Isu
Pribumi Vs Al Maidah 51
Hersubeno Arief ; Jurnalis Senior; Mantan Wartawan Republika
|
REPUBLIKA,
18 Oktober
2017
Penggunaan kosa kata pribumi
oleh Gubernur DKI Anies Baswedan, bagi para veteran pendukung Ahok adalah
durian runtuh. Seperti bunyi pepatah
“pucuk dicita, ulam tiba.” Anies
seolah memberi amunisi bagi para penentangnya. Baru dilantik, Anies langsung
membuat blunder. Benarkah begitu?
Tidak perlu menunggu waktu terlalu
lama, sejumlah orang yang mengaku
mewakili Banteng Muda Indonesia (BMI)
mendatangi Polda Metro Jaya. Salah satu diantaranya adalah Ronny
Talapessy yang disebut sejumlah media
sebagai mantan tim kuasa hukum Ahok
dalam kasus penistaan agama c/q Al Maidah
51.
Jalur hukum/pidana adalah skenario keempat dalam sebuah strategi besar menjatuhkan Anies-Sandi di tengah
jalan. Dua skenario besar lainnya
sudah berjalan.
Pertama, mengambilalih peran
dan kewenangan Pemprov DKI pada Reklamasi. Kedua, menelikung Anies-Sandi
secara internal dengan menempatkan ratusan pejabat pada pos-pos penting di Pemda DKI. Sementara skenario ketiga,
menggoyang dan memberi tekanan politik melalui DPRD, masih menunggu momentum dan kalkulasi
politik yang tepat. (Baca: Skenario Menjatuhkan Anies-Sandi di Tengah Jalan)
Inti dari skenario keempat
adalah strategi membuat Anies-Sandi sibuk dengan berbagai kasus, dan kemudian
mem-blow up-nya melalui media dan media sosial. Soal benar tidaknya kasus tersebut, tidak terlalu penting.
Yang penting Anies-Sandi tidak
bisa fokus menjalankan tugasnya, karena harus bolak-balik menjalani
pemeriksaan. Syukur-syukur bila mereka mendapatkan kasus besar yang cukup
serius dan bisa dibawa ke pengadilan.
Maka tinggal mendorong Anies atau Sandi untuk sementara non aktif, atau
mengundurkan diri dengan dalih harus fokus menghadapi kasus hukumnya.
Kalau toh Anies tidak mundur,
maka setidaknya dia tidak sempat menjalankan program kerjanya dengan baik.
Pada saat itulah kemudian muncul senjata pamungkas berupa survei, tentang
rendahnya kepuasan publik atas kinerja Anies-Sandi.
Lembaga-lembaga survei ini
kemudian akan membandingkan tingkat kepuasan publik atas kinerja Jokowi dan
Ahok yang katanya cukup tinggi. Tinggal digoreng di media dan medsos, maka
sempurnalah semuanya. Anies-Sandi adalah pasangan gubernur dan wakil gubernur
yang tidak punya kemampuan bekerja.
Umpan terobosan Anies
Bagi Ahoker, isu pribumi
merupakan pintu masuk yang tepat. Karena itu mereka bergerak cepat, tidak
menunggu waktu terlalu lama. Isu ini digoreng di media massa, terutama media
online, dan kemudian menjadi gegap gempita di medsos.
Mereka membayangkan, kasus ini
bobotnya sama dengan Al Maidah 51 yang menjatuhkan Ahok dan membawanya ke
penjara. Dasarnya cukup jelas. Penggunaan kosa kata pribumi secara resmi dilarang digunakan dalam
proses kenegaraan, sesuai dengan
Inpres No 26 Tahun 1998 saat presiden dijabat oleh BJ Habibie.
Sebagai pejabat negara Anies
dinilai sudah melanggar Inpres. Dan yang lebih berat, Anies
telah menyampaikan ujaran kebencian, sebagaimana Ahok dengan ucapannya
soal surat Al Maidah 51.
Karena terlalu
bersemangat, mereka lupa pada detil fakta. Anies menggunakan
kosa kata pribumi dalam konteks kolonial, bukan kekinian. Sejumlah media yang
tadinya sempat menggunakan kata pribumi dalam judul beritanya, kemudian
segera meralatnya.
Inilah kecerdasan Anies dalam
mengemas pesan politik. Dalam
sepakbola, apa yang dilakukan Anies adalah sebuah umpan terobosan ke jantung
pertahanan lawan. Ahokers yang merasa posisi Anies sudah off side, langsung ramai-ramai melaporkan kepada wasit.
Harapannya Anies dihukum, karena melakukan pelanggaran.
Ternyata tak ada yang salah
dengan umpan terobosan Anies. Bola panas “pribumi” itu bergerak liar di depan gawang lawan,
dan berpotensi menjadi sebuah gol. Semakin digoreng, maka akan semakin
menguntungkan posisi Anies.
Ada beberapa target dari umpan
terobosan Anies. Pertama, ini
merupakan serangan balik terhadap Menko Perekonomian Luhut Panjaitan yang
pasang badan pada proyek Reklamasi.
Kedua, memperbesar basis dukungan
publik. Ketiga, kapitalisasi modal menghadapi Pilpres 2019.
Penghentian Reklamasi adalah
salah satu janji kampanye terbesar dari Anies-Sandi. Kegagalan memenuhi janji
kampanye akan menjadi titik lemah pemerintahannya, melemahkan basis dukungan
publik. Figur utama yang menjadi penghambat Anies-Sandi memenuhi janjinya
adalah Luhut.
Dengan menggunakan kosa kata
pribumi, maka Anies membuat Luhut harus berhadap-hadapan langsung dengan
mayoritas masyarakat yang merasa
terpinggirkan. Reklamasi dipersepsikan sebagai sebuah simbol kelompok taipan
rakus. Mereka inilah yang dibela Luhut. Sebaliknya kelompok nelayan yang
menjadi korban reklamasi adalah simbol
rakyat Indonesia yang terpinggirkan.
Kosa kata pribumi juga membuat
persepsi publik terhadap anies berubah. Jika sebelumnya selalu dipersepsikan
sebagai gubernur representasi umat Islam, maka Anies telah menggeser basis
dukungannya menjadi lebih luas.
Pribumi tidak hanya mengacu kepada mereka yang beragama Islam—termasuk keturunan Arab dan
Cina-- tetapi juga etnis lokal di
seluruh Indonesia. Dengan begitu Anies mulai merangkul kelompok-kelompok di
luar Islam, dan menjadi solidarity maker.
Bagi Jokowi posisi ini sungguh
tidak menguntungkan. Bagaimanapun publik melihat Luhut adalah representasi
Jokowi. Pemihakan Luhut kepada
kelompok taipan pengembang, bisa menjadi
isu politik yang sangat
merugikan.
Jokowi harus berani memilih.
Mempertahankan dukungan investor politik, atau basis konstituen? Dalam kontestasi pilpres langsung, peran para taipan
yang bertindak sebagai penyandang
dana, sangat penting dalam
menggerakkan mesin kampanye. Sebaliknya basis konstituen juga sangat penting
, bahkan lebih penting karena merekalah pemegang hak suara. Apalagi selama
ini partai pendukung Jokowi selalu mengklaim sebagai partai wong cilik.
Posisi ini barangkali yang
menjelaskan mengapa dalam beberapa hari terakhir sikap Luhut tampak mulai
mengendur soal Reklamasi. Sejumlah media mengutip Luhut mempersilahkan jika Anies
ingin menghentikan Reklamasi, asal sesuai aturan. Sikap ini sangat jauh berbeda dengan
berbagai pernyataan Luhut yang seolah tidak ada kompromi dan memastikan
Reklamasi jalan terus.
Di tengah keterbatasan pilihan
figur yang hanya berputar pada dua nama :
Jokowi dan Prabowo, publik tengah mencari-cari figur altenatif. Pidato
Anies -- yang spektrumnya sesungguhnya lebih luas dari hanya sekedar soal
pribumi -- dapat diartikan
sebagai isyarat bahwa dia sanggup dan
mampu mengemban tugas yang lebih besar.
Pidato Anies, bagi yang memahami, mencerna, dan menelaah
secara dalam, adalah pidato pelantikan gubernur rasa capres. Mengambil analogi dalam permainan
sepakbola, sebagai play maker, Anies
berhasil mengubah permainan. Ketika lawan
keasyikan menekan, dia melakukan serangan balik dengan sangat cepat.
Apakah serangan balik Anies
akan berbuah menjadi gol? Mari kita nikmati jalannya pertandingan. Ini baru
menit-menit awal, namun pertandingan sudah berlangsung dalam tempo tinggi.
Pasti akan sangat menarik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar