Pribumi
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin
Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
22 Oktober
2017
Kata-kata tak pernah sampai
sendirian. Tak pernah polos, meski tak tampak berbekas. "Kata-kata mampu
merusak tanpa meninggalkan jejak," kata Paulo Coelho.
Pribumi contohnya. Ia kita
terima bersama sejarahnya, kaitan emotifnya, trauma dan mimpinya. Ia kita
tafsirkan dengan perasaan kita, di suatu masa, di suatu tempat. Orang yang
hanya menengok ke kamus- sembari berlagak netral atau kebal- sebenarnya
berpura-pura tak tahu makna tak pernah lahir dari otak. Ia berkembang dalam
hidup.
Pribumi, sebagaimana dipakai
dalam percaturan sosial-politik Indonesia, adalah kata yang "baru"-
dalam arti sudah tak sama lagi dengan kata pribumi dalam percakapan bahasa
Sunda di Desa Parongpong atau Sarongge. Ia lanjutan kata Belanda inlander: ia
produk kolonialisme abad ke-19 dan 20.
Lebih tepat: ia produk rasa
waswas dan mata rabun kolonialisme.
Di tanah jajahan yang
bermatahari terang tapi terik, dengan malaria dan hutan karet, dengan
perempuan sensual dan lelaki yang tak bisa ditebak, para kolonialis Belanda
mendirikan garis demarkasi. Mereka ingin melawan hasrat dan mengalahkan
cemas. Kata pribumi dibentuk untuk itu, seperti tanggul dan parit.
Seperti Kota Batavia.
Ada sebuah telaah sejarah
Marsely L. Kehoe ("Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch
Colonial City") yang menunjukkan bahwa bentuk kota ini menegaskan
segregasi yang diniatkan: penduduk dipisahkan dengan tembok kota dan
kanal-kanal yang tanpa jembatan, dalam sebuah wilayah yang dibangun dengan
perencanaan kota dan arsitektur Belanda.
Orang Belanda butuh itu, sejak
kota ini dibikin VOC sampai dengan zaman setelah VOC bangkrut dan digantikan
rezim "Hindia Belanda". Mereka tak nyaman dikelilingi lautan
manusia yang bukan-Belanda. Mereka mencoba mempertahankan identitas
"Belanda"- dan mempertontonkan dominasi mereka. Mereka bernafsu
hidup di koloni yang mendatangkan harta ini, tapi mereka tak hendak jadi
bagian tanah jajahan.
Maka, dengan dana, senjata,
administrasi, dan wacana, ditegakkanlah sebuah hierarki. Klasifikasi penduduk
pun disusun dalam tiga lapis. Di atas: golongan "Eropa". Di
bawahnya: golongan "Timur Asing". Paling bawah: inlander, pribumi.
Makna tiap kategori sebenarnya
rancu, bahkan kacau. Dalam kelompok "Eropa" orang Jepang bisa
masuk. Bagaimana pula dengan orang Melayu dari Filipina? "Pribumi"
atau bukan?
Pribumi: jika dilihat akar
katanya, ia mengacu ke tempat, bumi. Tapi kemudian kata itu dipaksakan
maknanya dengan campuran pengertian rasial. Bila di gerbang gedung societeit
dipasang maklumat, "Anjing dan Pribumi dilarang masuk", petugas
akan melarang pendatang dengan melihat ciri-ciri etnisnya, bukan dengan
menanyakan asal-usul "bumi"-nya.
Asal-usul geografis memang tak
segera tampak. Maka dalam sistem pemisahan sosial itu (Rancière akan
menyebutnya partage du sensible), dibuat aturan untuk menegaskan. Di bawah
rezim apartheid Afrika Selatan, orang harus membawa "kartu identitas
ras". Dalam apartheid Hindia Belanda, orang harus mengikuti aturan
berpakaian.
Pada 1904 terbit sebuah brosur
yang menentukan kostum penduduk koloni, menggarisbawahi klasifikasi tiga
lapisan yang berlaku. Penyusunnya penasihat perkara Islam pemerintah
kolonial, Sayid Uthman al-‘Alawi. Menurut brosur itu, pakaian orang Eropa jas
dan topi; pakaian orang Arab jubah, rompi, dan sorban; pakaian Melayu dan
Jawa kemeja atau kebaya, dengan "setangan" di kepala. Bertukar cara
berpakaian tak dibolehkan hukum- termasuk oleh hukum Islam.
Tak mengherankan bila pelukis
Raden Saleh, sekembali dari Eropa ke Batavia dan ingin tetap bisa pakai
pantalon, perlu mengirim surat ke Ratu Belanda minta izin. Dan permintaannya
ditolak.
Takut untuk tercampur, cemas
untuk menjaga identitas "Belanda"- hingga melahirkan klasifikasi
tiga golongan yang dasar-dasarnya tak jelas- adalah sikap yang merayap ke
mana-mana.
Novel Couperus yang terkenal,
Stille Kracht, menggambarkan dengan bagus keadaan itu. Keluarga Residen Van
Oudijck di Labuwangi, Jawa Timur, melihat ke sekitar dengan angkuh dan
bingung. Rasanya ada kekuatan tersembunyi, stille kracht, di kota kecil ini.
Ada misteri, klenik, orang Jawa, orang Indo, yang terus-menerus merisaukan.
Nyonya rumah, Eva, istri sang Residen, menjaga stabilitas jiwanya dengan
menjalankan kelaziman "Eropa" secara ketat: mengenakan pakaian
resmi saat makan malam adalah wajib, juga di Kota Labuwangi yang gerah.
Eva- ia kecemasan kolonialis.
Ia, yang menduga pianonya sumbang karena ada kecoak pada dawainya, tak tahu
benar apa yang hidup di luar rumah selain semut dan kecoak. Seperti
kolonialisme itu sendiri, ia rabun: merasa tahu tapi sebenarnya tak tahu
kehidupan negeri jajahan yang ajaib ini.
Kata pribumi yang membingungkan
tapi mereka bikin dan sebarkan itu adalah salah satu gejala rabun dan waswas
itu. Hanya kekuasaan mereka yang membuat kata itu, label itu, diterima dan
dilanjutkan bahkan oleh orang-orang jajahan sendiri- seakan-akan kebenaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar