Rabu, 25 Oktober 2017

Ketika Aku Tak Perlu Menjadi Kita

Ketika Aku Tak Perlu Menjadi Kita
Iqbal Aji Daryono ;   Bapak dua anak;
Bekerja sebagai sopir di perusahaan logistik PEP Transport, Perth
                                                  DETIKNEWS, 24 Oktober 2017



                                                           
Jason, penanggung jawab harian di gudang PEP Transport tempat saya bekerja, tiba-tiba berteriak. "Oiiii! Belmont driver! Come here!"

Sopir area Belmont, orang India Punjabi yang tinggi besar dan saya tidak tahu namanya itu, menengok sambil membuat isyarat tangan, "Kenapa? Kenapa aku? Apa salahku?"

Jason tak peduli. Teriakannya jadi lebih keras lagi. Sepertinya ia sebal karena si sopir area Belmont terus saja mengobrol, sementara sopir-sopir lain sudah asyik bekerja memasukkan muatan ke kendaraan masing-masing.

Si sopir Belmont pun mendekat ke arah Jason. Dari kejauhan saya mendengar mereka berdebat. Perdebatan itu lantas disusul suara Aman alias Amandeep Singh, pemuda Punjabi baik hati sahabat saya itu.

Aman terdengar memprotes Jason, semacam, "Hei bagian ini pekerjaanmu, Jas! Ngapain kau suruh-suruh kami ikut bantu? Pake marah-marah pula!"

Kalimat Aman itu jadi semacam peluit panggilan. Sebab dalam hitungan detik, para sopir lain berjalan pelan beramai-ramai mendekat ke arah pusat keributan.

Sialnya, yang saya lihat ramai-ramai mendekat itu bukan semua sopir. Melainkan... cuma para sopir Punjabi. Ada lima hingga tujuh orang. Gila.

Ini norak sekali. Yang ribut cuma Jason dan sopir Belmont, lalu ditambah Aman. Tapi kenapa orang-orang Punjab semua mendekat, dalam gesture melawan Jason? Apakah Jason mengucap kalimat rasis yang menghina orang India? O, tidak, sama sekali tidak, kata Onni kawan saya yang posisinya dekat dengan pusat kerumunan. Lalu kenapa?

"Ini yang akan terjadi kalau orang India terlalu banyak di sini. Coba, sekali mereka mogok bersama, mau jadi apa kita?" Ridwan alias Rudy, sopir sebelah saya yang asal Afrika Selatan itu mulai menata teori konspirasi.

Untunglah, akhirnya pertengkaran itu bisa didinginkan oleh beberapa kawan yang lain. Tapi suasana sudah telanjur tak enak. Beberapa orang mulai berbisik-bisik negatif tentang para sopir India. Sepotong dua potong kalimat berbau stereotip mulai muncul.

Saya sendiri tak ingin bersikap rasis, dengan mengingat segala memori baik tentang kawan-kawan India saya lainnya. Waktu saya masih menyetir truk dan bekerja di perusahaan Foxline, bukannya tak pernah terjadi pertengkaran yang melibatkan sopir India Punjabi. Namun toh nyatanya Punjabi lainnya tak ikut-ikutan. Mereka bisa menempatkan diri dengan baik, tidak turut campur masalah orang meski ada kawan Punjabi mereka yang terlibat.

Selebihnya, saya pun bersahabat dengan banyak teman India, baik sesama sopir maupun para pelanggan jasa kiriman kami. Kulwinder, Baljeet, Vishal, Gotham, dan juga Aman yang ikut ribut tadi. Mereka saya anggap sahabat karena memang baik. Ramah, tidak sombong, suka menolong, meski saya tidak cukup yakin apakah mereka juga gemar menabung.

Semua itu jadi alasan kuat untuk tidak perlu melihat ke-india-an para sopir penggeruduk Jason. Namun yang saya cermati di situ adalah: kenapa geng di gudang kami itu terlalu membabi buta dalam mengamalkan spirit solidaritas antara sesama mereka? Padahal dengan gaya begitu, akibatnya bisa-bisa jauh lebih runyam, bukan?

Saya tidak tahu, seberapa mirip karakter sosiologis orang-orang Punjab dengan masyarakat Indonesia. Sependek pemahaman saya, Punjab daerah subur, dengan basis ekonomi utama di sektor pertanian. Teman-teman saya dari Punjab yang bermigrasi ke Australia rata-rata juga mengandalkan lahan pertanian mereka di kampung sebagai biaya hidup maupun biaya sekolah di sini, sembari menunggu status visa permanen.

Masyarakat agraris demikian selalu melahirkan budaya komunal yang kuat, gotong royong yang kental antarsesama mereka, susah senang dibagi bersama. Mirip masyarakat pertanian Indonesia dan turunan percabangannya. Makanya, kalau mau jujur, model-model solidaritas ala mereka sebenarnya pemandangan lazim pula dalam dinamika keseharian kita.

Guyub dan kompak memang baik. Yang jadi masalah, dalam suasana paguyuban seperti itu, kita acap kali lepas kontrol dalam mengaplikasikan jiwa korsa. Kontrol itu kendor karena kita lupa bahwa realitas kehidupan sudah demikian kompleksnya, tak lagi persis sama dengan situasi awal peletakan dasar-dasar masyarakat paguyuban pada zaman nenek moyang kita.

Maka kita melihat di hari ini, problem yang sejatinya hanya berlangsung antara dua orang tiba-tiba kita perluas menjadi perkara milik kelompok yang jauh lebih besar. Persis yang terjadi antara Jason dan sopir Belmont, yang agaknya secara tanpa sadar disikapi sebagai masalah antara orang India melawan orang kulit putih Australia.

Coba simak juga pola rutin yang sekarang mengisi hari-hari kita. Dua ormas berkelahi, tapi karena yang satu ormas sekuler sedangkan lawannya ormas Islam, maka tokoh ormas Islam menyebut-nyebut: "Ormas XYZ sedang berhadapan dengan umat Islam." Umat Islam? Lah kok tiba-tiba mengatasnamakan umat Islam? Jadi jutaan muslim di Indonesia harus ikut bentrok dengan XYZ?

Contoh lain. Ada orang mengkritik keras Presiden, tapi kritikan kepada Presiden Indonesia langsung dicap sebagai ketidaksukaan kepada Indonesia. "Sana, angkat kaki saja dari Indonesia kalau tak suka. Jangan meludahi sumur yang airnya kau timba!"

Semua itu adalah pola-pola memperluas masalah jauh melebihi porsi yang semestinya, gara-gara jiwa korsa yang meluap-luap. Padahal dengan menempatkan semangat paguyuban secara semena-mena, kita akan selalu gagal melokalisasi masalah. Problem sosial yang sebenarnya simpel, mendadak jadi berlipat lebih rumit, jauh melampaui akar persoalan pada titik awalnya.

Tentu saja bukan berarti saya menganggap sikap bela rasa antaranggota sebuah kelompok sebagai ketidakwajaran lho ya. Jelas, itu wajar belaka. Contohnya saya sendiri. Meski di kota ini saya bergaul baik dengan siapa saja, toh saya akui saya berkumpul lebih mesra dengan sesama orang Jogja. Cara mengobrol kami jadi lebih enak, nggak perlu kelelahan karena terus-menerus memaksa diri bicara pakai bahasa Indonesia, bercandanya lebih nyambung, citarasa makanannya pun satu selera.

Saya ambil contoh lain yang lebih maknyus, yakni soal agama. Dalam Islam, agama yang saya anut, memang ada doktrin bahwa umat Islam itu satu tubuh. Jika ada satu bagian yang sakit, maka bagian lain akan ikut sakit. Ini ajaran solidaritas keislaman yang jelas, dan saya pun mengikutinya.

Nah, repotnya adalah bila spirit yang sesungguhnya wajar tadi disalahtempatkan. Misalnya saat melihat kasus-kasus konflik di tempat-tempat jauh. Karena kebetulan melibatkan orang-orang beragama Islam, tak jarang umat Islam Indonesia sontak membela mati-matian saudara-saudara seiman nun jauh di sana, tanpa memahami dulu duduk perkara yang sesungguhnya, apakah berkaitan dengan agama ataukah tidak.

Saya yakin, solidaritas yang diajarkan Nabi Muhammad tersebut ya terkait eksistensi keislaman. Artinya, ketika ada seorang muslim dipukul oleh orang nonmuslim karena mereka berantem rebutan lahan parkir, misalnya, tidak bisa serta merta kita membela yang muslim dengan alasan melaksanakan pesan Nabi. Tapi selama ini bagaimana praktiknya?

The idea of belonging. Entah apa bahasa Jermannya, karena konsep itu diutak-utik oleh Johann Gottfried Herder, filsuf Jerman murid Immanuel Kant. Kebutuhan untuk merasa sebagai bagian dari kumpulan adalah kebutuhan yang setara dengan makan-minum, begitu kata Herder. Nah, mungkinkah itu yang terjadi pada kita? Ke-bu-tuh-an!

Tatkala kita sedang memperluas masalah sampai-sampai kriwikan dadi grojokan, air mancur jadi air terjun, jangan-jangan sebenarnya motif kita bukan memetakan dan memahami persoalan, apalagi memecahkannya. Melainkan semata karena kita diam-diam merasa rapuh, tak berani menghadapi masalah seorang diri, butuh menunjukkan eksistensi dan keperkasaan dengan cara menempel kepada kelompok yang lebih besar, lebih kuat, dan cuma dengan cara itu kita lebih merasa "ada". Begitu?

Aduhai, selemah itukah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar