Infrastruktur
Yes, Pembangunan Politik So So
Firman Noor ; Peneliti Pusat
Penelitian Politik LIPI; Dosen Ilmu Politik FISIP UI
|
KORAN
SINDO, 20 Oktober 2017
Masa tiga tahun pemerintahan
Presiden Jokowi telah berjalan dan sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya
dapat ditanggapi atau dinilai oleh seluruh anak bangsa.
Beragam penilaian itu tentu
harus dilihat sebagai sesuatu yang sehat, yakni sebagai cermin dari apa yang
telah di lakukan selama ini dan sebagai sebuah masukan demi berbagai langkah
perbaikan. Presiden Jokowi telah memberikan contoh baik tentang apa itu
bekerja dalam skala besar.
Dengan semangat yang tertuang
dalam moto kerja bersama aparat pemerintah dipicunya untuk bekerja lebih
cepat lagi, lebih efektif lagi, dan lebih berdampak lagi. Hasilnya me mang
mulai kelihatan di antara yang paling terlihat dan tera sakan itu adalah
dalam soal infrastruktur. Saat ini pemerintah telah membangun ribuan kilometer
jalan nasional dan ratusan kilometer jalan tol.
Ratusan jembatan baru dengan
bentangan hingga belasan ribu meter juga di bangun. Itu dilakukan hingga
kewilayah-wilayah yang selama ini nyaris tidak tersentuh oleh pembangunan
yang berarti termasuk di Papua dan wilayah-wilayah perbatasan. Selain itu,
pembangunan pelabuhan laut juga makin digalakkan dengan target 100 pelabuhan
pada akhir periode jabatan presiden.
Hal ini diupayakan untuk turut
menyukseskan program tol laut sebagai bagian dari target pemerintah
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sebagai tambahan,
program-program yang terkait dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga
patut diapresiasi. Secara umum, banyak hal yang lebih baik terasakan dalam
konteks pembangunan.
Meski menampakkan hasil nyata
dalam pembangunan fisik, masalah kemiskinan dan peng angguran masih menjadi
problem serius. Saat ini khalayak cukup ramai menceritakan keterbatasan atau
kesulitan mereka dalam pemenuhan kehidupan keseharian. Berbagai survei mengindikasikan
hal tersebut sebagai cerminan melemahnya ekonomi rakyat.
Selain itu, tidak seperti yang
dibayangkan pertumbuhan ekonomi hanya kisaran 5%, cukup jauhdari
yangditargetkan. Selain itu, beberapa janji saat kampanye dulu juga masih
belum terealisasi sebagiannya malah berpotensi tidak terealisasi sama sekali.
Lebih dari itu, dalam konteks
kehidupan politik belum menunjukkan sebuah langkahlangkah yang dapat
diharapkan sebagai sebuah break - through bagi penguatan kedaulatan rakyat
dan penciptaan demokrasi yang lebih partisipa toris. Meski demokrasi tetap
berjalan dan institusi-institusi demo krasi tetap eksis, upaya untuk lebih
menggalakkan dan menguatkan kehidupan berpol itik yang lebih bersahabat dan
lebih menopang demokrasi tidak terlalu meyakinkan.
Masyarakat saat ini tampak
lebih terbelah dari sebelumnya. Keterbelahan masyarakat, pemanfaatan isu-isu
SARA atau primordial. Bangkitnya isu SARA sebagai komoditas dalam pertarungan
politik menjadi bagian yang berkelindan di dalamnya. Hal ini menghinggapi baik
mereka yang berstatus mayoritas maupun minoritas.
Menurunnya peringkat kualitas
demokrasi Indonesia dalam catatan Freedom House dalam tiga tahun belakangan
ini, dari negara dengan kategori free menjadi partly free, bisa jadi
disebabkan oleh persoalan ini. Sebagai sebuah negara bangsa yang tegak dalam
semangat Bhinneka Tunggal Ika situasi ini jelas sebuah kemunduran bahkan
kemalangan.
Selain itu, beberapa kebijakan
justru terlihat demikian ”konservatif”. Sebagian kalang an melihatnya sebagai
sebuah set back (kemunuran) demokrasi. Dima jukannya rancangan Perppu Ormas
berpotensi besar membatasi kebebasan sipil.
Peraturan yang tidak urgent itu
meniadakan tahapan yang lebih komprehensif dan meniad akan peran pengadilan
dalam proses pembubaran sebuah ormas. Beberapa kalangan menyatakan bahwa
peraturan terkait ormas yang sudah ada jauh lebih akomodatif terhadap
kebebasan sipil.
Kemudian upaya-upaya m
elanjutkan atau memper tahankan kekuasaan kerap demikian ter ium menyengat
yang sayangnya salah kaprah. Hal ini ter lihat misalnya dalam soal
Presidential Thresholds yang bertabrakan dengan esensi pemilihan langsung
tetap diupayakan.
Manipulasi logika yang su lit
diterima nalar ini sayangnya diamini pula oleh kebanyakan partai. Tidak heran
jika kemudian banyak orang menilai bahwa akarnya adalah demi memastikan
kemenangan semata. Persoalan lain yang juga masih mengganjal adalah
instrumentalisasi hukum demi kepentingan konsolidasi kekuasaan.
Disini kerap dirasakan adanya
standar ganda dalam penanganan masalah hukum. Beberapa individu yang
ditengarai sebagai oposan dapat segera dijerat persoalan hukum, sedangkan
mereka yang terindikasi sebagai pendukung penguasa tampak sulit tersentuh.
Sementara itu terjadi pula, terutama pada awal-awal pemerintahan, pemanfaatan
jalur hukum untuk menyingkirkan pihak oposisi di sebuah partai.
Beberapa partai akhirnya menja
di terpecah belah, di mana sebagiannya tanpa ada penyelesaian berarti.
Setelah era Orde Baru tidak pernah terjadi lagi fenomena ketika pemerintah
”turut peduli” dengan persoalan internal partai yang demikian kentara. Untuk
itu, diharapkan memang agar kedepannya keberhasilan Presiden Jokowi dalam
beberapa hal dapat dilengkapi dengan sikap dan kebijakan beliau yang lebih
tegas dan lugas.
Ketegasan ini setidaknya
diarahkan baikkepada pihak-pihak yang coba memanfaatkan kedudukannya sekadar
demi memperkaya atau memperkuat posisi kekuasaan diri atau kelompoknya yang
tentu akan merusak nama baik presiden dan pemerintah. Ketegasan itu juga
diperlukan untuk menjewer aparatnya untuk dapat lebih fokus bekerja sesuai
target dan aturan yang ada, tidak saling serang, dan bergaduh sendiri.
Ketegasan itu juga diperlukan
untuk menunjukkan bahwa presiden memiliki oto ritas tertinggi dalam
pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan. Hanya dengan berbagai ketegasan
ini, presiden dapat on track, baik dalam menegakkan aturan main maupun
menyingkirkan berbagai benalu agar dapat lebih cepat lagi memenuhi
janji-janji politiknya.
Selain itu, perlu
langkahlangkah yang lebih konkret untuk lebih merangkul semua pihak. Presiden
harus semakin me n unjukkan dirinya sebagai pre siden seluruh rakyat
Indonesia. Sebagai sosok pemimpin, Presiden Jokowi harus terus membiasakan
diri untuk berada di tengah (balancer) dan menjadi jangkar bagi kapal yang
bernama Indonesia dengan segenap keragaman primordial maupun orientasi
politiknya.
Dalam konteks merangkul semua
presiden hendaknya tidak semata melihatnya sebagai ”investasi politik” belaka
dengan berorientasi mendekati mereka yang hanya punya potensi dukungan
politik yang besar. Daya rangkul presiden harus total, bukan parsial.
Presiden harus makin menyadari
eksistensi beragam kalangan adalah hakikat keindonesiaan, dimana kesemuanya
berpotensi dan berhak dalam memajukan bang sa dan negara. Selain itu, akan
lebih baik Presiden Jokowi dapat semakin komunikatif. Presiden harus lebih
banyak berkata secara lebih langsung, secara genuine bukan polesan, kepada
khalayak.
Bersedia lebih sering dan lama
berdialog dengan berbagai pihak dengan pernyataan-pernyataan yang lebih
menjawab keingin tahuan dan maksud dibalik kebijakan-kebijakannya. Namun,
akan lebih baik jika konten dari komunikasi yang dibangun nya itu juga
ditujukan untuk dapat selalu dikenang dan dijadikan pedoman bagi masyarakat
banyak.
Hal itu hanya mungkin dilakukan
jika pilihan kata bersifat menggugah, dengan arti dalam dan visioner melintas
generasi. Kekuatan kata-kata dapat menggerakkan jutaan orang, mem persatukan
dan menggerak kan dalam satu arah yang diharapkan. Lebih dari itu, komunikasi
yang tertata dan meyakinkan dapat pula menjadi penawar kecurigaan atau
kekhawatiran.
Saat ini dan pada masa-masa
datang Presiden Jokowi harus lebih aktif berkomunikasi mengingat banyak
sekali persoalan sejatinya dapat lebih cepat diselesaikan jika presiden
angkat bicara dan tidak membiarkan segalanya menjadi pergunjingan yang tidak
jelas arah dan tujuannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar