Ketika
Aku Tak Perlu Menjadi Kita
Iqbal Aji Daryono ; Bapak dua anak;
Bekerja sebagai sopir
di perusahaan logistik PEP Transport, Perth
|
DETIKNEWS,
24 Oktober
2017
Jason, penanggung jawab harian
di gudang PEP Transport tempat saya bekerja, tiba-tiba berteriak.
"Oiiii! Belmont driver! Come here!"
Sopir area Belmont, orang India
Punjabi yang tinggi besar dan saya tidak tahu namanya itu, menengok sambil
membuat isyarat tangan, "Kenapa? Kenapa aku? Apa salahku?"
Jason tak peduli. Teriakannya
jadi lebih keras lagi. Sepertinya ia sebal karena si sopir area Belmont terus
saja mengobrol, sementara sopir-sopir lain sudah asyik bekerja memasukkan
muatan ke kendaraan masing-masing.
Si sopir Belmont pun mendekat
ke arah Jason. Dari kejauhan saya mendengar mereka berdebat. Perdebatan itu
lantas disusul suara Aman alias Amandeep Singh, pemuda Punjabi baik hati
sahabat saya itu.
Aman terdengar memprotes Jason,
semacam, "Hei bagian ini pekerjaanmu, Jas! Ngapain kau suruh-suruh kami
ikut bantu? Pake marah-marah pula!"
Kalimat Aman itu jadi semacam
peluit panggilan. Sebab dalam hitungan detik, para sopir lain berjalan pelan
beramai-ramai mendekat ke arah pusat keributan.
Sialnya, yang saya lihat
ramai-ramai mendekat itu bukan semua sopir. Melainkan... cuma para sopir
Punjabi. Ada lima hingga tujuh orang. Gila.
Ini norak sekali. Yang ribut
cuma Jason dan sopir Belmont, lalu ditambah Aman. Tapi kenapa orang-orang
Punjab semua mendekat, dalam gesture melawan Jason? Apakah Jason mengucap
kalimat rasis yang menghina orang India? O, tidak, sama sekali tidak, kata
Onni kawan saya yang posisinya dekat dengan pusat kerumunan. Lalu kenapa?
"Ini yang akan terjadi
kalau orang India terlalu banyak di sini. Coba, sekali mereka mogok bersama,
mau jadi apa kita?" Ridwan alias Rudy, sopir sebelah saya yang asal
Afrika Selatan itu mulai menata teori konspirasi.
Untunglah, akhirnya
pertengkaran itu bisa didinginkan oleh beberapa kawan yang lain. Tapi suasana
sudah telanjur tak enak. Beberapa orang mulai berbisik-bisik negatif tentang
para sopir India. Sepotong dua potong kalimat berbau stereotip mulai muncul.
Saya sendiri tak ingin bersikap
rasis, dengan mengingat segala memori baik tentang kawan-kawan India saya
lainnya. Waktu saya masih menyetir truk dan bekerja di perusahaan Foxline,
bukannya tak pernah terjadi pertengkaran yang melibatkan sopir India Punjabi.
Namun toh nyatanya Punjabi lainnya tak ikut-ikutan. Mereka bisa menempatkan
diri dengan baik, tidak turut campur masalah orang meski ada kawan Punjabi
mereka yang terlibat.
Selebihnya, saya pun bersahabat
dengan banyak teman India, baik sesama sopir maupun para pelanggan jasa
kiriman kami. Kulwinder, Baljeet, Vishal, Gotham, dan juga Aman yang ikut ribut
tadi. Mereka saya anggap sahabat karena memang baik. Ramah, tidak sombong,
suka menolong, meski saya tidak cukup yakin apakah mereka juga gemar
menabung.
Semua itu jadi alasan kuat
untuk tidak perlu melihat ke-india-an para sopir penggeruduk Jason. Namun
yang saya cermati di situ adalah: kenapa geng di gudang kami itu terlalu
membabi buta dalam mengamalkan spirit solidaritas antara sesama mereka?
Padahal dengan gaya begitu, akibatnya bisa-bisa jauh lebih runyam, bukan?
Saya tidak tahu, seberapa mirip
karakter sosiologis orang-orang Punjab dengan masyarakat Indonesia. Sependek
pemahaman saya, Punjab daerah subur, dengan basis ekonomi utama di sektor
pertanian. Teman-teman saya dari Punjab yang bermigrasi ke Australia
rata-rata juga mengandalkan lahan pertanian mereka di kampung sebagai biaya
hidup maupun biaya sekolah di sini, sembari menunggu status visa permanen.
Masyarakat agraris demikian
selalu melahirkan budaya komunal yang kuat, gotong royong yang kental
antarsesama mereka, susah senang dibagi bersama. Mirip masyarakat pertanian
Indonesia dan turunan percabangannya. Makanya, kalau mau jujur, model-model
solidaritas ala mereka sebenarnya pemandangan lazim pula dalam dinamika
keseharian kita.
Guyub dan kompak memang baik.
Yang jadi masalah, dalam suasana paguyuban seperti itu, kita acap kali lepas
kontrol dalam mengaplikasikan jiwa korsa. Kontrol itu kendor karena kita lupa
bahwa realitas kehidupan sudah demikian kompleksnya, tak lagi persis sama
dengan situasi awal peletakan dasar-dasar masyarakat paguyuban pada zaman
nenek moyang kita.
Maka kita melihat di hari ini,
problem yang sejatinya hanya berlangsung antara dua orang tiba-tiba kita
perluas menjadi perkara milik kelompok yang jauh lebih besar. Persis yang
terjadi antara Jason dan sopir Belmont, yang agaknya secara tanpa sadar
disikapi sebagai masalah antara orang India melawan orang kulit putih
Australia.
Coba simak juga pola rutin yang
sekarang mengisi hari-hari kita. Dua ormas berkelahi, tapi karena yang satu
ormas sekuler sedangkan lawannya ormas Islam, maka tokoh ormas Islam
menyebut-nyebut: "Ormas XYZ sedang berhadapan dengan umat Islam."
Umat Islam? Lah kok tiba-tiba mengatasnamakan umat Islam? Jadi jutaan muslim
di Indonesia harus ikut bentrok dengan XYZ?
Contoh lain. Ada orang mengkritik
keras Presiden, tapi kritikan kepada Presiden Indonesia langsung dicap
sebagai ketidaksukaan kepada Indonesia. "Sana, angkat kaki saja dari
Indonesia kalau tak suka. Jangan meludahi sumur yang airnya kau timba!"
Semua itu adalah pola-pola
memperluas masalah jauh melebihi porsi yang semestinya, gara-gara jiwa korsa
yang meluap-luap. Padahal dengan menempatkan semangat paguyuban secara
semena-mena, kita akan selalu gagal melokalisasi masalah. Problem sosial yang
sebenarnya simpel, mendadak jadi berlipat lebih rumit, jauh melampaui akar
persoalan pada titik awalnya.
Tentu saja bukan berarti saya
menganggap sikap bela rasa antaranggota sebuah kelompok sebagai
ketidakwajaran lho ya. Jelas, itu wajar belaka. Contohnya saya sendiri. Meski
di kota ini saya bergaul baik dengan siapa saja, toh saya akui saya berkumpul
lebih mesra dengan sesama orang Jogja. Cara mengobrol kami jadi lebih enak,
nggak perlu kelelahan karena terus-menerus memaksa diri bicara pakai bahasa
Indonesia, bercandanya lebih nyambung, citarasa makanannya pun satu selera.
Saya ambil contoh lain yang
lebih maknyus, yakni soal agama. Dalam Islam, agama yang saya anut, memang
ada doktrin bahwa umat Islam itu satu tubuh. Jika ada satu bagian yang sakit,
maka bagian lain akan ikut sakit. Ini ajaran solidaritas keislaman yang
jelas, dan saya pun mengikutinya.
Nah, repotnya adalah bila
spirit yang sesungguhnya wajar tadi disalahtempatkan. Misalnya saat melihat
kasus-kasus konflik di tempat-tempat jauh. Karena kebetulan melibatkan
orang-orang beragama Islam, tak jarang umat Islam Indonesia sontak membela
mati-matian saudara-saudara seiman nun jauh di sana, tanpa memahami dulu
duduk perkara yang sesungguhnya, apakah berkaitan dengan agama ataukah tidak.
Saya yakin, solidaritas yang
diajarkan Nabi Muhammad tersebut ya terkait eksistensi keislaman. Artinya,
ketika ada seorang muslim dipukul oleh orang nonmuslim karena mereka berantem
rebutan lahan parkir, misalnya, tidak bisa serta merta kita membela yang
muslim dengan alasan melaksanakan pesan Nabi. Tapi selama ini bagaimana
praktiknya?
The idea of belonging. Entah apa
bahasa Jermannya, karena konsep itu diutak-utik oleh Johann Gottfried Herder,
filsuf Jerman murid Immanuel Kant. Kebutuhan
untuk merasa sebagai bagian dari kumpulan adalah kebutuhan yang setara dengan
makan-minum, begitu kata Herder. Nah,
mungkinkah itu yang terjadi pada kita? Ke-bu-tuh-an!
Tatkala kita sedang memperluas
masalah sampai-sampai kriwikan dadi
grojokan, air mancur jadi air
terjun, jangan-jangan sebenarnya motif kita bukan memetakan dan memahami
persoalan, apalagi memecahkannya. Melainkan semata karena kita diam-diam
merasa rapuh, tak berani menghadapi masalah seorang diri, butuh menunjukkan
eksistensi dan keperkasaan dengan cara menempel kepada kelompok yang lebih
besar, lebih kuat, dan cuma dengan cara itu kita lebih merasa
"ada". Begitu?
Aduhai, selemah itukah kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar