Sabtu, 21 Oktober 2017

Densus Tipikor

Densus Tipikor
Hifdzil Alim ;   Ketua LPBH NU DIY; Peneliti di Pukat FH UGM
                                                      KOMPAS, 19 Oktober 2017



                                                           
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian melontarkan keinginan membentuk Detasemen Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Densus Tipikor.

Ketika rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kapolri juga menyampaikan, anggaran yang dibutuhkan untuk Densus Tipikor sekitar Rp 2,6 triliun (Kompas.com,12/10/2017).

Lontaran usul dari Kapolri seperti angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi. Akan tetapi, setidaknya, ada tiga pertanyaan untuk menguji kelayakan rencana pembentukan Densus Tipikor. Pertama, apakah pembentukan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Kedua, bagaimana pola koordinasi dengan lembaga pemberantasan korupsi yang telah eksis sebelumnya? Ketiga, bagaimana mengelola kehendak politik di dalam pembentukan Densus Tipikor?

Tentunya tiga pertanyaan di atas tidak menafikan kemungkinan pertanyaan lain, misalnya apakah persetujuan anggaran untuk Densus Tipikor, jika disetujui, akan memotong anggaran untuk lembaga pemberantasan korupsi lainnya, seperti kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Meski demikian, pada bagian ini, cukuplah tiga pertanyaan awal saja yang dibahas.

Pembentukan lembaga pemberantasan korupsi di setiap negara memiliki sejarahnya masing-masing. Singapura, sebagai contoh, awalnya penanganan korupsi dilakukan oleh unit antikorupsi di tubuh kepolisian. Sampai pada Oktober 1951, ditemukan keterlibatan polisi dalam penyelundupan opium senilai 400.000 dollar Singapura. Kasus a quo mendasari pembentukan Corrupt Practices Investigation Bureau(CPIB), biro khusus pemberantasan korupsi (Deputi Pencegahan KPK, 2006: 14).

Contoh lainnya, Hongkong. Hongkong mempunyai sejarah korupsi bersamaan dengan kemajuan infrastruktur yang relatif pesat pada era 1960 hingga 1970-an. Korupsi yang sangat mencolok dilakukan Kepala Pengawas Kepolisian Hongkong Peter Fitzroy Godber. Ia ditengarai memiliki harta korupsi sebesar 4,3 juta dollar Hongkong.

Kondisi ini memicu Hongkong membentuk Independent Commission Against Corruption(ICAC), komisi independen pemberantasan korupsi (Deputi Pencegahan KPK, 2006: 16).

Bagaimana dengan Indonesia? Republik ini membentuk KPK pada 2002 juga karena, salah satunya, belum efektif dan belum efisiennya lembaga pemerintah untuk menangani kasus korupsi, seperti Singapura karena akibat keterlibatan polisi dalam penyelundupan opium dan Hongkong karena korupsi kepolisian serta semua sektor lain.

Meski dibentuk KPK, peraturan perundang-undangan tidak mengamanatkan pengambilalihan kewenangan pemberantasan korupsi dari kepolisian dan kejaksaan oleh KPK. Dua lembaga itu tetap diberi kewenangan pemberantasan korupsi.

Lihatlah, kejaksaan, berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) Huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, diberi tugas untuk menyidik tindak pidana tertentu, termasuk korupsi, dari kewenangan inti (core business)–nya, penuntutan. Kepolisian, dengan Pasal 14 Ayat (1) Huruf g UU No 2/2002, membawa mandat menyelidiki dan menyidik semua tindak pidana, termasuk korupsi.

Artinya, jika kepolisian—dan kejaksaan—ingin membuat sebuah lembaga pemberantasan korupsi, semacam Densus Tipikor, sejatinya undang-undang memberi ruang kepadanya. Dari segi ini, layak saja bagi Polri menginisiasi rencana pembentukan tersebut.

Isu koordinasi

Masalah yang sering muncul dari eksistensi KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah bentuk koordinasi di antara ketiganya. Egoisme kelembagaan tak jarang menjadi aral serius bagi upaya pemberantasan korupsi. Gesekan antara Polri dan KPK dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo cukuplah sebagai pengingat konkret dari egoisme kelembagaan yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi.

Idealnya, makin banyak lembaga pemberantasan korupsi akan makin bagus. Kompetisi antarlembaga untuk memerangi korupsi perlu dikelola dalam bingkai peraturan perundang-undangan. Pendek kata, asas atau prinsip dalam perundang-undangan harus dibuat sebagai parameter dalam menyusun pola koordinasi antarlembaga pemberantasan korupsi.

Secara umum, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penuntutan kasus dilakukan kejaksaan. Densus Tipikor sebagai bagian dari kepolisian, wewenangnya hanya sampai penyidikan. Hasil penyidikan harus diserahkan ke kejaksaan untuk dituntut jika berkas telah lengkap. Koordinasi Densus Tipikor dengan kejaksaan harus berada dalam rambu-rambu demikian. Densus Tipikor tak bisa menuntut sendiri atau mengambil masuk jaksa dalam timnya.

Secara khusus, dalam Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No 30/2002, supervisi KPK memungkinkannya mengambil alih penyidikan atau penuntutan dari tangan kepolisian atau kejaksaan. Tentunya harus memenuhi syarat tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No 30/2002. Tidak bisa sembarangan.

Sederhananya, jika Densus Tipikor menangani korupsi, tetapi KPK ingin mengambil alih penyidikan, mau tak mau—dan harus mau—Densus Tipikor wajib menyerahkan semua tersangka, berkas perkara, alat bukti, dan dokumen lainnya dalam waktu 14 hari tanpa terkecuali. Densus Tipikor tak boleh menolak.

Sebaliknya, Densus Tipikor tak bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani KPK, misalnya, dengan alasan jumlah personel Densus Tipikor lebih banyak dari KPK. Suka tak suka, pola koordinasi Densus Tipikor dengan lembaga penegak hukum lainnya harus mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Motif pembentukan

Sejenak cukup dipahami, tujuan lembaga pemberantasan korupsi adalah memerangi korupsi, bukan yang lain. Kapolri sebagai penanggung jawab Densus Tipikor harus menyadari betul bahwa tak  boleh ada tujuan pesanan dari pembentukan Densus Tipikor dengan anggaran triliunan rupiah itu.

Katakanlah, tersebar kasak-kusuk, jika Densus Tipikor moncer kinerjanya, bakal dibuat alasan untuk membubarkan KPK. Atau Densus diproyeksikan menangani semua kasus korupsi yang menjerat anggota Polri. Yang demikian tak boleh menjadi panglima dalam politik pembentukan Densus Tipikor. Kapolri perlu memberi jaminan bahwa kehendak politik Densus Tipikor secara eksternal tidak akan dipakai untuk ”menggebuk” lembaga pemberantasan korupsi lainnya. Dan secara internal tidak dimanfaatkan untuk menutupi borok korpsnya.

Seumpamanya jawaban terhadap tiga pertanyaan kelayakan di atas mengisi ceruk kelayakan lembaga pemberantasan korupsi, maka baiklah dilaksanakan niat membentuk Densus Tipikor tersebut. Akan tetapi, kalau bertolak belakang, maka tidak salah jika diurungkan. Perlulah selalu diingat, pusaran korupsi kadang kala sudah mulai muncul di perencanaan. Semoga niat pembentukan Densus Tipikor terhindar jauh dari pusaran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar