlu harus dikaitkan dengan hal-hal yang tidak mempunyai dasar yang
kuat untuk berspekulasi.
Spekulasi-spekulasi yang dibuat
tanpa dasar yang kuat hanya akan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak
perlu. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan praktik-praktik yang selama ini
dilakukan pihak AS, tekanan terhadap pemerintah untuk terus meminta
penjelasan yang terbuka kepada pihak AS juga bukan merupakan jalan cerdas
yang akan menuai hasil sebagaimana yang diharapkan. Ketiga, kalaupun ada yang
harus dikritik keras terhadap pemerintah AS ialah tidak adanya koordinasi
yang apik antara berbagai lembaga atau departemen di bawah pemerintahan
Presiden Donald Trump. Adalah bijak dan elok serta tidak dianggap
mempermalukan pihak lain jika larangan masuk ke AS yang dikenakan kepada
Jenderal Gatot ini dapat diinformasikan jauh sebelumnya.
Informasi larangan masuk yang
diterima beberapa saat sebelum penerbangan tentu sangatlah tidak etis jika
dilihat dari dimensi norma. Hal itu mengingatkan publik terhadap instruksi
yang tiba-tiba dikeluarkan Presiden Trump beberapa waktu lalu, melarang warga
negara dari sejumlah negara muslim masuk ke AS. Akibatnya, sejumlah petugas
di banyak bandara di AS harus kerepotan memulangkan kembali orang-orang yang
telah mendapat visa masuk ke AS. Dari penjelasan di atas, kita boleh saja masih
berharap adanya penjelasan lebih lengkap pihak AS tentang mengapa Jenderal
Gatot sempat dilarang masuk ke AS.
Namun, dengan mempertimbangkan
poin satu dan dua di atas, kita tidak perlu 'ngotot' jikapun tidak
mendapatkan penjelasan yang diharapkan. Waktulah yang nantinya akan secara
perlahan menguak apa sesungguhnya yang ada di balik pencekalan yang dialami
Jenderal Gatot. Permintaan maaf dari berbagai pihak di AS cukup menjadi
cermin bahwa apa yang AS lakukan itu jelas tidak sesuai dengan norma etis hubungan
antarnegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar