Penanganan
Kasus HAM Berat di Era Jokowi
Syamsuddin Radjab ; Mantan ketua
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI);
Staf Pengajar HTN UIN Alauddin, Makassar
|
JAWA
POS, 26 Oktober 2017
PADA 20 Oktober lalu,
pemerintahan Jokowi-JK genap berusia tiga tahun. Dalam visi-misi Jokowi-JK
sebagai capres-cawapres secara terang disampaikan, ”Kami berkomitmen
menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa
lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi
bangsa Indonesia seperti kerusuhan Mei; Trisakti-Semanggi 1 dan 2;
penghilangan paksa; Talangsari, Lampung; Tanjung Priok; tragedi 1965.”
Jualan isu HAM dalam debat
capres-cawapres (9/6/2014) telah berlalu dan kini saatnya menagih janji atas
penuntasan kasus kejahatan HAM berat. Saya menggunakan frasa ”kejahatan”
dalam tulisan ini untuk menghindari kesalahpahaman dan penyesatan terhadap
peristiwa tersebut, bahwa bukan pelanggaran, melainkan kejahatan luar biasa
(extraordinary crime).
Kebijakan Kabur
Pada 22 Juni 2015 Jokowi
menandatangani Perpres No 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional HAM
(RANHAM) 2015–2019. Sayang, RANHAM itu sama sekali tidak memuat rencana
pemerintah terkait dengan penanganan kejahatan HAM berat di masa lalu,
melainkan sekadar rencana pelatihan-pelatihan dan pelaporan yang berulang
sejak 1998 hingga 2019.
UU No 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) pada 2006, tidak segera diajukan lagi pembentukannya ke DPR
selama rezim Jokowi-JK. Padahal, UU KKR sangat penting sebagai salah satu
solusi nonyudisial yang dapat ditempuh pemerintah.
Demikian halnya dengan revisi
paket UU HAM lain yang terkait penguatan kelembagaan Komnas HAM; revisi UU No
39 Tahun 1999 tentang HAM; revisi UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
revisi UU No 31 Tahun 2014 tentang LPSK.
RUU KKR dan paket revisi UU HAM
tersebut selama tiga tahun ini tak terdengar disuarakan baik dari pemerintah
maupun DPR. Di Senayan, kekuatan politik Jokowi-JK juga bertambah setelah
Golkar, PPP, dan PAN berbelot mendukung pemerintah. Artinya, jika
pemerintahan Jokowi-JK mau menyelesaikan kejahatan HAM berat, akan sangat
mudah dengan dukungan mayoritas di parlemen seperti pembahasan Perppu Ormas.
Hingga sekarang, belum ada satu
pun kebijakan Jokowi-JK yang tegas dan konkret untuk penyelesaian kejahatan
HAM berat. Pada 2015 Jokowi bahkan menegaskan akan menyelesaikan kasus
kejahatan HAM berat menjelang peringatan Hari HAM Sedunia.
Pada 18 April 2016 pemerintah
melalui Kemenko Polhukam dan Lemhannas menyelenggarakan simposium nasional
terkait dengan tragedi 1965 yang melibatkan pihak-pihak berkonflik. Simposium
itu tidak melahirkan rumusan dan kebijakan penting bagi pemerintah.
Sebaliknya, justru menimbulkan polarisasi makin tajam di tengah masyarakat,
antara yang pro dan kontra dengan isu-isu PKI.
Ada baiknya hasil penyelidikan
KPP Komnas HAM ditindaklanjuti, baik melalui mekanisme yudisial maupun
nonyudisial dengan dukungan kebijakan yang jelas dan peraturan
perundang-undangan yang memadai.
Mekanisme Nonyudisial
UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM terbukti gagal menyeret para pelaku kejahatan HAM berat untuk
menghuni hotel prodeo. Persidangan tiga perkara kejahatan HAM berat seperti
kasus Timtim, Tanjung Priok, dan Abepura, Papua, bak sandiwara panggung
pengadilan yang penuh kepura-puraan.
David Cohen (2003) menyebutnya
sebagai persidangan pengadilan HAM yang dimaksudkan untuk gagal (intended to
fail). UU Pengadilan HAM memang mengandung cacat bawaan sejak diadopsi dari
Statuta Roma dengan penerjemahan yang tidak tepat, penghilangan kata dan
ayat, kesalahan pengetikan, ketiadaan elements of crimes, serta rules of
procedure and evidence.
Sulit berharap keadilan bagi
korban dan keluarganya dengan UU yang mengandung cacat bawaan. Dengan begitu,
mekanisme nonyudisial perlu dipertimbangkan. Mempertimbangkan bukan dengan
mengabaikan proses yudisial (pengadilan), tetapi akan berjalan paralel dengan
penyesuaian revisi UU Pengadilan HAM dan RUU baru KKR yang harus segera
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK.
Di pelbagai negara yang
mengalami transisi politik dari negara otoriter ke demokrasi, tidak ada model
tunggal yang dapat dijadikan rujukan. Afsel, Argentina, dan Cile, misalnya,
memiliki model dan karakter masing-masing serta latar belakang yang berbeda
dalam penyelesaian kasus kejahatan HAM.
Nelson Mandela sebelum menjadi
presiden Afsel (1994) mengupayakan rekonsiliasi dengan rezim minoritas apartheid
sejak 1991 melalui Codesa (The Convention for a Democratic South Africa),
lalu 1995 mengeluarkan UU Persatuan Nasional dan Rekonsiliasi (Act 34 of
1995) dengan membentuk KKR yang dipimpin tokoh agama berpengaruh Uskup Agung
Desmond Tutu.
Di Argentina, rezim junta
militer di bawah pimpinan Rafael Videla berhasil dibawa ke pengadilan oleh
Raul Alfonsin setelah terpilih secara demokratis sebagai presiden pada 1983.
Tahun itu juga dia membentuk Conadep (semacam Kontras) untuk mengusut
penghilangan paksa. Videla dihukum seumur hidup pada 1985 yang kemudian
diubah menjadi tahanan rumah setelah Presiden Carlos Menem memberinya
amnesti.
Terduga pelaku yang memenuhi
ketentuan pidana kejahatan HAM berat akan dikirim ke meja persidangan
pengadilan. Tetapi, yang memenuhi syarat dan ketentuan amnesti akan diusulkan
kepada presiden untuk diberi pengampunan. Bukan membarter amnesti dengan
hak-hak korban (kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi) seperti di Indonesia
sehingga UU KKR dibatalkan MK. Yang terpenting dari tiga negara itu adalah
komitmen dan tindakan nyata dari presiden untuk menyelesaikan kasus kejahatan
HAM berat di masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar