Selasa, 31 Oktober 2017

Kita Ini Siapa

Kita Ini Siapa
Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
                                                      KOMPAS, 30 Oktober 2017



                                                           
Tentu saja kita, bangsa Indonesia, selalu samar, bingung bahkan tidak tahu atau tak percaya pada sejarah asal-muasalnya sendiri. Karena buku atau literatur yang mencoba menjelaskan hal itu pun masih bersilang sengketa, berbasis datanya masing-masing.

Sementara kita sendiri, sebagai warga yang patuh pada negara, mengikuti dan mengakui panduan dan ajaran negara tentang sejarah diri kita, setidaknya melalui pendidikan formal melalui buku sejarah resmi pemerintah.

Apa yang kita baca dari buku panduan sejarah negara itu, berulang-ulang sejak puluhan lalu, terdengar sudah seperti fabel atau mitos. Sebagaimana tercantum dalam buku teks Sejarah Indonesia untuk SMA, terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2015, halaman 51, terceritalah bahwa ”Seiring dengan kedatangan orang-orang dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia (2000-1500 SM) yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka pelayaran dan perdagangan mulai dikenal”.

Sambil membawa cermin, orang Batak, Sunda, Bugis, hingga Flores bisa mendatangi provinsi di barat daya RRC, yang direbut dari kerajaan Thai pada awal abad Masehi itu, lalu membanding-bandingkan diri. Semirip apa kita dengan ”nenek moyang” itu? Sehebat apa ”nenek moyang” itu bisa melahirkan bangsa-bangsa yang kemudian kita kenal sebagai penghuni Nusantara? Sebagai bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika itu?

Lalu, bagaimana dengan banyak data baru (ditemukan) yang ditebar banyak ahli belakangan ini? Bahwa penghuni awal kepulauan ini, bangsa Australomelanesia yang berkulit gelap, telah melaut sejauh 70 kilometer untuk mencapai dan menghuni Australia dan ke barat menyeberangi Samudra Hindia, pada 3.000 SM (Belwood, 2000; Read, 2005). Atau kitab kuno Geographiea Syntaxis karya Ptolomeus pada 161, menyebut kota Baroussai (Barus) sebagai penghasil kapur wangi (kamper) yang membalsem raja Mesir, Ramses II, pada 5.000 SM? Temuan fosil cengkeh di kota Terqa, Eufrat Tengah, bertarikh 1.700 SM, juga fosil kambing di Pulau Timor bertarikh 1.500 SM, masa di mana kambing hanya hidup di Timur Tengah?

Bagaimana pula dengan temuan batubatu purba di lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Goa Pasemah (Sumatera Selatan) yang mengukir gambar seorang perwira perang mengendarai gajah mengenakan sepatu bot dan gelang yang mirip jam tangan (Munandar, 2010)? Batu itu bertarikh 3.000 SM, jauh lebih tua daripada budaya Dongson yang kita anggap membawa peradaban baru (perunggu) ke negeri ini. Apalagi dikaitkan dengan fosil-fosil manusia Liang Bua (Homo floresiensis alias hobbit) dari masa 94.000-13.000 SM, manusia dari Manggarai, Flores, yang katai (pendek) karena terkena wabah mikrocefali.

Tentu saja masih banyak temuan baru lain yang tidak hanya menelurkan teori ”arus balik”, di mana justru bangsa Nusantara yang melakukan migrasi ke utara, termasuk ke Vietnam hingga China utara, tetapi juga sebuah konstatasi dari Michael D Coe dan S Houston dalam bukunya The Maya (2004: 58), yang menyatakan peradaban Maya, ”...was diffused from eastern Indonesia to Mesopotamia at a very early date”. Walau sebagian menganggapnya sumir, data itu membuat kita semakin dalam bertanya. Dari manakah kita sesungguhnya? Siapa kita, orang dan bangsa Indonesia ini sebenarnya?

Asing di kita

Kita belum tahu bagaimana nanti akhir kontroversi hobbit dari Liang Bua. Mungkin masyarakat saintifik dunia sulit untuk jujur dan berani mengakui pendapat Prof T Jacob (alm) bahwa hobbit itu adalah bagian dari Homo sapiens. Sebab, jika itu terjadi, fakta baru tersebut bisa mementahkan seluruh riwayat lahirnya bangsa-bangsa di dunia, yang tentu saja tidak hanya membuat seluruh civitas academica blingsatan, bahkan jatuh pingsan.

Namun, tanpa perlu itu terjadi, bukti-bukti arkeologis dan paleontologis sudah memperlihatkan bagaimana sebuah peradaban cukup tinggi sebenarnya sudah terbangun di kepulauan ini, jauh masa sebelum mitos-mitos yang didiseminasi oleh buku-buku sejarah negara. Termasuk di antaranya kedatangan bangsa Arya-India ke Indonesia yang sejak awal masehi dan menginisiasi berdirinya kerajaan-kerajaan (bergaya) konsentris (Kontinental) pertama di beberapa Kepulauan Nusantara, sebelum Kutai di Kalimantan atau Tarumanegara di Bogor.

Setidaknya hal itu memberi kita pemahaman betapa (orang/bangsa) India, baik yang keling (dravidan) maupun mestizo (campuran Arya), sudah ikut mendiami kepulauan ini selama 2.000 tahun atau dua milenium. Masa yang jauh lebih tua ketimbang munculnya beberapa suku bangsa di Indonesia, seperti Betawi bahkan Baduy. Bagaimana dengan karakter egaliternya sebagai bangsa bahari, masyarakat kepulauan ini mengembangkan pergaulan hingga percampuran ras (perkawinan silang) dengan bangsa(-bangsa) asing itu, hingga melahirkan bentuk-bentuk campuran baru.

Sama halnya dengan orang/bangsa China yang menurut Prof Liang Liji (2012) sudah melakukan hubungan tributer dengan bangsa-bangsa di Nusantara sejak masa Dinasti Han Timur (25-220 M). Profesor yang meneliti khusus catatan-catatan kerajaan, yang detail dan ditradisikan sejak abad ke-3 SM, tentang hubungan China-Indonesia, mencatat hubungan antara kerajaan China dan Ye Diao (Jawa) sudah terjadi sejak tahun keenam zaman Yong Jiao (131 M). Ye Diao adalah kerajaan di Jawa Barat yang dipimpin Raja Diao Bian (Devavawarman) yang tak lain adalah Raja Salakanagara. Sebuah kerajaan yang juga disebut sebagai Kerajaan Argyr (argentum=perak=salaka) oleh Ptolomeus.

Keberadaan atau domisili orang China di negeri ini, sesuai catatan sejarah yang ada, memang hampir sama panjang riwayatnya dengan orang India. Jauh sebelum Yi Jing (I-Tsing) meninggalkan puluhan muridnya di Sriwijaya pada abad ke-7, sudah tercatat pendeta Hui Ning yang menetap di Kerajaan He Ling (Kalingga) di abad ke-5 dengan ratunya Xi-Mo (Shima) yang dikagumi raja China karena kebijaksanaan dan ketegasannya dalam memberi hukuman. Belum lagi Faxian (Fa Hien) yang sudah melawat ke Jawa dan tinggal setengah tahun pada abad ke-4 dan tentu meninggalkan bekasnya.

Kepribumian kita

Dari kenyataan historis dan akademis itulah kita bisa membaca dan mengidentifikasi keberadaan kita sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Menjawab pertanyaan yang substansial hingga asal-asalan; apakah, misalnya, kita atau sebagian dari kita adalah suku bangsa asli? Penduduk yang asli alias pribumi, sebagaimana dikategorisasi oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda dulu? Atau lebih dalam lagi, benarkah ada yang namanya ”asli” dan ”pribumi” itu?

Jawabannya jelas, dan tentu saja afirmatif, berdasarkan data sedikit terurai di atas: tidak ada! Jawaban seorang antropolog tentang hal itu bahwa yang asli itu adalah Homo wajakensis dan Homo soloensis, mungkin kini ditambah Homo floresiensis, mungkin ada benarnya. Namun, di mana mereka sekarang ini? Tinggal tulang tanpa pusara.

Yang kemudian bertahan dan ada hingga hari ini adalah manusia-manusia lanjutan missing link dari sapiens-sapiens yang punah itu yang menyerbu dari pelbagai penjuru. Selama ribuan tahun pelbagai bangsa ini saling berinteraksi, menggunakan perangkat budaya bahari (yang juga mereka ciptakan dan kembangkan) untuk menciptakan komunitas, puak, tradisi, hingga suku-suku (bangsa) baru. Lewat karakter khas bahari yang tumbuh di seantero kota pantai di ribuan pulau Nusantara, seperti egaliter, terbuka, multikultur, interkultur, akseptan, santun, dan puluhan sifat khas yang menjadi ciri bagi sebuah bandar yang maju dan kosmopolit.

Dari kehidupan kota yang kosmopolit itulah pertukaran terjadi. Bukan hanya secara ekonomis, melainkan juga secara sosial, politis, kultural, hingga spiritual. Pertukaran yang pada akhirnya memberi pengaruh bahkan menciptakan semacam identitas atau jati diri baru bagi para penghuninya. Identitas yang sesungguhnya tidak pernah dipermanensi atau didefinisikan karena kehidupan banda yang kosmopolit selalu baru, berubah dengan kedatangan orang-orang baru juga dengan identitasnya yang baru (berbeda).

Kenyataan historis dan pragmatis inilah yang kita jalani dan berani akui. Kita tidak dibentuk oleh (hanya) diri kita sendiri, tetapi juga (ternyata) oleh orang lain (liyan) juga. Ini fakta yang membuat kita bukannya justru jadi rendah diri, tetapi rendah hati dan karenanya bahagia. Sebab, di dalam diri kita tersimpan orang lain yang berbeda apa pun ciri dan sifatnya.

Maka, bineka adalah elemen-elemen yang diikat oleh kebudayaan/peradaban (bahari) hingga jadi larutan tunggal (ika), menjadi Indonesia. Inilah keniscayaan kita, orang dan bangsa Indonesia.

Katakanlah saya adalah orang Minang, Bugis, Manado, atau Sumba, bahkan China, India, Arab, yang telah beranak-pinak, puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun, sesungguhnya adalah larutan kultural itu: penduduk asli alias pribumi dari lokasi/wilayah yang ditinggalinya. Mau namanya Ucok, Otong, Tole, atau Aseng, Ahmed, dan Adigung, jika ia memilih posisi (domisili) di satu tempat—Bandung atau Jakarta, misalnya—adalah pribumi Sunda dan Betawi. Semuanya berkontribusi dalam pembentukan jati diri dan karakter dari komunitas di tempat ia menetap, termasuk dalam adat, tradisi, agama, dan seterusnya.

Pepatah Minang yang menyatakan ”dimana bumi dipijak di situ langit dijunjuang” adalah moto generik yang berlaku juga di suku-suku bangsa lain di negeri ini. Karena itu, hampir tidak ada suku bangsa di kepulauan ini yang tidak memiliki diasporanya, dalam arti warganya yang merantau untuk hidup, nyaman dan sukses di rantau, berbekal pada filosofi atau tuntunan adab seperti orang Minang itu.

Maka, jangankan orang China dan India, atau Arab dan Persia, yang begitu lama berdomisili di berbagai wilayah negeri kita, bangsa-bangsa yang lebih kemudian datang akan mau tidak mau mengikuti adat dan adab bahari di atas saat ia memutuskan untuk tinggal bahkan menjadi warga di negeri ini. Dan, begitu ia terlibat dalam kancah multikultural di tempat tinggalnya, berkontribusi ikhlas sebagaimana warga dari pelbagai suku lainnya, kita pun wajar menyebutnya: pribumi, jika istilah tetap hendak digunakan.

Jadi, tidak ada lagi tokoh yang berteriak-teriak bahwa kotanya dibanjiri pendatang (yang notabene warga dari suku bangsa lain di negerinya sendiri). Chauvinisme lokal macam itu, selain sangat menggelikan, juga jauh dari realitas historisnya sendiri. Bisa jadi yang berteriak itu sendiri ternyata juga pendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar