Senin, 23 Oktober 2017

Bahagia

Bahagia
Samuel Mulia ;   Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 22 Oktober 2017



                                                           
Sepulang dari menghadiri pesta ulang tahun seorang teman yang berlangsung dengan kekocakan yang luar biasa sampai perut dan pipi seperti kaki yang keram, saya berpikir bahwa sebuah acara itu bisa dinikmati kalau orang-orang yang hadir tak hanya berbahagia secara lahiriah, tetapi juga secara batiniah.

Fisik dan batin

Dulu saya ini berpikir bahwa sebuah acara atau pertemuan dapat memberi rasa bahagia itu karena semata-mata yang diundang orang-orangnya, tempatnya menyenangkan dan makanannya enak banget. Belum lagi isi acaranya yang bagus, lagu-lagu yang membuat badan tak berhenti bergoyang. Bukan juga karena pesta berakhir sampai subuh, atau dihadiri dengan pribadi kondang yang biasanya mampu mengangkat gengsi sebuah acara.

Sudah berpuluh kali saya menghadiri sebuah acara, apa pun bentuk acaranya, secara umum puluhan acara yang saya hadiri itu membuat orang menyapa dengan tidak tulus, tertawa tak bisa lepas, semua perilaku dijaga secara ketat.

Mungkin acara yang saya hadiri itu memang acara yang terpaksa harus melakukan kebohongan perilaku, karena beberapa di antara puluhan acara itu ada juga yang membuat saya sebagai undangan bisa berjoget di atas meja dengan kesadaran penuh, dan hadirin lainnya menerima dengan senang hati.

Saya bisa menjadi diri sendiri tanpa harus melakukan kebohongan perilaku. Kalau saya menuliskan dengan yakin bahwa undangan lainnya menerima dengan senang hati itu, karena saya tidak diusir, saya tidak diperintahkan turun dari meja, tetapi keesokan harinya nyaris semua orang di lingkungan pertemanan saya tahu apa yang saya lakukan di atas meja itu, dan akan disimpan dalam memori ingatan mereka sepanjang masa.

Acara makan siang yang saya hadiri di atas, adalah sebuah makan siang yang sederhana, hanya dihadiri teman-teman dekat teman saya itu. Suasana yang dihadirkan sangat bersahaja dan dipenuhi dengan senda gurau yang bisa saya rasakan tidak dibuat-buat.

Karena itu, saya berpikir, senda gurau yang tak dibuat-buat, dapat menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi tak santun, atau dapat mengabadikan diri apa adanya tanpa harus dipoles oleh kamera atau teknologi yang mampu membuat wajah jadi kinclong tanpa operasi sebelum diunggah ke media sosial, hanya bisa dilakukan karena kebahagiaan batin yang tak membutuhkan dukungan dari kebahagiaan fisik.

Cocok vs tidak cocok

Bahagia batin itu tidak sama dengan kebahagiaan fisik. Kebahagiaan fisik itu bisa luntur di tengah jalan hanya karena hal-hal kecil yang kemudian melahirkan kekecewaan, ketersinggungan, dan berakhir dengan tidak berteman lagi, tidak masuk perkumpulan itu lagi dan bisa jadi bermusuhan.

Cocok itu bukan karena sama-sama senang makan, bukan sama-sama senang melakukan kegiatan yang sama, bukan memiliki latar belakang pendidikan dan keluarga yang sama atau sepadan. Cocok itu kalau perbedaan yang banyak di antara teman atau anggota sebuah perkumpulan itu tidak dilihat sebagai sebuah halangan, tidak memberi inspirasi untuk mengotak-ngotakkan, tetapi dilihat sebagai medium bahwa kehidupan itu penuh warna.

Nah, menurut saya, seseorang mampu melihat bahwa kehidupan itu penuh warna tanpa harus memaksakan orang lain memiliki warna yang sama, itu karena batinnya yang berbahagia. Kebahagiaan batin itu pengikat terkuat sebuah hubungan pertemanan, keluarga, organisasi sehingga dapat berlangsung langgeng.

Sementara di sisi yang berbeda, ketidakcocokan itu bukan karena yang satu suka gado-gado dan yang satu suka bakso goreng, bukan juga yang satu kaya raya dan yang satu biasa-biasa saja. Tidak cocok itu karena yang satu berbahagia secara batin, yang satu tidak.

Karena pengalaman hidup yang saya jalani mengajarkan kalau ketidakcocokan fisik itu umumnya terjadi karena ketidakcocokan batin. Saya orang yang pernah mengalami ketidakbahagiaan batin. Jadi, eksekusi secara fisiknya berupa mulut yang pedas, perilaku yang tak bersahabat. Menghakimi dengan secepatnya menjadi sebuah kebiasaan, selalu ingin mendapat prioritas.

Dengan kondisi seperti itu saya masuk ke dalam sebuah pertemanan dan perkumpulan. Karena anggota dan teman-teman yang lain memiliki kebahagiaan batin, dan saya tidak, maka friksi selalu terjadi.

Orang yang batinnya berbahagia, ia sudah tak lagi mencari-cari kesalahan atau kelemahan teman-temannya, ia menjalani pertemanan atau sebuah hubungan sosial tanpa perlu mematok standar. Sementara saya dengan kondisi batin yang tidak berbahagia selalu menjadi tidak puas melihat content yang ada di dalam pertemanan dan perkumpulan itu.
Karena itu, kehidupan sosial yang sehat dan subur harus dimulai dengan kebahagiaan batin manusianya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar