Anies
dan Masa Depan Jakarta
Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN
Jakarta;
Direktur Eksekutif
Indikator Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Oktober 2017
TAK banyak politikus yang
menempuh jalan zigzag seperti Anies Baswedan. Sebelum drama pilkada DKI
Jakarta 2017, Anies merupakan tokoh protagonis yang di dalam dirinya melekat
semua atribut yang diidamkan semua orang: mantan aktivis mahasiswa,
intelektual muda jebolan Amerika, rektor Universitas Paramadina, dan seabrek
peran positif lainnya.
Majalah top Amerika, Foreign Policy, tahun 2008,
mendapuknya sebagai salah satu dari 100 intelektual publik dunia. Tahun 2009,
World Economic Forum memasukkan namanya dalam Young Global Leaders. Seolah
tak mau ketinggalan, April 2010, Majalah Foresight, merilis laporan khusus
bertajuk 20 Persons 20 Years. Nama Anies masuk daftar 20 nama dari seluruh
benua yang harus ditimang-timang.
Foresight menulis, “He is a
moderate muslim who consistently stands in the middle, not affiliated with
any political party or group.” Anies menjadi satu-satunya wakil dari Asia
Tenggara yang masuk daftar bergengsi tersebut bersama Vladimir Putin
(Russia), David Miliband (UK), Hugo Chávez (Venezuela), dan Rahul Gandhi
(India).
Atribut sebagai tokoh
intelektual publik, yang melampaui sekat-sekat politik partisan, masih
melekat pada saat Anies sedikit banyak bersentuhan dengan politik praktis.
Tahun 2010, namanya sempat terpatri di memori publik sebagai deklarator ormas
Nasional Demokrat yang kemudian ‘melahirkan’ Partai NasDem.
Jelang pemilu legislatif 2014,
Anies mengagetkan publik dengan pilihannya ikut serta dalam konvensi capres
yang dihelat Partai Demokrat. Gagal maju dalam Pilpres 2014, Anies tampil
sebagai juru bicara dan timses pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Jabatan Menteri
Pendidikan dan Budaya pun digenggamnya hingga 2016. Pendek kata, Anies tak
pernah kehilangan panggung, meski semesta kadang tak mendukungnya.
Menariknya, Anies selalu mampu menjaga citra sebagai intelektual
par-excellence yang nonpartisan dan inkusif.
Namun, citra sebagai tokoh
moderat dan inklusif di atas tercederai sejak Anies maju dalam Pilkada DKI
Jakarta. Pada saat rivalnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tersandung
kasus Al-Maidah, banyak pihak yang berharap Anies ikut meredakan suasana.
Pertarungan boleh memanas, tapi sebagai intelektual publik yang moderat
banyak pihak yang berharap Anies meniru langkah John McCain.
Saat kampanye Pilpres 2008,
seorang ibu yang menjadi loyalis capres dari Partai Republik, menuduh Obama
sebagai seorang Arab yang tak dapat dipercaya. McCain bisa saja membiarkan
sentimen anti-Arab berkembang dan mendegradasi elektabilitas Obama. Terlebih
lagi, elektabilitas McCain memang selalu tertinggal dari Obama. Tapi, bukan
jalan itu yang ditempuh McCain. Ia rebut mikrofon dari perempuan itu seraya
berkata, “Obama seorang yang baik,
patriot, dan tak perlu ditakuti. Saya punya banyak perbedaan fundamental
dengannya. Tapi, kita harus saling menghormati. Inilah politik adiluhung
yang seharusnya dilakukan di Amerika.”
Tapi, memang Anies bukanlah
McCain, dan Indonesia bukanlah Amerika. Alih-alih meredakan emosi massa
jelang demo-demo besar anti-Ahok, yang terlihat Anies justru terkesan
membiarkan amarah itu menyala, dan tentu saja mengambil insentif elektoral
darinya. Anies juga mengunjungi tokoh-tokoh islamis yang selama ini menjadi
motor penggerak anti-Ahok, termasuk Rizieq Shihab. Inilah titik balik
branding Anies dari tokoh moderat yang sebelumnya memosisikan di tengah
menjadi representasi tokoh baru Islam yang lebih bergerak ke ‘kanan’.
Perubahan branding ini tak
mudah bagi Anies yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang inklusif, yang
mendedahkan narasi ‘tenun kebangsaan’, tapi kemudian harus memainkan peran
yang justru bertentangan dengan reputasi yang dibangunnya selama ini.
Anies sendiri bukan tak
berusaha mempertahankan citra moderat dan berwawasan dalam pilkada Jakarta.
Ia beberapa kali mengunjungi tokoh-tokoh agama lain untuk menegaskan
komitmennya atas Jakarta yang majemuk. Dalam debat-debat calon gubernur,
Anies juga rajin menawarkan paket kebijakan alternatif yang berbeda dengan
Ahok, mulai dari program rumah DP 0 rupiah, tolak reklamasi, program
transportasi terintegrasi dengan biaya serba Rp5.000, KJP Plus dan KJS Plus,
penghentian penggusuran hingga partisipasi publik dalam pembangunan.
Apa boleh buat, citra sebagai
tokoh ‘kanan’ sudah telanjur terpatri. Statemen Anies yang menyebut pilkada
Jakarta putaran kedua bagaikan Perang Badar makin memperkuat kesan bahwa
Anies memang berusaha memelihara sentimen agama demi mengalahkan Ahok.
Hasil exit poll Indikator
Politik Indonesia menunjukkan dengan tegas pentingnya peran agama dalam
mengantarkan kemenangan Anies di putaran kedua.
Hampir 60% pemilih Anies yang
menggunakan haknya di putaran kedua pilkada Jakarta kemarin memilih karena
didasarkan kesamaan agama. Hanya 10% pemilih Anies karena menganggap ia bisa
membawa perubahan. Hanya 6% pemilih Anies yang memilih karena program, 6%
memilih Anies karena orangnya pintar dan berpendidikan. Alasan-alasan lainnya
kurang dari 6%. Sebagian besar pemilih Anies menilai ucapan Ahok mengenai
Al-Maidah sebagai penistaan agama. Data-data empiris sulit menafikan fakta
bahwa faktor agama berjasa besar mengantarkan Anies ke Balai Kota Jakarta.
Terlepas dari isu SARA, temuan
exit poll juga menunjukkan bahwa 85% pemilih menilai kualitas pilkada DKI
Jakarta sangat atau cukup jurdil; dan 88% pemilih puas dengan pelaksanaan
perhelatan elektoral tersebut. Survei post-election yang dilakukan Indikator
Politik Indonesia pada 10-17 Mei 2017, dengan metode multistage random
sampling terhadap 816 responden di seluruh Jakarta, juga menunjukkan kisaran
yang sama mengenai kepuasan hasil pilkada.
Sekitar 86% responden menerima
keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah mengumumkan bahwa pasangan
Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno terpilih sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru periode 2017-2022. Hanya 8% yang secara
eksplisit menolak keputusan KPU. Kepercayaan masyarakat DKI Jakarta terhadap
Anies-Sandi cukup baik. 75% warga yakin bahwa mereka mampu memimpin ibu kota
dan 66% juga percaya Jakarta di bawah kepemimpinan mereka akan lebih baik.
79% warga Jakarta juga optimistik bahwa pasangan Anies-Sandi akan bisa
bekerja sama dengan Presiden Joko Widodo.
Ini merupakan modal
psikopolitik penting bagi Anies-Sandi setelah dilantik resmi sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur per 16 Oktober 2017. Oleh karena itu, tugas pertama dan
utama yang harus dikerjakan Anies adalah merajut kembali benang silaturahim
yang sempat terurai. Bagaimanapun pertarungan panjang di pilkada Jakarta
kemarin menyisakan luka bukan hanya di kalangan elite, tapi lebih lagi di
kalangan warga.
Rekonsiliasi ini jelas tak
mudah mengingat polarisasi yang sedemikian dalam terjadi dalam berbagai
lapis. Anies sendiri tentu tak lagi dipandang sama sebelum dan sesudah
pilkada Jakarta. Tapi, penerimaan publik yang tinggi terhadap hasil pilkada
Jakarta ialah modal penting bagi Anies sebagai pemimpin yang legitimate.
Selain itu, Anies dan Sandi tak
perlu gengsi melanjutkan program Ahok dan Djarot yang dirasa positif dan
memperbaiki kekurangan pendahulunya. Terlebih lagi, secara umum warga
Jakarta, baik yang memilih Anies maupun Ahok, secara umum puas dengan
kinerja Ahok-Djarot. Bahkan ketika Ahok-Djarot sudah kalah sekalipun, survei
post-election Mei 2017 masih mencatat approval rating mereka di kisaran 75%.
Ketika diperinci, 77% warga puas terhadap kinerja Ahok-Djarot dalam mengatasi
banjir; 85% responden puas terhadap kinerja Ahok dalam menangani sampah. 72%
warga puas terhadap implementasi proyek Mass Rapid Transportation dan 88%
puas dengan ruang publik terbuka ramah anak. Kebijakan pendahulunya yang
mendapat rating bagus di mata publik ini layak dilanjutkan, bahkan
ditingkatkan.
Dengan melanjutkan program
warisan Ahok dan Djarot bukan berarti menafikan program unggulan yang
dirancang Anies. Survei menunjukkan sosialisasi program kredit rumah dengan
DP 0 rupiah sudah cukup baik. Namun, baru 49% warga percaya bahwa program ini
dapat direalisasikan jika nanti Anies-Sandi menjabat. Program Oke-Oce juga
sudah cukup tersosialisasi. Kepercayaan warga terhadap realisasinya lebih
tinggi (64%). Khusus yang berkaitan dengan reklamasi, 65% warga tahu bahwa
Anies-Sandi akan menghentikan. Namun, hanya 53% yang tahu yang juga percaya
pasangan ini akan menghentikan.
Tampaknya, pasangan Anies-Sandi
masih harus bekerja keras untuk menunjukkan bahwa janji-janji kampanye mereka
benar-benar akan dilaksanakan. Dengan kerja keras mewujudkan janji-janji
programatik dan kiat khusus menjalin rekonsiliasi dengan berbagai kalangan
inilah Anies bisa mengembalikan reputasinya selama ini, yakni sebagai tokoh
moderat dan milik semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar