Respons
Idealisme Muda
Yudi Latif ; Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi
Pancasila
|
KOMPAS,
28 Oktober
2017
Idealisme adalah kemewahan
terakhir yang hanya dimiliki pemuda,” ujar
Tan Malaka. Masalahnya, setiap
zaman punya tantangannya tersendiri yang menuntut respons berbeda. Seturut
dengan itu, idealisme pemuda juga harus diletakkan dalam konteks tantangan
zamannya.
Kemampuan merespons tantangan
zaman sebagai kerja kolektif, bukan sekadar pencapaian pribadi-pribadi,
itulah yang melahirkan suatu generasi transformasi. Pengertian generasi dalam
sosiologi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan
usia, tetapi juga kesamaan pengalaman, visi, dan panggilan kesejarahan yang
membentuk kekuatan perubahan. Ron Eyerman menyatakan, ”Konsepsi sosiologis
mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang
hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan
sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama,
sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan meski mereka tak pernah
saling bertemu.”
Para pemuda pelopor Angkatan
1928 merupakan representasi kehadiran suatu generasi yang gemilang. Dalam
keterbatasan konektivitas teknis (sarana transportasi dan komunikasi),
generasi ini mampu meluaskan horizon imajinasi komunitas politiknya melampaui
batas-batas spasial kepulauan dan primordial.
Bisa dibayangkan, transportasi
umum yang tersedia bagi perutusan
pemuda dari Jong Java, Jong Ambon,
Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar
Rukun (Jong Sunda), dan yang lainnya untuk bisa mengikuti Kongres Pemuda di
Jakarta mengandalkan kapal laut dan kereta. Sebagian mereka perlu waktu
tempuh berminggu-minggu. Sementara media komunikasi untuk meluaskan
pertukaran pikiran antar-pemuda yang tersebar di banyak wilayah masih
terbatas pada kehadiran media cetak (koran, majalah), dengan sirkulasi yang
terbatas serta masa yang lama untuk bisa diakses pembaca di seberang pulau.
Kendala-kendala konektivitas
teknis nyatanya tak menghalangi konektivitas nalar dan rasa kebangsaan.
Padahal, menautkan orang-orang yang hidup di berbagai kepulauan terpisah,
dengan segala kemajemukan komunalitasnya, ke dalam suatu imajinasi komunitas
persaudaraan kebangsaan bukanlah perkara mudah. Jangan lupa, meski manusia
sering disebut zoon politicon (hewan bermasyarakat), kenyataannya riset
sosiologis menunjukkan ukuran maksimum suatu kumpulan manusia untuk bisa
bergaul intim sebagai sesama kelompok hanya 150 orang.
Di atas ambang itu, rasa
solidaritas sesama sulit dilakukan, apalagi terhadap penduduk di pelosok
pulau di seberang lautan. Bayangan
persaudaraan dalam skala luas, melintasi batas-batas kekubuan-kesukuan, hanya
bisa dibangun lewat perekayasaan realitas imajiner yang dibangun oleh sistem
”mitos” (sistem keyakinan, simbol, dan ritual bersama).
Para pemuda pelopor Angkatan
1928 berhasil meluaskan bayangan komunitas bersama lewat penciptaan ”mitos”
kesamaan riwayat (sejarah), dengan dipersatukan ”nasionalisme
negatif-defensif” (melawan musuh bersama), yang mendorong penciptaan bayangan
”berbangsa satu: bangsa Indonesia”. Generasi ini juga mampu menciptakan
bayangan ”mitos” kesamaan geopolitik, dengan mengakui ”tumpah darah satu:
tanah-air Indonesia”; yang dibentangkan horizonnya oleh jaringan administrasi
dan ekonomi kolonial.
Mereka juga mampu menciptakan
”mitos” pertautan akar-akar sosiokultural yang memungkinkan komitmen bersama
”menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia”. Terima kasih pada politik
kebahasaan dan literasi kolonial serta dampak tak sengaja kebijakan ekonomi
liberal yang memungkinkan kehadiran industri pers vernakular, perluasan
pengajaran bahasa Melayu, dan penyediaan bahan bacaan dalam bahasa Melayu
yang meratakan jalan bagi penggunaannya sebagai bahasa resmi di masa
pendudukan Jepang.
Singkat kata, generasi pemuda
Angkatan 1928 mampu mengatasi hambatan konektivitas teknis dengan kreativitas
penciptaan sistem keyakinan yang menautkan jutaan manusia dari berbagai
aliran sungai primordial menuju samudra kebangsaan Indonesia, yang membuka
jalan bagi pembentukan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) yang luas
dan inklusif.
Tantangan pemuda masa kini
Situasi tantangan yang dihadapi
para pemuda hari ini justru sebaliknya. Dari segi konektivitas teknis,
kendala ruang dan waktu dalam komunikasi dan perhubungan sudah bisa dilampaui
oleh berbagai keserbahadiran teknologi mutakhir dalam telekomunikasi
(digital) dan transportasi. Masyarakat Indonesia termasuk pengguna internet
dan media sosial paling intens, yang memungkinkan orang-orang yang tersebar
di berbagai kepulauan semakin terkoneksi secara intensif dan ekstensif.
Ditinjau dari sudut ini, jutaan
pemuda Indonesia hari ini bahkan berpotensi mengalami pergeseran dalam konsep
dirinya mengenai komunitas imajiner yang ditujunya, dari seorang citizen
suatu komunitas negara-bangsa menjadi netizen suatu komunitas global.
Masalahnya, tak pernah ada manusia yang bisa sepenuhnya universal yang bisa
hidup selamanya dalam dunia khayal. Selama punya jasad, manusia terikat pada
ruang waktu, perlu makan-minum dan menjalani pergaulan hidup secara riil;
yang secara tak terhindar dipengaruhi kondisi-kondisi lingkungan terdekatnya.
Pada titik inilah, pemuda Indonesia kini dihadapkan pada situasi paradoksal.
Ketika konektivitas teknis
makin rapat, konektivitas dalam nalar dan rasa berbangsa justru kian
renggang. Adopsi teknologi tinggi umumnya tak diikuti budaya tinggi. Tingkat
literasi rendah, wawasan kesejarahan cetek, nalar ilmiah rendah, pergaulan
lintas kultural mengerut, pengetahuan naratif sebagai basis karakter
tersisihkan. Intensitas konektivitas teknis tanpa basis keadaban dengan cepat
melambungkan industri kebohongan (hoaks).
Mitos-mitos pertautan kebangsaan yang luas dan inklusif sebagai
warisan generasi Sumpah Pemuda mulai terdesak oleh kemunculan mitos-mitos
baru yang diproduksi dengan defisit nalar literasi dan nalar ilmiah, dengan
tujuan untuk menautkan anak-anak muda ke arah komunitas bayangan baru secara
dogmatis dan fasistis.
Tiba-tiba saja, kita
menyaksikan jutaan pemuda hari ini hanyut dalam gelombang arus balik dari
samudra kebangsaan Indonesia menuju sungai-sungai kecil primordial. Bayangan
komunitas imajiner kekitaan menyempit, dipenggal-penggal kembali menurut
garis perbedaan identitas agama, suku, dan golongan. Indonesia seperti cermin
yang jatuh, lantas pecah berkeping-keping. Setiap orang melihat bayangan
komunitasnya dari sudut kepentingan dan golongan masing-masing.
Dalam tendensi meluasnya gejala
polarisasi dan fragmentasi kebangsaan, kaum muda hari ini ditantang kembali
mengemban misi emansipatorisnya. Dalam
kaitan ini, hendaklah diingat pada setiap zaman, kuantitas pemuda sebagai
pemikir dan pelopor selalu merupakan minoritas kreatif. Tahun 1926, pada masa puncak aktivitas
politik Perhimpunan Indonesia (PI), dari 673 lebih mahasiswa Indo¬nesia di
Belanda saat itu, hanya 38 orang yang menjadi aktivis PI (Ingleson, 1979: 2). Demikian pula dengan
situasi kepemudaan di Tanah Air.
Menyusul berdirinya tiga perguruan tinggi pada 1920-an (THS, RHS, dan
GHS), beberapa klub mahasiswa universitas bermunculan di Hindia, dengan arus
utama bersifat rekreatif.
Namun, di sela arus utama
klub-klub berorientasi rekreasi, muncul se¬kelompok kecil mahasiswa sadar
politik yang mendirikan perkumpulan berorientasi politik dengan pengikut
sangat terbatas, seperti Algemene Studieclub, yang dipimpin Soekarno. Sejarah
mencatat, minoritas kreatif inilah yang jadi pelopor perubahan, yang mengonsep¬tuali¬sasikan ”Indonesia” sebagai
simpul persatuan dan kemerdekaan.
Alhasil, tak perlu terlalu
diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka menghabiskan waktu
chatting di medsos, bersenang-senang di pusat belanja, atau pelesiran ke
tempat rekreasi. Toh, masih ada minoritas pemuda kreatif yang terlibat kerja
inovatif, kewirausahaan dan aksi politik. Malah, sesuai struktur demografis
Indonesia saat ini (dengan mayoritas penduduk berusia muda), minoritas
kreatif masa kini mestinya jauh lebih besar dengan varietas bidang kreatif
lebih beragam ketimbang generasi sebelumnya.
Letak masalahnya, jika
minoritas kreatif pada generasi Sumpah Pemuda mampu mempertautkan dan
mengorganisasi potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi
perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu dengan
risiko bisa menuju ”generasi yang hilang” (the lost generation). Tantangan
terberat kaum muda hari ini bukanlah melahirkan pribadi-pribadi berhasil;
melainkan kesanggupan menautkan keberhasilan pribadi itu ke dalam agenda
bersama menghadapi tantangan zaman.
Tak ada generasi perubahan
tanpa usaha kesengajaan. Generasi Sumpah Pemuda secara sengaja merespons
tantangan kolonialisme dan feodalisme lewat penciptaan ruang publik, wacana
publik, dan organisasi aksi kolektif
yang mempertautkan minoritas kreatif dari berbagai latar primordial
menjadi blok nasional yang inklusif dan progresif. Melalui penciptaan ruang
publik, wacana publik, dan kekuatan nalar publik, terbentuklah suatu
konektivitas kolektivitas yang dalam kekuatan artikulatifnya menjadi katalis
bagi perwujudan politik perubahan.
Minoritas kreatif pemuda hari
ini bergerak sendiri-sendiri atau dalam kelompok terbatas. Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif
menjadi komonalitas jaringan kreatif,
kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit terkucil. Munculnya
medsos baru dengan kecenderungan individuasi yang sangat kuat kian memperkuat
tendensi ke arah atomisasi kekuatan kreatif. Sesekali jaringan kesadaran yang merambat
melalui medsos memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan
korektif, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali
sekadar kekuatan reaktif yang akan
segera padam begitu daur isu memudar.
Tampak jelas, kemampuan
mengorganisasikan gagasan secara publik-politiklah yang bisa mengangkat
partikularitas kekuatan kreatif jadi kekuatan perubahan kolektif.
Seperti kata Hannah Arendt, politiklah yang menjadi ”ruang penampakan”
(space of appearance) bagi ide-ide terpendam. Tanpa kesanggupan
mengorganisasikan diri secara politik, kekuatan-kekuatan kreatif hari ini,
betapapun besar jumlahnya, tak membuat ide-ide mereka terungkap secara
publik; tak mampu membangkitkan inspirasi kreatif bagi banyak orang; dan tak
mendorong pengikatan bersama kekuatan-kekuatan progresif.
Komitmen kebangsaan
Dalam memberikan respons
generasional atas tantangan zaman ini, hendaklah diingat, di balik perubahan
revolusioner dalam aspek-aspek keteknikan, selalu ada elemen konstanta yang
menentukan apakah penemuan-penemuan baru itu membawa maslahat atau mudarat
bagi kemanusiaan. Elemen konstanta itu bernama ”nilai etis”. Rasionalitas instrumental tanpa tuntutan
rasionalitas nilai membuat perburuan akan penghidupan yang pendek
menghancurkan kehidupan yang panjang.
Kita tak tahu persis bagaimana
kelangsungan negara-bangsa ke depan; tetapi selama manusia butuh ruang hidup,
selama itu pula orientasi etis kita harus mendahulukan relasi etis dalam
lingkungan terdekat. Nilai-nilai Pancasila merupakan warisan genius para
pendiri bangsa, yang menggali nilai-nilai etika publik dari bumi Indonesia
sendiri, tetapi dengan relevansi universal yang dapat menjadi sandaran etis
dalam menghadapi era globalisasi.
Dalam wawasan Pancasila,
kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai emansipatorisnya. Bahwa
sumber penindasan dan dehumanisasi itu bisa datang dari homogenisasi
globalisme maupun dari partikularisasi lokalisme. Nasionalisme menjembatani
kedua kecenderungan ekstremisme itu. Di satu sisi, nasionalisme melindungi
eksistensi keragaman budaya lokal dari dominasi dan hegemoni budaya asing; di
sisi lain, nasionalisme juga mengangkat partikularitas renik-renik budaya
lokal untuk diabstraksikan dan dipersatukan dalam nilai kolektif
kebangsaan. Dengan kata lain,
kebangsaan Indonesia dengan panduan nilai-nilai Pancasila-nya bisa
mengantisipasi tantangan generasi milenial, dengan menawarkan perpaduan
antara visi global dengan kearifan lokal.
Dalam konteks itu, patut
dicatat, tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi
memang menguat. Tetapi, oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini
juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” yang mengukuhkan
perbedaan identitas kolektif—etnis, bahasa, agama, bahasa dan
bangsa—mengalami gelombang pasang.
Dalam situasi seperti itu
eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri kokoh di atas
prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses
demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari
masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Karena itu, tantangan
demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political
recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin
hak individu maupun kesetaraan hak
dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan
produktif dalam suatu republik.
Meski begitu, upaya negara
memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok
etnis, budaya, dan agama juga tak
boleh dibayar oleh ongkos mahal berupa fragmentasi sosial. Setiap kelompok
dituntut punya komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus
nasional seperti tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur
pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia. Peringatan Sumpah Pemuda
harus mampu menggali api sejarahnya, bukan abunya. Api semangat menautkan
potensi pribadi dan keragaman kultural ke dalam persatuan perjuangan demi
merespons tantangan zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar