Senin, 23 Oktober 2017

Pribumi

Pribumi
Goenawan Mohamad ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                    TEMPO.CO, 22 Oktober 2017



                                                           
Kata-kata tak pernah sampai sendirian. Tak pernah polos, meski tak tampak berbekas. "Kata-kata mampu merusak tanpa meninggalkan jejak," kata Paulo Coelho.

Pribumi contohnya. Ia kita terima bersama sejarahnya, kaitan emotifnya, trauma dan mimpinya. Ia kita tafsirkan dengan perasaan kita, di suatu masa, di suatu tempat. Orang yang hanya menengok ke kamus- sembari berlagak netral atau kebal- sebenarnya berpura-pura tak tahu makna tak pernah lahir dari otak. Ia berkembang dalam hidup.

Pribumi, sebagaimana dipakai dalam percaturan sosial-politik Indonesia, adalah kata yang "baru"- dalam arti sudah tak sama lagi dengan kata pribumi dalam percakapan bahasa Sunda di Desa Parongpong atau Sarongge. Ia lanjutan kata Belanda inlander: ia produk kolonialisme abad ke-19 dan 20.

Lebih tepat: ia produk rasa waswas dan mata rabun kolonialisme.
Di tanah jajahan yang bermatahari terang tapi terik, dengan malaria dan hutan karet, dengan perempuan sensual dan lelaki yang tak bisa ditebak, para kolonialis Belanda mendirikan garis demarkasi. Mereka ingin melawan hasrat dan mengalahkan cemas. Kata pribumi dibentuk untuk itu, seperti tanggul dan parit.

Seperti Kota Batavia.

Ada sebuah telaah sejarah Marsely L. Kehoe ("Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City") yang menunjukkan bahwa bentuk kota ini menegaskan segregasi yang diniatkan: penduduk dipisahkan dengan tembok kota dan kanal-kanal yang tanpa jembatan, dalam sebuah wilayah yang dibangun dengan perencanaan kota dan arsitektur Belanda.

Orang Belanda butuh itu, sejak kota ini dibikin VOC sampai dengan zaman setelah VOC bangkrut dan digantikan rezim "Hindia Belanda". Mereka tak nyaman dikelilingi lautan manusia yang bukan-Belanda. Mereka mencoba mempertahankan identitas "Belanda"- dan mempertontonkan dominasi mereka. Mereka bernafsu hidup di koloni yang mendatangkan harta ini, tapi mereka tak hendak jadi bagian tanah jajahan.

Maka, dengan dana, senjata, administrasi, dan wacana, ditegakkanlah sebuah hierarki. Klasifikasi penduduk pun disusun dalam tiga lapis. Di atas: golongan "Eropa". Di bawahnya: golongan "Timur Asing". Paling bawah: inlander, pribumi.

Makna tiap kategori sebenarnya rancu, bahkan kacau. Dalam kelompok "Eropa" orang Jepang bisa masuk. Bagaimana pula dengan orang Melayu dari Filipina? "Pribumi" atau bukan?

Pribumi: jika dilihat akar katanya, ia mengacu ke tempat, bumi. Tapi kemudian kata itu dipaksakan maknanya dengan campuran pengertian rasial. Bila di gerbang gedung societeit dipasang maklumat, "Anjing dan Pribumi dilarang masuk", petugas akan melarang pendatang dengan melihat ciri-ciri etnisnya, bukan dengan menanyakan asal-usul "bumi"-nya.

Asal-usul geografis memang tak segera tampak. Maka dalam sistem pemisahan sosial itu (Rancière akan menyebutnya partage du sensible), dibuat aturan untuk menegaskan. Di bawah rezim apartheid Afrika Selatan, orang harus membawa "kartu identitas ras". Dalam apartheid Hindia Belanda, orang harus mengikuti aturan berpakaian.

Pada 1904 terbit sebuah brosur yang menentukan kostum penduduk koloni, menggarisbawahi klasifikasi tiga lapisan yang berlaku. Penyusunnya penasihat perkara Islam pemerintah kolonial, Sayid Uthman al-‘Alawi. Menurut brosur itu, pakaian orang Eropa jas dan topi; pakaian orang Arab jubah, rompi, dan sorban; pakaian Melayu dan Jawa kemeja atau kebaya, dengan "setangan" di kepala. Bertukar cara berpakaian tak dibolehkan hukum- termasuk oleh hukum Islam.

Tak mengherankan bila pelukis Raden Saleh, sekembali dari Eropa ke Batavia dan ingin tetap bisa pakai pantalon, perlu mengirim surat ke Ratu Belanda minta izin. Dan permintaannya ditolak.

Takut untuk tercampur, cemas untuk menjaga identitas "Belanda"- hingga melahirkan klasifikasi tiga golongan yang dasar-dasarnya tak jelas- adalah sikap yang merayap ke mana-mana.

Novel Couperus yang terkenal, Stille Kracht, menggambarkan dengan bagus keadaan itu. Keluarga Residen Van Oudijck di Labuwangi, Jawa Timur, melihat ke sekitar dengan angkuh dan bingung. Rasanya ada kekuatan tersembunyi, stille kracht, di kota kecil ini. Ada misteri, klenik, orang Jawa, orang Indo, yang terus-menerus merisaukan. Nyonya rumah, Eva, istri sang Residen, menjaga stabilitas jiwanya dengan menjalankan kelaziman "Eropa" secara ketat: mengenakan pakaian resmi saat makan malam adalah wajib, juga di Kota Labuwangi yang gerah.

Eva- ia kecemasan kolonialis. Ia, yang menduga pianonya sumbang karena ada kecoak pada dawainya, tak tahu benar apa yang hidup di luar rumah selain semut dan kecoak. Seperti kolonialisme itu sendiri, ia rabun: merasa tahu tapi sebenarnya tak tahu kehidupan negeri jajahan yang ajaib ini.

Kata pribumi yang membingungkan tapi mereka bikin dan sebarkan itu adalah salah satu gejala rabun dan waswas itu. Hanya kekuasaan mereka yang membuat kata itu, label itu, diterima dan dilanjutkan bahkan oleh orang-orang jajahan sendiri- seakan-akan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar