Rindu
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS,
15 Oktober
2017
Belakangan ini saya rindu sekali dengan mendiang ibu. Tak
tahu mengapa. Kerinduan yang sudah lama tak pernah muncul. Dan, di sela-sela
kerinduan itu terselip rasa menyesal mengapa mereka pergi di masa “muda”
mereka.
Waswas
Ibu meninggal pada usia 45 tahun. Buat saya itu terlalu
pagi untuk dipanggil pulang. Maka perasaan rindu kemudian melahirkan perasaan
waswas. Kok, rasanya hidup itu singkat sekali. Kemudian timbul pertanyaan,
apa yang sudah saya kerjakan selama tahun-tahun ini?
Di sebuah situasi yang jauh dari melankolis, saya tak
pernah waswas, bahkan cenderung tak peduli akan kematian yang bisa datang
kapan pun itu. Oleh karenanya, perbuatan yang menyakitkan banyak orang tetap
dilakukan.
Bahkan dalam situasi macam itu, saya bisa berpikir dengan
keyakinan yang penuh bahwa saya tak akan mati muda atau tak akan dipanggil
pulang dalam waktu dekat-dekat ini. Bahkan tak jarang saya berpikir, kalau
akan selalu tersedia waktu untuk meminta maaf kalau sudah waktunya akan
meninggal.
Saya sudah mendengar berjuta kali bahwa kematian menjemput
dalam waktu yang tak terduga, tetapi saya jarang mempersiapkannya selagi
hidup seperti sekarang ini. Saya suka lupa bahwa kematian itu dapat terjadi
secara tiba-tiba. Dalam tidur, misalnya, di mana ada kemungkinan saya tidak
memiliki kesempatan untuk memohon maaf.
Apalagi saya ini kalau sudah ngantuk-nya setengah mati, berdoa
sebelum tidur itu sebagai sebuah beban yang sungguh berat dan kemudian
memilih tidak melakukannya. Mengapa begitu? Karena saya selalu berpikir
seperti apa yang saya tuliskan di atas. Saya tak akan mati dalam waktu dekat
ini. Kalau tak bisa berdoa hari ini, selalu akan ada hari esok, bukan?
Kalaupun tak sempat memohon maaf, nantikan yang masih
hidup yang bernama saudara, sanak keluarga yang akan melakukan permohonan
maaf itu. Baik di iklan koran maupun saat orang datang melayat dengan kalimat
klise mohon dimaafkan atas segala kesalahan.
Jadi saya yang korupsi, mencuri, berselingkuh, membunuh,
tetapi orang lain yang memohon maaf. Kerinduan yang mendatangkan rasa waswas
mati muda, juga menghadirkan pertanyaan apakah sebetulnya tujuan hidup saya
di dunia ini?
Bagaimana kalau
Kalau misalkan saja saya hidup seperti ibu yang hanya 45
tahun saja, apakah tujuan saya selama tahun-tahun itu hanya menjadi ibu rumah
tangga yang menjaga agar keluarga utuh, berbahagia, dan suami serta anak-anak
tetap berada di jalan yang benar?
Atau katakan saya mendapat izin dari suami dan anak-anak
untuk melakukan pekerjaan tambahan sebagai pengusaha, misalnya, sehingga di
masa 45 tahun itu saya lumayan berguna. Berguna untuk orang rumah dan orang
di luar rumah.
Tetapi bagaimana kalau saya memilih menjadi tukang pukul,
mencuri, menjadi agen penyebar ujaran kebencian melalui media sosial, menjadi
pengedar narkoba, memiliki bisnis pelacuran dan atau sekaligus menjadi
kupu-kupu malam?
Bagaimana kalau saya menjalani hidup ini mau pendek atau
panjang dengan aktivitas yang biasa-biasa saja, hanya menjalani hidup apa
adanya? Bagaimana kalau saya memilih melakoni hidup dengan menggerutu dan
menjalaninya dengan pesimistis dan dengan kenegatifan yang sangat terhadap
nyaris setiap keadaan sehingga saya menjadi manusia yang terkenal pahit dalam
ucapan dan lakunya?
Bagaimana kalau kehidupan ini saya jalani dengan menjadi
influencer kesehatan atau apa pun itu, padahal saya tak menggunakan produk
yang saya promosikan dan berusaha memengaruhi orang untuk membeli? Jadi saya
menyambut kematian dengan cara menjadi penipu dalam bungkus yang cantik dan
mungkin mulia.
Ataukah selama masih bernapas dengan baik, saya akan
memilih mengisi kehidupan ini menjadi manusia yang keberadaannya selalu dirindukan
dan setelah meninggal pun kerinduan orang lain terhadap saya itu tak pernah
pupus.
Atau sebaliknya, selama saya masih bernapas, saya memilih
dengan sadar mengisi kehidupan ini agar dicaci maki banyak orang. Bahkan
ketika saya terbaring sakit sekalipun, orang mengharapkan bahkan mungkin
berdoa secara terang-terangan agar saya mati secepatnya.
Setelah rasa rindu yang mendatangkan waswas itu, saya jadi
berpikir, mungkin hidup panjang umur atau pendek umur bukanlah masalah
utamanya, tetapi bagaimana saya mengisi kehidupan yang panjang atau pendek
itu dengan kesadaran penuh bahwa kematian bukanlah akhir sebuah perjalanan
kehidupan, tetapi sebuah awal pertanggungjawaban kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar