Anjing
dan Pribumi Dilarang Masuk!
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Oktober 2017
TAHUN 1854 kewarganegaraan di
Hindia Belanda terbagi atas golongan Eropa, Timur Asing (Vreemde Osterlingen), dan inlander yang kemudian diterjemahkan
pribumi. Orang-orang Tionghoa termasuk golongan kedua. Bagaimana perlakuan
terhadap kaum pribumi terlihat dari papan yang dipasang di pintu masuk kolam
renang; 'Verboden voor honden en inlander' (Anjing dan pribumi dilarang
masuk). Peran sebagai perantara ekonomi yang diberikan kepada kelompok
Tionghoa (pemungut pajak, penjual opium, pengelompokan mereka di suatu tempat
yang kemudian disebut pecinan) menyebabkan mereka relatif kuat sebagai pelaku
ekonomi.
Kesenjangan tersebut kian
menguat pascakemerdekaan. Pada 1959 dikeluarkan PP No 10 Tahun 1959 yang
melarang orang-orang China warga negara asing untuk tinggal dan beraktivitas
di daerah di bawah tingkat dua. Jadi mereka harus pindah dari desa atau
kecamatan ke ibu kota kabupaten. Di dalam praktiknya aturan ini juga berlaku
bagi orang-orang Tionghoa yang sudah memilih menjadi warga negara Indonesia.
Itulah sebabnya kemudian sekitar 140 ribu orang harus dipulangkan ke RRT.
Kenyataannya hanya 40 ribu orang yang terangkut oleh kapal yang dikirim dari
Tiongkok. Selebihnya sebanyak 100 ribu orang tetap tinggal di Indonesia tanpa
kejelasan status kewarganegaraan. Kebijakan ini mempunyai dampak ekonomi dan
politik yang buruk. Para petani kehilangan pedagang perantara yang membeli
hasil bumi mereka dan menjualnya ke kota. Timbul sentimen rasial di tengah
masyarakat.
Pada masa Orde Baru etnik
Tionghoa ini mendapat perlakuan diskriminatif. Tuduhan keterlibatan RRT
membantu G-30-S menyebabkan dibekukan hubungan diplomatik dengan negara
tersebut. Agar terputus hubungan antara orang-orang Tionghoa yang di
Indonesia dan negara musuh (RRT), maka terhadap mereka diberlakukan kebijakan
ganti nama. Keharusan ganti nama adalah ganti identitas, dan ini sangat
menyakitkan bagi siapa pun yang mengalaminya. Tiga pilar budaya Tionghoa
(sekolah, pers, dan organisasi) dilarang. Diberlakukan semacam pembatasan
bagi orang-orang Tionghoa untuk bekerja di pemerintahan dan masuk perguruan
tinggi negeri. Secara umum disebut bahwa etnik Tionghoa ini nonpribumi,
sedangkan suku bangsa lain di Indonesia disebut pribumi. Sementara beberapa
konglomerat Tionghoa dirangkul bekerja sama oleh penguasa dan siap membantu
dana bila diperlukan. Ketika kesenjangan ekonomi semakin melebar, pengusaha
Tionghoa itu menduduki posisi teratas (walaupun ada juga orang Tionghoa yang
miskin di beberapa tempat).
Manipulasi sejarah yang
dilakukan Orde Baru tidak menyebutkan sumbangan budaya Tionghoa itu bagi
peradaban Indonesia, termasuk peran orang-orang Tionghoa dalam memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan. Ada empat orang Tionghoa yang ikut Sumpah
Pemuda pada 1928. Ketika membicarakan dasar negara dan UUD 1945 terdapat
empat tokoh Tionghoa pada sidang BPUPK (seorang pada PPKI). Orang Tionghoa
juga berjuang pasca-1945 seperti John Lie yang kemudian menjadi pahlawan
nasional pada 2009. Semuanya ini tidak ada dalam memori kolektif masyarakat
sehingga mereka hanya melihat komunitas Tionghoa ini sebagai 'binatang
ekonomi'. Tambahan lagi rezim Orde Baru dengan sengaja memakai istilah 'Cina'
bagi mereka dengan konotasi negatif.
Ketika terjadi kerusuhan pada
1998 saat pergantian kekuasaan, etnik Tionghoa menjadi sasaran kemarahan dan
target penjarahan serta pemerkosaan. Di berbagai tempat, toko-toko atau
bangunan yang ingin terhindar dari perampokan ditulisi 'Milik Pribumi'.
Dengan kata lain, itu bukan milik orang-orang nonpribumi. Pada saat krisis
1998 itu kata nonpribumi menjadi menakutkan bagi orang yang dilabeli istilah
tersebut karena itu berarti 'mereka boleh dijarah dan boleh diperkosa'.
Itulah sebabnya Presiden BJ Habibie kemudian secara bijaksana mengeluarkan
instruksi presiden yang melarang penggunaan istilah itu di kalangan
pemerintahan.
Setelah itu dikeluarkan
berbagai kebijakan yang positif terhadap etnik Tionghoa menyangkut
kewarganegaraan dan kependudukan. Konghucu diakui kembali sebagai agama resmi
dan Imlek dijadikan hari libur. Tidak ada persyaratan 'Indonesia asli' dalam
pencalonan presiden sehingga seorang Tionghoa pun dapat menduduki posisi
tersebut bila terpilih. Presiden SBY kembali menetapkan istilah 'Tionghoa'
untuk menyebut komunitas ini dan Tiongkok untuk menyebut negara yang beribu
kota di Beijing tersebut. Belakangan timbul persoalan terkait dengan
kebangkitan Tiongkok sebagai negara adidaya dan raksasa ekonomi yang juga
melakukan ekspansi ke Indonesia. Maka bermunculan di media sosial foto-foto
imigran dari Tiongkok yang berambut cepak (untuk mengesankan bahwa mereka
militer) dan jumlahnya 10 juta jiwa. Padahal ini tidak benar. Jumlah 10 juta
jiwa itu ialah target wisatawan dari Tiongkok.
Tentu ada saja pekerja asing
itu yang melanggar aturan keimigrasian, tetapi tidak berjumlah jutaan. Ada
kesengajaan untuk membaurkan sentimen anti-Cina yang terkait dengan negara
Tiongkok yang secara formal masih berideologi komunisme dengan pengusaha
Tionghoa yang ada di Indonesia. Maka diciptakanlah istilah 'asing-aseng'.
Seyogianya harus dibedakan antara Tiongkok sebagai sebuah negara besar dengan
komunitas Tionghoa yang menjadi bagian seutuhnya dari bangsa Indonesia. Kita
menghadapi negara Tiongkok seperti halnya kita berurusan dengan AS, Jerman,
Jepang, dan Korea Selatan. Kita bisa bekerja sama dengan mereka, bisa
bersaing dalam komoditas tertentu bahkan bisa bermusuhan bila meletus konflik
Laut China Selatan.
Di sisi lain, kita menyadari
bahwa etnik Tionghoa itu seperti suku bangsa lainnya di Tanah Air yang sudah
sama-sama berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kita juga
bersama-sama dalam mengisi kemerdekaan terutama dalam bidang perekonomian.
Munculnya kembali dikotomi pribumi versus nonpribumi, pribumi muslim versus
pribumi nonmuslim, ialah mimpi buruk yang merusak sendi-sendi kebangsaan yang
telah ditancapkan para pendahulu kita. Ada inpres dan ada andang-undang yang
melarang praktik diskriminasi. Pihak kepolisiaan seyogianya bertindak tegas
terhadap mereka yang melanggarnya, terhadap kelompok yang mengeluarkan
spanduk pribumi-nonpribumi selain ujaran kebencian di media sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar