Senin, 16 Oktober 2017

”Saemaul Undong”, Reforma Agraria dan Dana Desa

”Saemaul Undong”, Reforma Agraria dan Dana Desa
Bambang Ismawan  ;   Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya
                                                      KOMPAS, 16 Oktober 2017



                                                           
Tanpa reformasi agraria, membangun pertanian dan perdesaan ibarat membangun gedung tanpa fondasi.

Demikian peringatan dari sang pendiri Republik, Ir Soekarno, setelah lahirnya UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, UU yang terbilang tak pernah terlaksana dalam enam dekade sejak kelahirannya.
Sesudah 72 tahun Indonesia merdeka, dari sekitar 75.000 desa, baru pada kisaran 0,3 persen yang menjadi desa mandiri (status desa paling maju), 5 persen desa maju, dan mayoritas (94,7 persen) adalah desa-desa yang belum maju. Tak hanya itu, masih terdapat puluhan ribu desa belum teraliri listrik. Dengan masih dominannya desa-desa tertinggal, secara legawa kita perlu jujur untuk mengakui bahwa dalam enam dekade sejak 1960, Indonesia telah gagal atau belum sukses membangun desa.

Padahal, sejak dasawarsa 1970 hingga menjelang krisis 1997/1998, cukup banyak program pembangunan yang masuk ke desa. Sebut saja Intensifikasi Massal (Revolusi Hijau), Bantuan Pembangunan Desa, Program Pembangunan Perumahan dan Lingkungan Desa Terpadu (P2LDT), dan ABRI Masuk Desa (AMD) dengan hasil, antara lain, tercapai swasembada beras 1984 meski hanya bertahan empat tahun. Lalu, program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT).

Pascakrisis berlanjut dengan Program Pembangunan Kecamatan (P2K), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Total waktu yang dihabiskan sejak awal 1970 hingga berakhirnya PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2014 adalah 44 tahun.

”Saemaul Undong”

Jika akhirnya masih sedemikian banyak desa yang belum maju juga dalam enam dekade, adakah sesuatu yang salah?

Maka, ada baiknya menyimak pengalaman Korea Selatan (Korsel) yang sukses membangun desa pada dekade 1970-an dan 1980-an. Korsel menginisiasi program restorasi desa Saemaul Undong gagasan Presiden Park Chung-hee awal dekade 1970. Ketika itu desa-desa di Korsel dalam kondisi miskin dan ”babak belur” pasca-Perang Korea, hanya diberi bantuan stimulans yang berupa 355 zak semen beserta besi beton per desa ke 33.267 desa untuk mendorong warga desa secara gotong royong membangun infrastruktur desa dan memperbaiki rumah-rumah warga desa berbasis semangat keswadayaan dan dibekali pelatihan.

Selanjutnya, warga desa dimotivasi menjalankan ”revolusi hijau” dengan mengadopsi bibit gandum varietas unggul, alat-alat pertanian modern, dan membangun tempat-tempat pengolahan kompos bersama serta mengembangkan koperasi desa. Hasilnya cukup mengesankan, dalam lima tahun, yakni tahun 1976, tinggal 1 persen desa di Korsel yang masih terbilang tertinggal (basic/underdeveloped villages), dan tahun 1979 nyaris seluruh desa menjadi desa maju dan mandiri (developed/self sufficient villages).

Namun, sebelum menerapkan modernisasi desa ala Saemaul Undong, Pemerintah Korsel terlebih dulu melaksanakan kebijakan reformasi agraria untuk mengatasi banyaknya petani berlahan kecil dengan menerapkan prinsip land to the tiller, lahan bagi para penggarap. Rerata penguasaan lahan petani di Korsel sebelum reformasi agraria tak sampai 1 hektar, pascareformasi meningkat menjadi 1,46 hektar per rumah tangga petani. Bandingkan dengan rerata penguasaan lahan petani di Indonesia yang tak sampai 0,5 hektar sejak dekade 1960-an hingga 2010-an.

Berbagai UU secara konsisten mengawal sesuai perkembangan zaman, mulai dari Farmland Reform Act (1949), Farmland Preservation and Utilization Act (1972), Farmland Lend-Lease Management Act (1986), Rural Development Special Act (1990), dan The Farmland Act (1994).
Tahun 1980, Pemerintah Korsel mereklasifikasi desa-desa lebih maju lagi menjadi desa-desa mandiri (self sufficient), desa swakelola (self managing villages), dan ”desa sejahtera” (welfare villages). Desa-desa didesain mencapai standar kualitas hidup perdesaan negara maju dengan pendapatan per keluarga petani waktu itu ditarget minimal 4 juta won per tahun (4.572 dollar AS). Saat ini Korsel sudah mencapai masa keemasan (golden age), menikmati pendapatan per kapita sekitar 25.000 dollar AS.

Cukup banyak pelajaran yang bisa dipetik (lesson learned) dari gerakan restorasi Saemaul Undong, yaitu (i) untuk mencapai desa-desa yang maju/mandiri, perlu desain program pembangunan desa komprehensif dan dilaksanakan secara runtut, sistematis, bertahap, dan terpadu; (ii) dalam rangka membangun desa secara komprehensif, butuh dukungan reformasi agraria hingga rerata skala usaha tani cukup layak; (iii) revolusi hijau sebagai hasil inovasi mutlak untuk meningkatkan produktivitas pertanian; (iv) penyiapan SDM melalui pelatihan dan pendampingan; (v) spirit keswadayaan perlu ditumbuhkan untuk menggerakkan pembangunan desa.

Selain itu, (vi) regulasi perundangan yang konsisten untuk mendukung pembangunan desa, reformasi agraria, dan perlindungan lahan pertanian; serta (vii) kriteria desa maju dan mandiri harus jelas, termasuk tingkat layanan sarana dan prasarana dasar harus 100 persen beserta rerata tingkat pendapatan minimal yang harus dicapai.

Sementara, program-program pembangunan perdesaan, pertanian, penanggulangan kemiskinan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa di Indonesia cenderung lemah pada sisi sustainabilitas. Sebagai contoh program Inmas di masa lalu tak fokus pada pembangunan desa, tetapi pada swasembada beras, sedangkan swasembada beras itu pun tak bisa bertahan lama.

Menurunnya angka kemiskinan perdesaan yang diklaim sebagai dampak program penanggulangan kemiskinan, sustainabilitasnya masih dipertanyakan, apakah warga desa yang sudah terhitung ”mentas miskin” kemudian memiliki sumber-sumber pendapatan yang berkelanjutan dari lahan pertaniannya yang sempit atau dari upah buruh taninya beserta tambahan pendapatan dari hasil kegiatan ekonomi non-usaha tani perdesaan. Juga apakah tingkat penghasilan yang dianggap ”mentas miskin” tersebut dapat memupuk sedikit modal untuk meningkatkan kualitas hidup dengan memperbaiki rumahnya, akses air bersih, sanitasi layak, dan lainnya.

Dana desa, sampai kapan

Desain program pembangunan desa di Indonesia pasca-UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jauh lebih ”memanjakan”, dibandingkan dengan Saemaul Undong di Korsel pada dekade 1970 dan 1980. Desain program itu mencakup kucuran dana desa setiap tahun yang relatif besar, ditambah peluang bisnis melalui BUMDesa, dan adanya asas rekognisi serta subsidiaritas.

Jika 2015 dianggap ”titik nol” dan 2016 jadi tahun pertama, apakah pada 2021 sebagian besar desa yang belum maju dapat mentas menjadi desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera? Tebersit sedikit kekhawatiran jika menyimak kembali peringatan dari sang pendiri Republik. Ditambah lagi dengan banyaknya berita penyalahgunaan dana desa. Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan pertanian yang terus memburuk. Sejak 1970 hingga saat ini, nyaris setengah abad kita membangun desa di atas fondasi rapuh, yakni rerata skala usaha tani yang tak layak.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar