Bahagia
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
22 Oktober
2017
Sepulang dari menghadiri
pesta ulang tahun seorang teman yang berlangsung dengan kekocakan yang luar
biasa sampai perut dan pipi seperti kaki yang keram, saya berpikir bahwa
sebuah acara itu bisa dinikmati kalau orang-orang yang hadir tak hanya
berbahagia secara lahiriah, tetapi juga secara batiniah.
Fisik
dan batin
Dulu saya ini berpikir
bahwa sebuah acara atau pertemuan dapat memberi rasa bahagia itu karena
semata-mata yang diundang orang-orangnya, tempatnya menyenangkan dan
makanannya enak banget. Belum lagi isi acaranya yang bagus, lagu-lagu yang
membuat badan tak berhenti bergoyang. Bukan juga karena pesta berakhir sampai
subuh, atau dihadiri dengan pribadi kondang yang biasanya mampu mengangkat
gengsi sebuah acara.
Sudah berpuluh kali saya
menghadiri sebuah acara, apa pun bentuk acaranya, secara umum puluhan acara
yang saya hadiri itu membuat orang menyapa dengan tidak tulus, tertawa tak
bisa lepas, semua perilaku dijaga secara ketat.
Mungkin acara yang saya
hadiri itu memang acara yang terpaksa harus melakukan kebohongan perilaku,
karena beberapa di antara puluhan acara itu ada juga yang membuat saya
sebagai undangan bisa berjoget di atas meja dengan kesadaran penuh, dan
hadirin lainnya menerima dengan senang hati.
Saya bisa menjadi diri
sendiri tanpa harus melakukan kebohongan perilaku. Kalau saya menuliskan
dengan yakin bahwa undangan lainnya menerima dengan senang hati itu, karena
saya tidak diusir, saya tidak diperintahkan turun dari meja, tetapi keesokan
harinya nyaris semua orang di lingkungan pertemanan saya tahu apa yang saya
lakukan di atas meja itu, dan akan disimpan dalam memori ingatan mereka
sepanjang masa.
Acara makan siang yang
saya hadiri di atas, adalah sebuah makan siang yang sederhana, hanya dihadiri
teman-teman dekat teman saya itu. Suasana yang dihadirkan sangat bersahaja
dan dipenuhi dengan senda gurau yang bisa saya rasakan tidak dibuat-buat.
Karena itu, saya berpikir,
senda gurau yang tak dibuat-buat, dapat menjadi dirinya sendiri tanpa takut
dihakimi tak santun, atau dapat mengabadikan diri apa adanya tanpa harus
dipoles oleh kamera atau teknologi yang mampu membuat wajah jadi kinclong
tanpa operasi sebelum diunggah ke media sosial, hanya bisa dilakukan karena
kebahagiaan batin yang tak membutuhkan dukungan dari kebahagiaan fisik.
Cocok
vs tidak cocok
Bahagia batin itu tidak
sama dengan kebahagiaan fisik. Kebahagiaan fisik itu bisa luntur di tengah
jalan hanya karena hal-hal kecil yang kemudian melahirkan kekecewaan,
ketersinggungan, dan berakhir dengan tidak berteman lagi, tidak masuk
perkumpulan itu lagi dan bisa jadi bermusuhan.
Cocok itu bukan karena
sama-sama senang makan, bukan sama-sama senang melakukan kegiatan yang sama,
bukan memiliki latar belakang pendidikan dan keluarga yang sama atau sepadan.
Cocok itu kalau perbedaan yang banyak di antara teman atau anggota sebuah
perkumpulan itu tidak dilihat sebagai sebuah halangan, tidak memberi
inspirasi untuk mengotak-ngotakkan, tetapi dilihat sebagai medium bahwa
kehidupan itu penuh warna.
Nah, menurut saya,
seseorang mampu melihat bahwa kehidupan itu penuh warna tanpa harus
memaksakan orang lain memiliki warna yang sama, itu karena batinnya yang
berbahagia. Kebahagiaan batin itu pengikat terkuat sebuah hubungan
pertemanan, keluarga, organisasi sehingga dapat berlangsung langgeng.
Sementara di sisi yang
berbeda, ketidakcocokan itu bukan karena yang satu suka gado-gado dan yang
satu suka bakso goreng, bukan juga yang satu kaya raya dan yang satu
biasa-biasa saja. Tidak cocok itu karena yang satu berbahagia secara batin,
yang satu tidak.
Karena pengalaman hidup
yang saya jalani mengajarkan kalau ketidakcocokan fisik itu umumnya terjadi
karena ketidakcocokan batin. Saya orang yang pernah mengalami
ketidakbahagiaan batin. Jadi, eksekusi secara fisiknya berupa mulut yang
pedas, perilaku yang tak bersahabat. Menghakimi dengan secepatnya menjadi
sebuah kebiasaan, selalu ingin mendapat prioritas.
Dengan kondisi seperti itu
saya masuk ke dalam sebuah pertemanan dan perkumpulan. Karena anggota dan
teman-teman yang lain memiliki kebahagiaan batin, dan saya tidak, maka friksi
selalu terjadi.
Orang yang batinnya
berbahagia, ia sudah tak lagi mencari-cari kesalahan atau kelemahan
teman-temannya, ia menjalani pertemanan atau sebuah hubungan sosial tanpa
perlu mematok standar. Sementara saya dengan kondisi batin yang tidak
berbahagia selalu menjadi tidak puas melihat content yang ada di dalam pertemanan
dan perkumpulan itu.
Karena itu, kehidupan
sosial yang sehat dan subur harus dimulai dengan kebahagiaan batin
manusianya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar