Perekonomian
Jokowi Sesudah Tiga Tahun
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM; Pengajar BI Institute
|
KOMPAS,
30 Oktober
2017
Pencapaian paling signifikan
dari pemerintahan Presiden Joko Widodo selama tiga tahun pertama
pemerintahannya adalah antusiasme dalam membangun infrastruktur. Anggaran
infrastruktur di APBN kini mencapai Rp 400 triliun setahun. Sebagai
perbandingan, subsidi energi tiga tahun silam mencapai Rp 350 triliun per
tahun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 250 triliun dan subsidi BBM untuk
membangkitkan listrik Rp 100 triliun.
Subsidi energi bisa dimaknai
sebagai upaya untuk memindahkan beban dari masyarakat kepada anggaran
pemerintah dengan harapan agar daya beli masyarakat tidak turun tergerus
kenaikan harga BBM. Namun, dana senilai Rp 350 triliun tersebut habis
dibelanjakan hanya dalam setahun, kemudian tidak ada bekasnya lagi.
Sementara itu, membelanjakan
anggaran infrastruktur Rp 400 triliun merupakan investasi jangka panjang yang
hasilnya nanti berupa konektivitas, penurunan biaya logistik atau distribusi
barang. Hal ini akan menaikkan efisiensi yang direpresentasikan dengan
penurunan ICOR (incremental capital-output ratio). Secara alamiah, ICOR di
negara-negara maju cenderung meningkat karena mereka mengalami fenomena
flying geese, yakni relokasi industri dari negara maju ke negara-negara
berkembang yang lebih efisien.
Laporan Standard Chartered
(Escaping the Productivity Slump, 2016) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk
negara yang berkinerja baik untuk ICOR, bersama Filipina, India, Malaysia,
Singapura, Hongkong, dan Nigeria di Afrika. Sementara China akhir-akhir ini
ICOR-nya justru meningkat.
Dalam beberapa tahun ke depan, saya
yakin kita akan mulai memanen investasi di bidang infrastruktur. Pada titik
sekarang, MRT di Jakarta belum selesai, jalan tol Jawa belum tersambung
total, banyak bandara dan pelabuhan strategis juga belum selesai
pembangunannya. Inilah salah satu alasan kenapa perekonomian Indonesia
seperti ”terjebak” di level pertumbuhan 5 persen saja, belum bisa lebih.
Saya tidak sependapat dengan
asumsi jebakan normal baru bahwa Indonesia hanya bisa tumbuh 5 persen. Jika
pembangunan infrastruktur tersebut diselesaikan, saya yakin pertumbuhan
ekonomi bisa dihela melebihi 5 persen. Yang diperlukan saat ini adalah terus
fokus melanjutkan pembangunan infrastruktur, sambil menanti dampaknya berupa
pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dalam beberapa tahun ke depan. Semua itu
harus menempuh beberapa tahapan, tidak pernah ada hasil yang bersifat instan.
Deregulasi
Andalan Presiden Jokowi
sebenarnya bukan cuma itu. Di sektor riil, sudah dirilis 16 kebijakan
deregulasi (relaksasi) di semua sektor riil, tetapi belum ada hasil yang
signifikan mengangkat gairah perekonomian. Barangkali yang paling konkret
menghasilkan hanya deregulasi di sektor pariwisata tatkala pemerintah
meniadakan syarat visa kunjungan terhadap 160 negara, seperti yang dilakukan
Malaysia. Hasilnya, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan wisatawan
mancanegara (wisman) yang tertinggi di Asia Tenggara (10,7 persen).
Mengapa banyak paket deregulasi
tersebut seperti menepuk angin? Ada dua kemungkinan. Pertama, lahirnya paket
deregulasi tidak didukung momentum yang memungkinkan para pelaku ekonomi
(baik konsumen maupun produsen) untuk merealisasikan rencananya. Ketika
konsumen tercekam ketidakpastian, yang dipilih adalah bersikap diam dan
menunggu saat yang tepat untuk kembali bergairah berbelanja. Likuiditas
dibiarkan ”menganggur” di bank atau dibelikan emas. Sedikit perkecualian,
masyarakat masih tetap bergairah berwisata.
Kedua, kebijakan deregulasi
belum tentu mendarah daging pada setiap lini birokrasi. Pada level
operasional di bawah, deregulasi belum berjalan dengan baik sebagaimana
diinginkan level atas (menteri, eselon 1 dan eselon 2). Pelayanan birokrasi
secara daring juga masih tetap memerlukan dukungan layanan oleh manusia.
Akhirnya, apa yang masih harus
dilakukan pemerintah dalam dua tahun ke depan? Pertama, lanjutkan dan jaga
ritme pembangunan infrastruktur. Kita sangat yakin bahwa arah pembangunan ini
sudah benar, hanya saja masih perlu waktu untuk menikmati panen. Kedua, iklim
perpajakan harus dikelola dengan baik. Jangan sampai momentum amnesti pajak
justru terusik karena pemerintah terlalu agresif melacak kembali aset para
peserta amnesti pajak.
Ketiga, deregulasi sektor riil
harus terus dikawal dalam pelaksanaannya. Jangan sampai deregulasi sebatas
wacana para birokrat tertinggi, tetapi belum mengakar ke bawah. Para menteri
harus tiada lelah memastikan implementasinya ke bawah.
Jika ini dijalankan, saya masih
yakin bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi tidak akan terjebak normal baru pada
level 5 persen. Masih bisa ditingkatkan lagi menjadi 6-7 persen, bahkan
lebih. Tiada hal yang mustahil asalkan kita konsisten bekerja keras. Jangan
mau terjebak pada level 5 persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar