Kita
Ini Siapa
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
30 Oktober
2017
Tentu saja kita, bangsa
Indonesia, selalu samar, bingung bahkan tidak tahu atau tak percaya pada
sejarah asal-muasalnya sendiri. Karena buku atau literatur yang mencoba
menjelaskan hal itu pun masih bersilang sengketa, berbasis datanya
masing-masing.
Sementara kita sendiri, sebagai
warga yang patuh pada negara, mengikuti dan mengakui panduan dan ajaran negara
tentang sejarah diri kita, setidaknya melalui pendidikan formal melalui buku
sejarah resmi pemerintah.
Apa yang kita baca dari buku
panduan sejarah negara itu, berulang-ulang sejak puluhan lalu, terdengar
sudah seperti fabel atau mitos. Sebagaimana tercantum dalam buku teks Sejarah
Indonesia untuk SMA, terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
tahun 2015, halaman 51, terceritalah bahwa ”Seiring dengan kedatangan
orang-orang dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia (2000-1500 SM) yang kemudian dikenal
sebagai nenek moyang kita itu, maka pelayaran dan perdagangan mulai dikenal”.
Sambil membawa cermin, orang
Batak, Sunda, Bugis, hingga Flores bisa mendatangi provinsi di barat daya
RRC, yang direbut dari kerajaan Thai pada awal abad Masehi itu, lalu
membanding-bandingkan diri. Semirip apa kita dengan ”nenek moyang” itu?
Sehebat apa ”nenek moyang” itu bisa melahirkan bangsa-bangsa yang kemudian
kita kenal sebagai penghuni Nusantara? Sebagai bangsa Indonesia yang Bhinneka
Tunggal Ika itu?
Lalu, bagaimana dengan banyak
data baru (ditemukan) yang ditebar banyak ahli belakangan ini? Bahwa penghuni
awal kepulauan ini, bangsa Australomelanesia yang berkulit gelap, telah
melaut sejauh 70 kilometer untuk mencapai dan menghuni Australia dan ke barat
menyeberangi Samudra Hindia, pada 3.000 SM (Belwood, 2000; Read, 2005). Atau
kitab kuno Geographiea Syntaxis karya Ptolomeus pada 161, menyebut kota
Baroussai (Barus) sebagai penghasil kapur wangi (kamper) yang membalsem raja
Mesir, Ramses II, pada 5.000 SM? Temuan fosil cengkeh di kota Terqa, Eufrat
Tengah, bertarikh 1.700 SM, juga fosil kambing di Pulau Timor bertarikh 1.500
SM, masa di mana kambing hanya hidup di Timur Tengah?
Bagaimana pula dengan temuan
batubatu purba di lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Goa Pasemah (Sumatera
Selatan) yang mengukir gambar seorang perwira perang mengendarai gajah
mengenakan sepatu bot dan gelang yang mirip jam tangan (Munandar, 2010)? Batu
itu bertarikh 3.000 SM, jauh lebih tua daripada budaya Dongson yang kita
anggap membawa peradaban baru (perunggu) ke negeri ini. Apalagi dikaitkan
dengan fosil-fosil manusia Liang Bua (Homo floresiensis alias hobbit) dari
masa 94.000-13.000 SM, manusia dari Manggarai, Flores, yang katai (pendek)
karena terkena wabah mikrocefali.
Tentu saja masih banyak temuan
baru lain yang tidak hanya menelurkan teori ”arus balik”, di mana justru
bangsa Nusantara yang melakukan migrasi ke utara, termasuk ke Vietnam hingga
China utara, tetapi juga sebuah konstatasi dari Michael D Coe dan S Houston
dalam bukunya The Maya (2004: 58), yang menyatakan peradaban Maya, ”...was
diffused from eastern Indonesia to Mesopotamia at a very early date”. Walau
sebagian menganggapnya sumir, data itu membuat kita semakin dalam bertanya.
Dari manakah kita sesungguhnya? Siapa kita, orang dan bangsa Indonesia ini
sebenarnya?
Asing di kita
Kita belum tahu bagaimana nanti
akhir kontroversi hobbit dari Liang Bua. Mungkin masyarakat saintifik dunia
sulit untuk jujur dan berani mengakui pendapat Prof T Jacob (alm) bahwa
hobbit itu adalah bagian dari Homo sapiens. Sebab, jika itu terjadi, fakta
baru tersebut bisa mementahkan seluruh riwayat lahirnya bangsa-bangsa di
dunia, yang tentu saja tidak hanya membuat seluruh civitas academica
blingsatan, bahkan jatuh pingsan.
Namun, tanpa perlu itu terjadi,
bukti-bukti arkeologis dan paleontologis sudah memperlihatkan bagaimana
sebuah peradaban cukup tinggi sebenarnya sudah terbangun di kepulauan ini,
jauh masa sebelum mitos-mitos yang didiseminasi oleh buku-buku sejarah
negara. Termasuk di antaranya kedatangan bangsa Arya-India ke Indonesia yang
sejak awal masehi dan menginisiasi berdirinya kerajaan-kerajaan (bergaya)
konsentris (Kontinental) pertama di beberapa Kepulauan Nusantara, sebelum
Kutai di Kalimantan atau Tarumanegara di Bogor.
Setidaknya hal itu memberi kita
pemahaman betapa (orang/bangsa) India, baik yang keling (dravidan) maupun
mestizo (campuran Arya), sudah ikut mendiami kepulauan ini selama 2.000 tahun
atau dua milenium. Masa yang jauh lebih tua ketimbang munculnya beberapa suku
bangsa di Indonesia, seperti Betawi bahkan Baduy. Bagaimana dengan karakter
egaliternya sebagai bangsa bahari, masyarakat kepulauan ini mengembangkan
pergaulan hingga percampuran ras (perkawinan silang) dengan bangsa(-bangsa)
asing itu, hingga melahirkan bentuk-bentuk campuran baru.
Sama halnya dengan orang/bangsa
China yang menurut Prof Liang Liji (2012) sudah melakukan hubungan tributer
dengan bangsa-bangsa di Nusantara sejak masa Dinasti Han Timur (25-220 M).
Profesor yang meneliti khusus catatan-catatan kerajaan, yang detail dan
ditradisikan sejak abad ke-3 SM, tentang hubungan China-Indonesia, mencatat
hubungan antara kerajaan China dan Ye Diao (Jawa) sudah terjadi sejak tahun
keenam zaman Yong Jiao (131 M). Ye Diao adalah kerajaan di Jawa Barat yang
dipimpin Raja Diao Bian (Devavawarman) yang tak lain adalah Raja
Salakanagara. Sebuah kerajaan yang juga disebut sebagai Kerajaan Argyr
(argentum=perak=salaka) oleh Ptolomeus.
Keberadaan atau domisili orang
China di negeri ini, sesuai catatan sejarah yang ada, memang hampir sama
panjang riwayatnya dengan orang India. Jauh sebelum Yi Jing (I-Tsing)
meninggalkan puluhan muridnya di Sriwijaya pada abad ke-7, sudah tercatat
pendeta Hui Ning yang menetap di Kerajaan He Ling (Kalingga) di abad ke-5
dengan ratunya Xi-Mo (Shima) yang dikagumi raja China karena kebijaksanaan
dan ketegasannya dalam memberi hukuman. Belum lagi Faxian (Fa Hien) yang
sudah melawat ke Jawa dan tinggal setengah tahun pada abad ke-4 dan tentu
meninggalkan bekasnya.
Kepribumian kita
Dari kenyataan historis dan
akademis itulah kita bisa membaca dan mengidentifikasi keberadaan kita
sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Menjawab pertanyaan yang substansial
hingga asal-asalan; apakah, misalnya, kita atau sebagian dari kita adalah
suku bangsa asli? Penduduk yang asli alias pribumi, sebagaimana
dikategorisasi oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda dulu? Atau lebih
dalam lagi, benarkah ada yang namanya ”asli” dan ”pribumi” itu?
Jawabannya jelas, dan tentu
saja afirmatif, berdasarkan data sedikit terurai di atas: tidak ada! Jawaban
seorang antropolog tentang hal itu bahwa yang asli itu adalah Homo wajakensis
dan Homo soloensis, mungkin kini ditambah Homo floresiensis, mungkin ada
benarnya. Namun, di mana mereka sekarang ini? Tinggal tulang tanpa pusara.
Yang kemudian bertahan dan ada
hingga hari ini adalah manusia-manusia lanjutan missing link dari
sapiens-sapiens yang punah itu yang menyerbu dari pelbagai penjuru. Selama
ribuan tahun pelbagai bangsa ini saling berinteraksi, menggunakan perangkat
budaya bahari (yang juga mereka ciptakan dan kembangkan) untuk menciptakan
komunitas, puak, tradisi, hingga suku-suku (bangsa) baru. Lewat karakter khas
bahari yang tumbuh di seantero kota pantai di ribuan pulau Nusantara, seperti
egaliter, terbuka, multikultur, interkultur, akseptan, santun, dan puluhan
sifat khas yang menjadi ciri bagi sebuah bandar yang maju dan kosmopolit.
Dari kehidupan kota yang
kosmopolit itulah pertukaran terjadi. Bukan hanya secara ekonomis, melainkan
juga secara sosial, politis, kultural, hingga spiritual. Pertukaran yang pada
akhirnya memberi pengaruh bahkan menciptakan semacam identitas atau jati diri
baru bagi para penghuninya. Identitas yang sesungguhnya tidak pernah
dipermanensi atau didefinisikan karena kehidupan banda yang kosmopolit selalu
baru, berubah dengan kedatangan orang-orang baru juga dengan identitasnya
yang baru (berbeda).
Kenyataan historis dan
pragmatis inilah yang kita jalani dan berani akui. Kita tidak dibentuk oleh
(hanya) diri kita sendiri, tetapi juga (ternyata) oleh orang lain (liyan)
juga. Ini fakta yang membuat kita bukannya justru jadi rendah diri, tetapi
rendah hati dan karenanya bahagia. Sebab, di dalam diri kita tersimpan orang
lain yang berbeda apa pun ciri dan sifatnya.
Maka, bineka adalah elemen-elemen
yang diikat oleh kebudayaan/peradaban (bahari) hingga jadi larutan tunggal
(ika), menjadi Indonesia. Inilah keniscayaan kita, orang dan bangsa
Indonesia.
Katakanlah saya adalah orang
Minang, Bugis, Manado, atau Sumba, bahkan China, India, Arab, yang telah
beranak-pinak, puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun, sesungguhnya adalah
larutan kultural itu: penduduk asli alias pribumi dari lokasi/wilayah yang
ditinggalinya. Mau namanya Ucok, Otong, Tole, atau Aseng, Ahmed, dan Adigung,
jika ia memilih posisi (domisili) di satu tempat—Bandung atau Jakarta,
misalnya—adalah pribumi Sunda dan Betawi. Semuanya berkontribusi dalam
pembentukan jati diri dan karakter dari komunitas di tempat ia menetap,
termasuk dalam adat, tradisi, agama, dan seterusnya.
Pepatah Minang yang menyatakan
”dimana bumi dipijak di situ langit dijunjuang” adalah moto generik yang
berlaku juga di suku-suku bangsa lain di negeri ini. Karena itu, hampir tidak
ada suku bangsa di kepulauan ini yang tidak memiliki diasporanya, dalam arti warganya
yang merantau untuk hidup, nyaman dan sukses di rantau, berbekal pada
filosofi atau tuntunan adab seperti orang Minang itu.
Maka, jangankan orang China dan
India, atau Arab dan Persia, yang begitu lama berdomisili di berbagai wilayah
negeri kita, bangsa-bangsa yang lebih kemudian datang akan mau tidak mau
mengikuti adat dan adab bahari di atas saat ia memutuskan untuk tinggal
bahkan menjadi warga di negeri ini. Dan, begitu ia terlibat dalam kancah
multikultural di tempat tinggalnya, berkontribusi ikhlas sebagaimana warga
dari pelbagai suku lainnya, kita pun wajar menyebutnya: pribumi, jika istilah
tetap hendak digunakan.
Jadi, tidak ada lagi tokoh yang
berteriak-teriak bahwa kotanya dibanjiri pendatang (yang notabene warga dari
suku bangsa lain di negerinya sendiri). Chauvinisme lokal macam itu, selain
sangat menggelikan, juga jauh dari realitas historisnya sendiri. Bisa jadi
yang berteriak itu sendiri ternyata juga pendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar