Ijtihad OKI untuk Kemerdekaan Palestina
Zuhairi Misrawi ;
Peneliti Pusat Pemikiran dan
Politik Timur Tengah,
The Middle East Institute
|
MEDIA INDONESIA,
07 Maret 2016
ORGANISASI Kerja Sama
Islam (OKI) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa di Jakarta
pada 6-7 Maret. KTT kali ini banyak mendapatkan perhatian dunia internasional
karena secara khusus membahas Palestina dan Jerusalem.
Konon, KTT Luar Biasa
itu atas inisiatif Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang meminta Presiden
Jokowi untuk menggelar KTT Luar Biasa di Jakarta. Presiden Mahmoud Abbas
memandang Indonesia dapat menjadi fasilitator, bahkan mungkin mediator untuk
mengakselerasikan kemerdekaan Palestina, mengingat Presiden Jokowi berjanji
dalam pemilu presiden yang lalu akan memprioritaskan politik luar negeri pada
kemerdekaan Palestina.
Dalam Konferensi
Asia-Afrika yang lalu, Presiden Jokowi juga meminta negara-negara Asia-Afrika
agar melunasi komitmen mereka sejak 1955 untuk memikirkan bersama dan
mendorong secara proaktif dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Harus diakui, isu
Palestina dalam lima tahun terakhir, khususnya pascarevolusi yang
menggelinding di kawasan Timur Tengah, hampir tenggelam dalam perbincangan
publik. Kecamuk politik di kawasan sama sekali tidak menguntungkan bagi
Palestina. Persoalan domestik yang melilit Mesir, Tunisia, Libia, Yaman,
Bahrain, dan Suriah telah meminggirkan isu Palestina sebagai pembahasan
utama, seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu, Israel
terus melakukan agresi ke Tepi Barat dan Gaza.
Di Tepi Barat, Israel
semakin mengukuhkan cengkreman mereka dengan melakukan pendudukan di wilayah
Jerusalem Timur yang merupakan wilayah Palestina. Di Gaza, Israel berhasil
menutup pintu masuk ke Gaza dan melakukan agresi militer secara membabi buta.
Akibat imprealisme
yang dilakukan Israel sejak awal 1940-an, yang berujung pada hadirnya negara
Israel di tanah Palestina pada 1948, Palestina menghadapi masalah yang sangat
serius, yakni eksodus besar-besaran warga Palestina ke Yordania, Amman,
Mesir, Libanon, Suriah, dan lain-lain. Ada jutaan warga Palestina menjadi
pengungsi. Hingga kini, mereka tidak bisa kembali ke tanah kelahiran mereka
yang kudus itu.
Tidak hanya itu,
Palestina tertatih-tatih guna merenggut hak dan kedaulatan mereka untuk
menjadi negara yang merdeka. Perjuangan menuju kemerdekaan Palestina selalu
berakhir dengan kegagalan.
Ada dua hal yang
selama ini menghambat jalan menuju kemerdekaan Palestina. Pertama, veto
Amerika Serikat yang didukung negara-negara sekutu mereka untuk menggagalkan
kemerdekaan Palestina. Sikap Amerika Serikat yang sangat ajek itu disebabkan
kuatnya lobi Israel di kongres dan senat Amerika Serikat.
Presiden Obama dalam
kampanye pemilu presiden berjanji akan memuluskan proposal dua negara hidup
berdampingan secara damai antara Palestina dan Israel (two states solution). Namun, dalam praktiknya, Obama cenderung
pasif dalam mewujudkan proposal tersebut.
Nyata sekali, Obama
tidak bisa berkutik pada tekanan lobi Israel sehingga memilih untuk tidak
bersikap progresif bagi kemerdekaan Palestina.
Kedua, konflik
internal faksi-faksi di dalam Palestina, khususnya Fatah dan Hamas. Masalah
ini merupakan ganjalan serius yang dihadapi Palestina karena faktanya
Palestina terbelah dalam dua faksi politik besar yang menyulitkan jalan
menuju kemerdekaan mereka. Konflik internal faksi-faksi di dalam Palestina
menjadi masalah serius karena tidak sekadar mewujudkan persatuan Palestina,
tetapi juga menyamakan sikap politik terkait dengan Israel.
Keengganan Amerika
Serikat dan sekutu mereka dalam melanjutkan perundingan perdamaian menuju two states solution disebabkan Hamas
dikenal sebagai faksi yang secara konsisten menolak kehadiran Israel sebagai
negara yang berdaulat.
Faktanya, Palestina
belum mempunyai konsensus nasional terkait dengan Israel. Apakah menerima
atau menolak kehadiran negara Israel? Selain itu, Palestina hingga saat ini
belum mempunyai konstitusi yang dapat dijadikan sebagai common platform bagi seluruh kelompok dan faksi politik. Friksi
antara Hamas dan Fatah itu menjadi masalah serius yang sedang dihadapi
Palestina karena hingga saat ini belum ada pihak yang mampu merepresentasikan
Pelestina.
KTT OKI
KTT Luar Biasa OKI
yang digelar di Jakarta dapat menjadi angin segar untuk membincangkan kembali
isu Palestina pada tataran global.
Ijtihad OKI mengangkat
isu Palestina dalam KTT Luar Biasa ini merupakan terobosan penting karena
secara historis kelahiran OKI dalam rangka menumbuhkan solidaritas dunia
Islam untuk memberikan dukungan penuh pada Palestina, yang digelorakan
pertama kali di Rabath, Maroko, pada 1969.
Setelah kurang lebih
49 tahun kemudian, Palestina masih menghadapi masalah yang cukup pelik. Bahkan
tidak kalah pelik pada masa itu karena faktanya wilayah Palestina terus
menyusut dan kehidupan mereka makin memburuk akibat agresi Israel yang
berlangsung hampir setiap hari.
Karena itu,
menyelesaikan masalah Palestina perlu dukungan yang lebih besar, khususnya
dari negara-negara yang bergabung dalam OKI. Sebagai organisasi yang beranggotakan
57 negara yang berpenduduk mayoritas muslim, hendaknya OKI mampu merumuskan
langkah-langkah besar dan strategis untuk kemerdekaan Palestina. Bahkan, jika
diperlukan, OKI dapat menjadikan masalah Palestina sebagai isu utama dan
prioritas yang harus mendapatkan perhatian serius.
Isu Palestina
merupakan isu sentral yang mendapatkan dukungan publik sangat masif di dunia
muslim. Hal tersebut bisa dilihat pada momen Israel melakukan agresi ke Tepi
Barat dan Gaza, reaksi dunia muslim sangat luar biasa. Mereka berpihak kepada
Palestina dan mengecam keras Israel. Dukungan publik yang begitu besar ini
sebenarnya merupakan modal yang sangat luar biasa bagi para pemimpin
negara-negara OKI untuk menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai agenda
prioritas.
Di sini diperlukan
ijtihad yang serius dari OKI untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam
rangka kemerdekaan Palestina.
Pertama, OKI harus
mendesak seluruh faksi di dalam Palestina untuk duduk bersama mengedepankan
kepentingan bersama negara Palestina daripada kepentingan sektarian dan faksi
masing-masing. Semua pihak harus mempunyai tekad bulat untuk mewujudkan
negara Palestina yang dapat memayungi dan melindungi seluruh warga negara. Tidak
ada lagi ego sektarian antara Hamas dan Fatah, antara Gaza dan Tepi Barat. Faktanya,
tidak mungkin negara Palestina dapat berdiri kukuh dan berdaulat, selama
setiap kelompok hanya memikirkan pihaknya sendiri-sendiri.
Palestina harus
mempunyai satu visi, kebangsaan yang dilandaskan pada prinsip kewarganegaraan
dan kehendak untuk membumikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini,
Palestina bisa belajar dari Indonesia dari pengalaman Pancasila. Negara
Palestina yang akan dibangun, yaitu negara Pancasila yang menjamin keragaman
dengan menjadikan ketuhanan yang berkeadaban sebagai fondasi bersama. Hal ini
penting mengingat pemeluk agama-agama di Palestina tidak hanya Islam, tetapi
sebagian dari mereka Kristen dan Yahudi.
Kedua, OKI harus
membentuk 'Lobi Palestina' di Amerika Serikat, yang bertugas melakukan lobi
ke kongres dan senat. Harus diakui, selama ini 'Lobi Israel' sangat kuat di
Amerika Serikat sehingga siapa pun yang memimpin AS tidak mempunyai
keberanian untuk menyentuh isu Palestina. Nah, kini saat yang tepat agar OKI
membentuk 'Lobi Palestina' untuk menjelaskan kepada elite politik dari Partai
Demokrat dan Partai Republik bahwa isu Palestina mempunyai beban sejarah dan
beban politik yang besar.
Kelompok ekstremis
kerap berlindung dan menjadikan isu Palestina sebagai jembatan untuk
memperbesar pengaruh mereka. Jika AS mampu mendukung jalan menuju kemerdekaan
Palestina, dunia akan jauh lebih aman dan damai. Kelompok ekstremis tidak
akan mempunyai alasan lagi untuk menjadikan isu Palestina sebagai komoditas
politik mereka.
Sekali lagi, Indonesia
dapat memprakarsai langkah besar ini untuk menyongsong era baru bagi
Palestina. Itulah ijtihad politik yang mesti dilakukan OKI, khususnya
Indonesia, sehingga isu Palestina tidak hanya menjadi bahasan yang kering
dari konferensi ke konferensi. Seperti sering dikumandangkan Presiden Jokowi,
saatnya kita perlu kerja, kerja, dan kerja yang nyata untuk mewujudkan
kemerdekaan Palestina. Semoga ijtihad ini dapat menjadi 'jihad' yang akan
melahirkan Palestina yang merdeka dan berdaulat. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar