Minggu, 22 Oktober 2017

Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk!

Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk!
Asvi Warman Adam ;   Sejarawan LIPI
                                            MEDIA INDONESIA, 19 Oktober 2017



                                                           
TAHUN 1854 kewarganegaraan di Hindia Belanda terbagi atas golongan Eropa, Timur Asing (Vreemde Osterlingen), dan inlander yang kemudian diterjemahkan pribumi. Orang-orang Tionghoa termasuk golongan kedua. Bagaimana perlakuan terhadap kaum pribumi terlihat dari papan yang dipasang di pintu masuk kolam renang; 'Verboden voor honden en inlander' (Anjing dan pribumi dilarang masuk). Peran sebagai perantara ekonomi yang diberikan kepada kelompok Tionghoa (pemungut pajak, penjual opium, pengelompokan mereka di suatu tempat yang kemudian disebut pecinan) menyebabkan mereka relatif kuat sebagai pelaku ekonomi.

Kesenjangan tersebut kian menguat pascakemerdekaan. Pada 1959 dikeluarkan PP No 10 Tahun 1959 yang melarang orang-orang China warga negara asing untuk tinggal dan beraktivitas di daerah di bawah tingkat dua. Jadi mereka harus pindah dari desa atau kecamatan ke ibu kota kabupaten. Di dalam praktiknya aturan ini juga berlaku bagi orang-orang Tionghoa yang sudah memilih menjadi warga negara Indonesia. Itulah sebabnya kemudian sekitar 140 ribu orang harus dipulangkan ke RRT. Kenyataannya hanya 40 ribu orang yang terangkut oleh kapal yang dikirim dari Tiongkok. Selebihnya sebanyak 100 ribu orang tetap tinggal di Indonesia tanpa kejelasan status kewarganegaraan. Kebijakan ini mempunyai dampak ekonomi dan politik yang buruk. Para petani kehilangan pedagang perantara yang membeli hasil bumi mereka dan menjualnya ke kota. Timbul sentimen rasial di tengah masyarakat.

Pada masa Orde Baru etnik Tionghoa ini mendapat perlakuan diskriminatif. Tuduhan keterlibatan RRT membantu G-30-S menyebabkan dibekukan hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Agar terputus hubungan antara orang-orang Tionghoa yang di Indonesia dan negara musuh (RRT), maka terhadap mereka diberlakukan kebijakan ganti nama. Keharusan ganti nama adalah ganti identitas, dan ini sangat menyakitkan bagi siapa pun yang mengalaminya. Tiga pilar budaya Tionghoa (sekolah, pers, dan organisasi) dilarang. Diberlakukan semacam pembatasan bagi orang-orang Tionghoa untuk bekerja di pemerintahan dan masuk perguruan tinggi negeri. Secara umum disebut bahwa etnik Tionghoa ini nonpribumi, sedangkan suku bangsa lain di Indonesia disebut pribumi. Sementara beberapa konglomerat Tionghoa dirangkul bekerja sama oleh penguasa dan siap membantu dana bila diperlukan. Ketika kesenjangan ekonomi semakin melebar, pengusaha Tionghoa itu menduduki posisi teratas (walaupun ada juga orang Tionghoa yang miskin di beberapa tempat).

Manipulasi sejarah yang dilakukan Orde Baru tidak menyebutkan sumbangan budaya Tionghoa itu bagi peradaban Indonesia, termasuk peran orang-orang Tionghoa dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ada empat orang Tionghoa yang ikut Sumpah Pemuda pada 1928. Ketika membicarakan dasar negara dan UUD 1945 terdapat empat tokoh Tionghoa pada sidang BPUPK (seorang pada PPKI). Orang Tionghoa juga berjuang pasca-1945 seperti John Lie yang kemudian menjadi pahlawan nasional pada 2009. Semuanya ini tidak ada dalam memori kolektif masyarakat sehingga mereka hanya melihat komunitas Tionghoa ini sebagai 'binatang ekonomi'. Tambahan lagi rezim Orde Baru dengan sengaja memakai istilah 'Cina' bagi mereka dengan konotasi negatif.

Ketika terjadi kerusuhan pada 1998 saat pergantian kekuasaan, etnik Tionghoa menjadi sasaran kemarahan dan target penjarahan serta pemerkosaan. Di berbagai tempat, toko-toko atau bangunan yang ingin terhindar dari perampokan ditulisi 'Milik Pribumi'. Dengan kata lain, itu bukan milik orang-orang nonpribumi. Pada saat krisis 1998 itu kata nonpribumi menjadi menakutkan bagi orang yang dilabeli istilah tersebut karena itu berarti 'mereka boleh dijarah dan boleh diperkosa'. Itulah sebabnya Presiden BJ Habibie kemudian secara bijaksana mengeluarkan instruksi presiden yang melarang penggunaan istilah itu di kalangan pemerintahan.

Setelah itu dikeluarkan berbagai kebijakan yang positif terhadap etnik Tionghoa menyangkut kewarganegaraan dan kependudukan. Konghucu diakui kembali sebagai agama resmi dan Imlek dijadikan hari libur. Tidak ada persyaratan 'Indonesia asli' dalam pencalonan presiden sehingga seorang Tionghoa pun dapat menduduki posisi tersebut bila terpilih. Presiden SBY kembali menetapkan istilah 'Tionghoa' untuk menyebut komunitas ini dan Tiongkok untuk menyebut negara yang beribu kota di Beijing tersebut. Belakangan timbul persoalan terkait dengan kebangkitan Tiongkok sebagai negara adidaya dan raksasa ekonomi yang juga melakukan ekspansi ke Indonesia. Maka bermunculan di media sosial foto-foto imigran dari Tiongkok yang berambut cepak (untuk mengesankan bahwa mereka militer) dan jumlahnya 10 juta jiwa. Padahal ini tidak benar. Jumlah 10 juta jiwa itu ialah target wisatawan dari Tiongkok.

Tentu ada saja pekerja asing itu yang melanggar aturan keimigrasian, tetapi tidak berjumlah jutaan. Ada kesengajaan untuk membaurkan sentimen anti-Cina yang terkait dengan negara Tiongkok yang secara formal masih berideologi komunisme dengan pengusaha Tionghoa yang ada di Indonesia. Maka diciptakanlah istilah 'asing-aseng'. Seyogianya harus dibedakan antara Tiongkok sebagai sebuah negara besar dengan komunitas Tionghoa yang menjadi bagian seutuhnya dari bangsa Indonesia. Kita menghadapi negara Tiongkok seperti halnya kita berurusan dengan AS, Jerman, Jepang, dan Korea Selatan. Kita bisa bekerja sama dengan mereka, bisa bersaing dalam komoditas tertentu bahkan bisa bermusuhan bila meletus konflik Laut China Selatan.

Di sisi lain, kita menyadari bahwa etnik Tionghoa itu seperti suku bangsa lainnya di Tanah Air yang sudah sama-sama berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kita juga bersama-sama dalam mengisi kemerdekaan terutama dalam bidang perekonomian. Munculnya kembali dikotomi pribumi versus nonpribumi, pribumi muslim versus pribumi nonmuslim, ialah mimpi buruk yang merusak sendi-sendi kebangsaan yang telah ditancapkan para pendahulu kita. Ada inpres dan ada andang-undang yang melarang praktik diskriminasi. Pihak kepolisiaan seyogianya bertindak tegas terhadap mereka yang melanggarnya, terhadap kelompok yang mengeluarkan spanduk pribumi-nonpribumi selain ujaran kebencian di media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar