Seorang
Non-Pribumi Menulis Kolom Ini
Stanley Widianto ; Wartawan, penulis lepas
|
TIRTO.ID,
21 Oktober
2017
Walau bijak, Saaman bin Paidjan
rela dihukum mati, meninggalkan ibunya yang kehilangan akal sehat saat
menunggu anak kesayangannya pulang. Begitupun keempat adiknya. Sambil
menunggu ajal, ia menulis surat untuk orang di rumah.
Kepada adiknya yang paling kecil,
Hasan, ia berpesan, “Engkaupun harus juga mencari penghasilan. Belajar
mencari penghasilan, maksudku. Dengan demikian, engkau akan meringankan beban
kakak-kakakmu. Kalau engkau mau menurutkan nasihatku ini, pergilah pada si
Giok. Sekalipun dia orang Tionghoa, dia manusia juga, dan dia orang baik. Di
antara orang Tionghoa, banyak terdapat orang yang baik dan murah hati,
Hasan.”
Saaman hidup dan mati dalam
novel Keluarga Gerilya karangan Pramoedya Ananta Toer, sembilan tahun sebelum
buku nonfiksinya Hoakiau di Indonesia terbit. Membaca Hoakiau—kritik
emosional Pramoedya terhadap Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 (peraturan
yang bertanggung jawab atas banyaknya darah orang Cina macam saya)—saya
merasa terharu.
Empati belum mati, baik dulu
dan sekarang. Baik di era Sukarno maupun era pasca-Ode Baru.
Namun, Senin lalu, hanya butuh
kurang dari dua detik dari pidato berdurasi 22 menit oleh Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan, saya meragukan kembali kesimpulan saya di atas.
Anies mengucapkan kata ‘pribumi,’
dengan cara politikus memakai kata itu di depan lautan massa. Lalu sejumput
kritik dilontarkan di media sosial: “Anies melanggar Inpers Nomor 26 Tahun
1998 atau UU Nomor 40 Tahun 2008”, “Anies menggunakan kembali isu
mayoritas-minoritas, pernyataan ini titipan untuk konstituen,” dst dst.
Saya menelusuri kembali
penelitian Herawati Sudoyo mengenai asal-usul genetika manusia Indonesia.
Saya membaca sejumlah artikel yang memuat omongan para pejabat publik, dari
Jusuf Kalla hingga Susi Pudjiastuti, menggunakan kata ‘pribumi.’
Saya teringat kembali jawaban
kesal saya terhadap pertanyaan teman, "Kenapa banyak orang Chinese yang
tajir, sih?”
Saya menjawab sambil menelan
ludah dan menyembunyikan taring: “Ya itu stereotip saja. Cuma taipan. Coba
aja lo ke Singkawang, liat banyak orang Cina susah.”
Saya teringat tuduhan orang,
bahwa "Pagar rumah kami tinggi", bahwa “setiap ada kerja bakti,
kami tidak mau ikut.”
Saya belum sempat mengecap luka
kolektif pada Mei 1998 (saya masih tiga tahun ketika ruko non-pri dijarah).
Saya khawatir potensi kekerasan yang disiram oleh bensin sentimen etnis
semacam itu meruyak kembali, ketika etnis dipakai sebagai senjata dan
kendaraan politik.
Tapi mari menelaah kata itu
dengan fakta-fakta kunci.
Pidato Anies dibacakan beberapa
jam setelah spanduk bertuliskan “Kebangkitan Pribumi Muslim” dibentangkan.
Setahun lalu, demo-demo di Jakarta membawa spanduk yang berbunyi “Ahok Sumber
Masalah GANYANG CINA!!”, yang menggiring Basuki Tjahaja Purnama, seorang
Cina, masuk bui karena ucapannya.
Identitas menjadi kunci di
sini. Anies berkata: “Yang lihat Belanda jarak dekat siapa? Orang Jakarta.
Coba kita di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda? Kita lihat di depan
mata enggak? Tapi yang lihat di depan mata itu kita yang di Jakarta.”
Menurutnya, identitas orang
Jakarta terancam. Dan sebagai orang Jakarta, bukankah seharusnya saya merasa
dibela oleh Anies?
Tetapi tidak.
“Kalau dari makna politik yang
aku pahami ya pribumi itu antonimnya non-pri dan yang namanya non-pri itu merujuk
ke keturunan Cina,” kata Evi Mariani, seorang jurnalis yang konsen pada
isu-isu urban.
Artinya, dari zaman Indische
Staatsregeling—ketika Cina adalah golongan kedua setelah Eropa dan bertugas
memungut pajak bumiputera—sampai hari ini, Anda bisa saja melihat orang
seperti saya sebagai non-pri karena percaturan politik dari masa pra- sampai
pasca-kemerdekaan.
Saya kembali memeriksa nurani
Pramoedya—siapa tahu legaan.
Bagi para pembentang spanduk,
Pramoedya adalah pribumi. Memang dia adalah pribumi yang sudah bolak-balik
penjara. Kemanusiaan Pram tidak tumpul. Ada satu bagian dari Hoakiau yang
menghentak saya:
“Anti-Tionghoa dikembangkan
secara sistematik oleh golongan penguasa, dan kemudian menjalar ke golongan
borjuasi, yaitu golongan modal non-Tionghoa, kemudian diambil oper oleh
golongan politik, yang menganggap anti-Tionghoa sebagai perasaan umum dan
menggunakannya sebagai senjata atau landasan kegiatannya untuk mendapatkan
simpati dari sekelompok orang yang disangkanya rakyat, tetapi terutama sekali
untuk menyelamatkan dan memperbesar modal dari golongannya sendiri."
Pram hanya membubuhkan satu
titik pada satu paragraf itu.
Kata-kata ini keluar kurang
dari sepuluh tahun sebelum Soeharto menutup sekolah-sekolah Cina, melarang
keluarga-keluarga Cina merayakan Imlek.
Belum lagi beberapa ratus tahun
sebelumnya ketika pembunuhan massal Chinezenmoord pada 1740 atau Medan pada
1966 ketika kewarganegaraan orang Tionghoa kembali dibuat semu.
Selanjutnya adalah Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kode ‘0’ di KTP. Pungutan liar. Taipan
menjadi wajah hoakiau di Indonesia, walau tidak semua hoakiau diberi
keleluasaan melebarkan sayap bisnis seharga uang kampanye politik. Asing,
non-pri, asing, non-pri.
Yang belum banyak diketahui
publik adalah terminologi yang digunakan rezim untuk melandasi
kebijakan-kebijakan ini. “Masalah ini adalah ‘Masalah Cina’.” Kira-kira itu
yang diucapkan para pejabat zaman Orba.
Rezim belum sekhawatir itu
untuk mengamplas ketajaman kata “Cina” dengan lema “Tionghoa”. Sekitar 1967
sampai 1998, stereotip “tajir”, “tikus”, “pelit” muncul. Diskursus mengenai
berbaur—soal siapa dulu yang harusnya memulai—menjadi kabur. Ketika saya
bertanya kepada ayah saya suatu hari, ia juga tidak tahu, padahal ia adalah
orang terbijak pertama yang saya kenal.
Dalam realitas di sekitar saya,
satu hal yang diwariskan dekade-dekade sial itu adalah etnisitas Cina sebagai
senjata politik laten, yang selalu bisa diungkit setiap cuaca sedang butuh
badai. Kalau Tionghoa di mata Pramoedya adalah “orang-orang Indonesia juga”,
karena politik, ia menjadi “orang asing yang tidak asing”.
Atau aseng.
Tiga puluh delapan tahun setelah
Pram, Ariel Heryanto berseloroh: “Kaum nonpribumi memang tidak ada. Yang ada,
sejumlah individu warga negara yang secara sepihak dinonpribumikan.”
‘Dinonpribumikan” adalah kata
yang sarat makna sejarah, dan salah satunya "dibuat sebagai objek
dikambinghitamkan" untuk setiap krisis.
Anies membuat saya awas—atau
kembali awas, tepatnya. Barangkali memang bukan orang macam saya yang Anies
maksud. Tapi tidak semua masyarakat Indonesia memiliki gelar doktor dari
Northern Illinois University, bukan? Doktor yang kini menjadi pemimpin
Jakarta.
Anies menyebut bahwa warisan
kolonialisme masih terlihat di jalanan Jakarta. Anies juga menyebut “Jakarta
adalah melting pot.” Ia juga mengucapkan di dalam satu paragraf yang sama:
“Di kota ini interaksi adalah bagian dari sejarahnya.”
Anehnya, bila Jakarta adalah
kota di Indonesia yang menjadi perlintasan sekaligus pertemuan antar-etnis,
antara beragam warga negara dan sebagainya, mengapa Anies harus menyebut
"pribumi", yang justru membunuh logikanya soal "melting pot"?
Beribu kata telah terbuang
untuk menjelaskan sejarah pembantaian dan diskriminasi anti-Cina. Sejarah
harus dilupakan, maka saya harus juga lupa.
“Oh, banyak orang Cina di
pemerintahan, sudah membaik, kok.”
OK. Saya percaya. Saya pribadi
berani melupakan, tapi giliran Anda untuk berhenti mengingatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar