Senin, 23 Oktober 2017

Peluang dan Tantangan Ekonomi Nasional

Peluang dan Tantangan Ekonomi Nasional
Firmanzah ;   Rektor Universitas Paramadina; 
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 19 Oktober 2017



                                                           
PADA 20 Oktober 2017, usia pemerintahan Jokowi-JK genap tiga tahun dari lima tahun masa bakti Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Meskipun belum genap lima tahun, terdapat banyak hal yang telah terjadi, baik dalam perekonomian nasional maupun lingkungan global. Dari sekian banyak faktor eksternal, pelemahan harga komoditas dunia menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kinerja ekonomi nasional.

Dari sisi kebijakan fiskal, terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap postur belanja negara. Pada APBNP 2015, alokasi belanja untuk infrastruktur dianggarkan sebesar Rp290 triliun. Meskipun realisasi penyerapannya hanya mencapai Rp256,3 triliun, hal ini menandai agresivitas pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pembangunan infrastruktur. Realisasi belanja infrastruktur pada tahun berikutnya, 2016, kembali meningkat menjadi Rp317 triliun.

Sementara itu, untuk tahun ini ditetapkan belanja infrastruktur sebesar Rp388,3 triliun dan pada 2018 dianggarkan sebesar Rp409 triliun. Agresivitas belanja infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan di satu sisi diperlukan, di sisi lain menciptakan sejumlah persoalan.

Pertama, defisit anggaran dalam APBNP 2017 sangat tinggi mencapai 2,92%. Kedua, meningkatnya utang pemerintah, per Agustus 2017 telah mencapai Rp3.852,79 triliun. Meskipun secara persentase terhadap PDB masih relatif aman dan terkendali, yaitu sebesar 27,9%, pemerintah perlu lebih berhati-hati dan berhitung secara cermat terkait dengan kapasitas fiskal untuk pembayaran, baik dari cicilan maupun pembayaran pokok pinjaman.

Sepertinya hal ini sangat dipahami oleh pemerintahan Jokowi-JK dan dalam APBN 2018, defisit fiskal ditargetkan jauh lebih moderat dibandingkan APBNP 2017, yaitu hanya sebesar 2,19%. Mengingat besarnya kebutuhan anggaran infrastruktur sebesar Rp4.796,2 triliun, selain peran BUMN, peran swasta dalam pembangunan infrastruktur perlu terus ditingkatkan, terutama infrastruktur yang memiliki nilai komersial.

Realisasi penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir juga selalu di bawah target yang ditetapkan. Misalnya pada 2015, realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan sebesar 81,5% atau Rp1.055 triliun dari target APBNP 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun. Sementara itu, pada 2016, realisasi penerimaan sektor perpajakan mencapai 81,54% atau Rp1.105 triliun dari target APBNP 2016 yang ditetapkan sebesar Rp1.355 triliun.

Selain faktor penetapan target perpajakan yang dianggap terlalu tinggi untuk menyesuaikan besarnya belanja negara, faktor perlambatan pertumbuhan sektor riil juga berdampak pada melesetnya realisasi penerimaan sektor perpajakan. Hal ini tercermin pada realisasi pertumbuhan kredit nasional yang lebih rendah dari target yang ditetapkan. Data dari BI dan OJK menunjukkan, pada 2015, pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya mampu tumbuh sebesar 10,1% di bawah target semula sebesar 11-13%. Sementara itu pada 2016, pertumbuhan kredit perbankan hanya mampu tumbuh sebesar 7,87% dan jauh dari target semula sebesar 9-12%.

Ketika inflasi dalam 2015-2016 relatif terjaga rendah yang membuat BI menurunkan beberapa kali suku bunga acuan, maka seharusnya realisasi kredit perbankan bisa tumbuh melampaui target awal. Namun ketika realisasi tidak setinggi yang diharapkan, hal ini menunjukkan kegairahan dunia usaha tidak setinggi yang diprediksi semula.   

Meskipun begitu, keseriusan pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan pembenahan ekonomi nasional membuahkan hasil. Lembaga pemeringkat Standar & Poor’s (S&P) menaikkan sovereign credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Dengan kata lain, Indonesia telah memperoleh investment grade dari S&P dan melengkapi lembaga lain yang telah memberikan investment grade, yaitu Fitch pada 2011 dan Moody’s pada 2012.

Hal ini menunjukkan kepercayaan dunia internasional terhadap prospek ekonomi Indonesia semakin meningkat. Baru-baru ini, peringkat daya saing Indonesia menurut Global Competitiveness Index 2017-2018 meningkat dari posisi 41 menjadi 36 dunia. Meskipun mengalami perbaikan, sejumlah negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki peringkat daya saing yang lebih baik dan berada di posisi ke-3, 23, dan 32 dunia. Hal ini menunjukkan pekerjaan rumah untuk terus mendorong daya saing nasional masih membutuhkan konsentrasi dan fokus bagi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.   

Meskipun tidak menurun secara tajam, beberapa indikator seperti Gini-Coefficient, angka pengangguran dan angka kemiskinan dapat terus ditekan dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, penetapan harga BBM satu harga, terutama di kawasan timur Indonesia perlu kita apresiasi bersama sebagai bentuk political dan good will dari pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pemerataan pembangunan.

Dari sektor ketenagakerjaan, masih besarnya penduduk yang bekerja di sektor informal perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Menurut data BPS per Februari 2017 terdapat 58,35% penduduk yang bekerja di sektor informal. Memang pengangguran terbuka hanya sebesar 5,33%, namun ketika jumlah tenaga kerja yang masuk ke sektor informal mendominasi angkatan kerja kita, maka hal tersebut akan menimbulkan persoalan perlindungan dan kesejahteraan angkatan kerja yang berpotensi mengurangi upaya meningkatkan produktivitas nasional.

Oleh karenanya, tantangan saat ini dalam sektor ketenagakerjaan adalah membalikkan kondisi sektor formal yang sebaiknya lebih besar dibandingkan sektor formal. Investasi baik PMA maupun PMDN perlu terus ditingkatkan tidak hanya untuk perluasan penciptaan lapangan kerja sektor formal, juga untuk penguatan struktur industri nasional.  

Tentunya semua pihak berharap dalam sisa waktu dua tahun ke depan, penuntasan agenda-agenda pembangunan nasional di bidang ekonomi akan tetap menjadi fokus pemerintah di tengah mulai ramainya kontestasi politik. Hal ini sangatlah penting diperhatikan oleh banyak pihak mengingat pada 2018 akan penuh sesak dengan jadwal dan agenda politik. Menurut KPU, tahun depan dijadwalkan terdapat 171 Pilkada serentak, penetapan parpol peserta Pemilu, pengajuan dan penetapan caleg DPRD-DPD-DPR, dan pengajuan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.

Stabilitas politik, keamanan dan ketertiban tetap harus dijaga sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, juga kontestasi politik yang eskalasinya diperkirakan akan meningkat menjelang 2019 tentu diharapkan tidak mengganggu penuntasan program kerja bidang ekonomi terutama agenda pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, ease doing business, pembangunan infrastruktur, pemerataan ekonomi, investasi dan pelaksanaan good governance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar