Memimpin
Ibu Kota Negara
Djohermansyah Djohan ; Dirjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri 2010-2014; Penjabat Gubernur Riau 2013-2014
|
KOMPAS,
17 Oktober
2017
Setelah pemilihan kepala daerah
dua putaran yang seru di jagat politik negeri ini April lalu, Senin (16/10),
akademisi Anies Rasyid Baswedan dan pebisnis Sandiaga Uno dilantik Presiden
Joko Widodo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.
Gubernur DKI berbeda dengan
gubernur di provinsiprovinsi lainnya di Indonesia. Tugasnya besar, berat, dan
kompleks. Jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dikelolanya
lebih dari Rp 70 triliun.
Aparatur yang dibawahkannya
sekitar 70.000 personel. Rakyat yang dipimpinnya mencapai 10 juta orang. Luas
wilayahnya sangat sempit dengan lahan terbatas. Otonominya satu tingkat,
hanya di provinsi. Terakhir yang tidak kalah pentingnya, Jakarta merupakan
pusat pemerintahan dan etalase Indonesia.
Peran gubernur
Perannya pun agak lain.
Setidaknya ada empat peran penting gubernur ibu kota negara yang diatur dalam
dua undang-undang, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Jakarta sebagai Ibu
Kota NKRI.
Pertama, gubernur DKI adalah
kepala daerah otonom provinsi. Dia pemimpin dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan DKI. Jalan rusak, kesehatan buruk,
pendidikan jelek, taman dan sungai kota kotor, trotoar amburadul, rumah susun
kacau, lalu lintas macet, banjir melanda, sinyal internet hilang timbul,
konservasi laut sejauh 12 mil (sekitar 19 kilometer) tidak terpelihara, aneka
pelayanan publik sulit, perizinan berbelit, dan sebagainya adalah tanggung
jawab gubernur.
Peran ini paling berat.
Gubernur Anies tidak bisa bekerja sendiri. Dia harus aktif menggerakkan
masyarakat, mengarahkan birokrasi, bermitra dengan DPRD, dan menggandeng
pihak swasta.
Kedua, gubernur DKI adalah
pemimpin dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum yang dilimpahkan
Presiden. Dia wajib menangani konflik sosial, memfasilitasi kehidupan
demokrasi, serta membina kerukunan antarsuku, umat beragama, ras, dan
golongan di Jakarta yang multikultural.
Selain itu, sesuai dengan
doktrin tampung-tantra, dia juga harus melaksanakan urusan pemerintahan yang
bukan kewenangan DKI dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal. Karena
itu, Gubernur Anies menjadi primus interpares atau ”kepala suku” dari semua
suku yang ada di Ibu Kota. Dia harus rajin menyambangi masyarakat, menampung
aspirasi, dan menjaga agar tidak ada urusan masyarakat yang tidak terurus.
Ketiga, gubernur DKI berperan
sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan koordinasi, pembinaan, dan
pengawasan di Ibu Kota. Akan tetapi, karena otonominya satu tingkat, gubernur
DKI tidak perlu susah payah membina dan mengawasi lima wali kota dan seorang
bupati administratif yang notabene sudah menjadi ”anak buahnya”.
Apabila kinerja mereka buruk,
bisa langsung dipecat. Hanya, dia tetap perlu menjalankan tugas koordinasi
dengan instansi vertikal di DKI, seperti kepolisian, komando daerah militer,
kejaksaan tinggi, perwakilan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
dan instansi pusat lainnya. Forumnya pun sudah ada, yang disebut Forum
Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Jadi, peran gubernur DKI
sebagai perpanjangan tangan pusat boleh dibilang yang paling gampang.
Kepiawaian komunikasi Anies tentu akan memudahkannya dalam menunaikan peran
ini. Apalagi, dia pernah dua tahun menjadi orang pusat sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan.
Keempat, sebagai lokasi dari
ibu kota negara tempat presiden dan menteri-menterinya berkantor, tempat
kedudukan perwakilan negara asing, dan barometer bagi 542 daerah otonom kita,
gubernur DKI punya kewajiban membuat provinsi ini aman, nyaman, tertib, kaya
inovasi, sejahtera, dan modern. Atau sesuai visi pasangan Anies-Sandi: ”Maju
kotanya, bahagia warganya”.
Oleh karena itu, dalam
mewujudkan visinya, gubernur DKI tidak cukup hanya dengan menggerakkan
partisipasi masyarakat, bermitra dengan swasta, tetapi juga perlu menjalin
relasi yang serasi dengan presiden beserta segenap pembantunya.
Dukungan kuat pemerintah pusat
lewat penempatan program strategis nasional di DKI, transfer kewenangan dan
uang yang lebih besar, misalnya, diperlukan Anies-Sandi untuk mempercepat
pembangunan Ibu Kota. Tidak hanya itu, kerja sama terpadu paling tidak dengan
provinsi tetangga, Banten dan Jawa Barat, untuk mengatasi masalah banjir,
kemacetan lalu lintas, kisruh tata ruang, dan pengendalian penduduk Ibu Kota
mutlak diperlukan.
Pengalaman Anies sebagai mantan
anak buah Presiden Joko Widodo, kedekatannya dengan Wakil Presiden Jusuf
Kalla, persahabatannya dengan
menteri-menteri kabinet dan petinggi birokrasi tentu bisa membantu. Jaringan
yang dimiliki Anies bisa melapangkan jalannya dalam memimpin Ibu Kota.
Hanya saja, ke depan,
percepatan pembangunan Ibu Kota yang sudah jauh tertinggal dari ibu kota-ibu
kota negara lain di dunia, seperti Tokyo, Beijing, Putrajaya, dan Canberra,
tidak cukup jika hanya mengandalkan kapasitas kepemimpinan gubernur tanpa
memperbaiki sistem pemdanya selaku ibu kota negara dengan status special
territory.
Penguatan gubernur
Karena itu, revisi UU Nomor 29
Tahun 2007 tentang Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI, yang telah berusia 10 tahun
dan tidak mampu lagi menjawab problem Ibu Kota, perlu segera dilakukan. Hal
terpenting adalah seyogianya pemerintah pusat rela menambah kewenangan
pemerintahan pemda DKI supaya lebih leluasa berkreasi dan berinovasi seperti
yang pernah dikerjakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Selain itu, dalam rangka
menguatkan otoritas gubernur DKI untuk menangani ibu kota negara secara
terintegrasi, perluasan wilayah dengan memasukkan beberapa kota dan kabupaten
di Provinsi Jawa Barat dan Banten yang signifikan memengaruhi Jakarta patut
dipertimbangkan. Terima kasih Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Gubernur
Djarot Saiful Hidayat. Selamat bertugas Gubernur Anies. Sejahteralah warga
Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar