Uji
HAM Perppu No 2/2017
Fadillah Agus ; Dosen pada Fakultas
Hukum Universitas Trisakti
dan Universitas Atma
Jaya Jakarta
|
KOMPAS,
25 Oktober
2017
Pembahasan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 di DPR bermuara pada pertanyaan
apakah UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tetap berlaku
atau berubah sesuai dengan rumusan Perppu No 2 Tahun 2017. Untuk itu, uji HAM
terhadap Perppu No 2 Tahun 2017 perlu dilakukan.
HAM diatur pada Bab XA UUD 1945 yang dijabarkan oleh UU No
39 Tahun 1999. Mereka yang tidak setuju dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 berpendapat beberapa HAM telah
dilanggar, antara lain hak berserikat dan berkumpul, hak berpendapat dan hak
atas keyakinan politik tertentu. Sebaliknya, mereka yang setuju dengan perppu
tersebut mengatakan bahwa dengan adanya kegentingan yang memaksa, pemerintah
berhak menerbitkan perppu dan oleh karenanya pembatasan beberapa HAM yang
terjadi karenanya adalah sah.
Berdasarkan hukum HAM, antara
lain diatur dalam Pasal 4 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), ada empat
syarat dalam melakukan pembatasan atau pengurangan HAM. Pertama, negara
sedang dalam keadaan darurat (public emergency). Kedua, keadaan darurat
tersebut dinyatakan secara resmi (officially proclaimed). Ketiga, HAM yang
dibatasi hanya HAM yang termasuk derogable rights (hak yang dapat dibatasi).
Keempat, pembatasan hanya dilakukan terhadap HAM yang benar-benar perlu
dibatasi berkaitan dengan situasi darurat yang dihadapi (principle of
necessity).
Dari empat syarat tersebut,
setidaknya dua syarat telah dipenuhi, yaitu tentang derogable rights dan
officially proclaimed. Hak berserikat
dan berkumpul, hak berpendapat serta berkeyakinan politik adalah HAM yang
boleh dibatasi (derogable rights), yakni ketika negara sedang dalam keadaan
darurat, sedangkan HAM yang non-derogable rights tidak boleh dibatasi
sekalipun negara dalam keadaan darurat bahkan juga dalam keadaan perang.
Non-derogable rights tersebut
menurut Pasal 28I UUD 1945 antara lain adalah hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak beragama, dan hak
untuk tidak diperbudak. Adapun syarat officially proclaimed telah terpenuhi
dengan adanya pernyataan resmi dari Menkopolhukam Wiranto pada waktu
penerbitan perppu yang kemudian dipertegas dengan disebutkannya perihal
kedaruratan/kegentingan yang memaksa pada bagian menimbang pada Perppu No 2
Tahun 2017.
Prinsip pembatasan HAM
Tidak semua keadaan darurat
merupakan keadaan yang membahayakan kehidupan dan eksistensi negara. Menurut
hukum nasional, ada dua versi keadaan darurat, yaitu menurut Perppu No 23
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan menurut Mahkamah Konstitusi. Dalam
konteks Perppu No 2 Tahun 2017, maka yang lebih tepat adalah keadaan darurat
sebagaimana yang dimaksud kegentingan yang memaksa oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, keadaan darurat (public emergency) menurut hukum HAM adalah situasi
di mana kehidupan dan eksistensi negara terancam atau dalam keadaan
bahaya (situation which threaten the
life and existence of the nation). Ancaman tersebut harus bersifat factual
dan imminent, artinya ancaman tersebut benar adanya dan sudah dekat atau
segera akan terjadi.
Oleh sebab itu, dalam forum
dengar pendapat tersebut DPR perlu mendapat keyakinan bahwa memang ada
organisasi kemasyarakatan tertentu yang asas dan kegiatannya bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 dan jika hal tersebut dibiarkan atau tidak
diatur, eksistensi politik dan integritas teritorial NKRI terancam. Apabila
kemudian ternyata tidak terbukti adanya public emergency, pemerintah telah
menyalahgunakan (abuse of power) kewenangan kedaruratan yang diberikan
kepadanya berdasarkan rezim hukum HAM.
Pemerintah berpendapat bahwa
Perppu No 2 Tahun 2017 diperlukan karena UU Ormas yang ada tidak memadai
pengaturannya dan dengan demikian pembatasan HAM di sini adalah sah.
Berkaitan dengan hal tersebut, prinsip necessity mengharuskan pembatasan HAM
dilakukan secara proporsional.
Artinya, jika pemerintah
berpendapat bahwa hak berserikat berkumpul, hak berpendapat dan berkeyakinan
politik perlu dibatasi karena adanya kegentingan yang memaksa, pembatasan itu
tak boleh berimplikasi terhadap HAM yang lain. Misalnya, pembatasan HAM itu
tidak boleh mencakup juga hak untuk
memilih dan dipilih, hak berpartisipasi dalam pemerintahan ataupun mencakup
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Jaring pengaman terhadap
kewenangan negara dalam membatasi HAM adalah prinsip legalitas dan rule of law yang melekat dalam ICCPR. Oleh
sebab itu, ICCPR memasang rambu bahwa pembatasan HAM tidak boleh dilakukan
secara diskriminatif berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, atau latar belakang sosial. Harus dicatat pula bahwa pembatasan HAM di
samping hanya dilakukan dalam keadaan khusus (exceptional), yaitu keadaan
darurat, juga bersifat sementara (temporarily). Dengan demikian, jika keadaan
sudah normal kembali, pembatasan HAM tersebut harus diakhiri.
Oleh sebab itu, akan menarik
mengikuti apakah uji HAM juga dilakukan terhadap Perppu No 2 Tahun 2017 dan
apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum HAM dalam hal ini sudah
terpenuhi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar