Pendidikan Keluarga
dan Pembentukan Karakter Bangsa
Ali Usman ;
Pemerhati Pendidikan
|
MEDIA INDONESIA,
07 Maret 2016
LEMBAGA pendidikan
umumnya memiliki empat fungsi utama, yaitu sarana transfer ilmu pengetahuan,
konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, penguasaan life skill dan teknologi, serta sarana pembangunan karakter
(Ismail, dkk, 2006: 76). Fungsi pendidikan itu seharusnya berjalan sesuai
dengan proporsi yang seimbang sehingga menghasilkan keluaran yang kompeten
dalam bidang ilmu pengetahuan, bukan saja mampu mengandalkan kemampuan pikir
dan kognitif yang baik, melainkan juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur.
Namun, pada
kenyataannya, dari keempat fungsi pendidikan itu, hanya tiga fungsi yang
berjalan efektif, yaitu transfer ilmu, konservasi dan pengembangan ilmu,
serta fungsi penguasaan life skill
dan teknologi.
Fungsi keempat, yaitu
sarana pembangunan karakter, masih terus diperjuangkan agar terimplementasi
untuk mengatasi persoalan moral yang menimpa generasi bangsa saat ini.
Ketimpangan itu
menyebabkan ketidakseimbangan keluaran antara kemampuan kognitif dengan
pembentukan karakter yang positif.
Kemampuan kognitif
yang tidak diimbangi dengan karakter yang positif mengakibatkan munculnya
pribadi-pribadi yang cacat secara nilai.
Oleh sebab itu, satu
di antara 'pekerjaan rumah' sistem dan lembaga pendidikan di Indonesia ialah
mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai pembentuk karakter bangsa
yang tidak hanya bertugas sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan,
pengembangan keilmuan, penguasaan life
skill, dan teknologi, tetapi juga sebagai wahana internalisasi
nilai-nilai luhur dan ideal bagi masyarakat. Nilai-nilai moral merupakan
salah satu unsur dalam nilai-nilai luhur yang dimaksud.
Thomas Lickona,
penulis buku Educating for Character:
How Our School can Teach Respect and Responsibility (1992: 12-22)
mengemukakan sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran jika memiliki 10
tanda-tanda berikut, yaitu meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,
membudayakan ketidakjujuran; sikap fanatik terhadap kelompok; rendahnya rasa
hormat kepada orangtua dan guru; semakin kaburnya moral baik dan buruk;
penggunaan bahasa yang memburuk; meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; rendahnya rasa tanggung jawab
sebagai individu dan sebagai warga negara; menurunnya etos kerja; dan adanya
rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.
Uraian itu dapat
disimpulkan ke dalam setidaknya dua hal yang sekaligus juga menjadi
permasalahan. Pertama, indikasi perilaku amoral, sebagaimana dipetakan Thomas
Lickona, memperoleh relevansi dominan terjadi di Indonesia. Kedua,
memperbaiki kondisi krisis moral tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada
pundak lembaga pendidikan formal, tetapi juga nonformal di luar
sekolah---yang dalam hal ini pendidikan keluarga.
Pendidikan formal yang
dimaksud ialah mengacu ke pola pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah atau swasta. Pendidikan nonformal sebaliknya,
yaitu proses pembelajaran di luar jam sekolah formal. Dalam ilmu pendidikan,
antara pendidikan formal dan nonformal saling terkait dan saling melengkapi
untuk membentuk kepribadian siswa yang baik dan bermoral.
Pendidikan karakter dan peran keluarga
Pendidikan di masa
lampau umumnya belum memerlukan pendidikan dalam arti formalisme yang
mendorong tumbuhnya kompetisi kecerdasan satu sama lain. Namun, yang menjadi
pusat dan syarat pendidikan ialah berupa kesejahteraan rumah tangga.
Dengan kata lain,
pendidikan berpusat pada kesejahteraan dan keutuhan hidup bersama antara ibu
dan bapak. Sebab, telah menjadi adat kebiasaan yang turun-temurun bahwa di
pundak ibu dan bapaklah tanggung jawab segala hal ihwal kehidupan anak
dibebankan. Dengan kebiasaan itu, para ibu dan bapak merasa harus bertindak
sebagai contoh (kaca benggala) untuk anak cucu dan keturunan mereka
selanjutnya (Anshory dan Pembayun, 2008: 12).
Keluarga merupakan
ormas kecil. Hubungan di antara anggota keluarga tidak dikendalikan aturan
umum yang bersifat impersonal dan tidak dapat diubah. Namun, itu selalu dan
biasanya ada dalam suasana kebebasan.
Anak harus belajar
menghormati peraturan dan bertanggung jawab atas kewajibannya. Selanjutnya,
sekolah mengembangkan tanggung jawab dan menghormati peraturan secara lebih
dewasa.
Terdapat jarak yang
lebar antara kualitas moral anak ketika ia meninggalkan keluarganya dan
kualitas moral yang harus menjadi tujuan.
Diperlukan perantara
yang kondusif bagi perkembangan moral anak.
Sekolah sebagai
perantara yang merupakan komunitas baru bagi anak diharapkan dapat membantu
mengasah dan memupuk perkembangan moral anak melalui metode dan sistem
pendidikan yang baik.
Ada beberapa alasan
mengapa keluarga merupakan tempat terbaik bagi pendidikan moral anak.
Pertama, ikatan darah. Keterikatan darah membawa perasaan bahwa tidak ada
yang lebih dipedulikan seorang ayah atau ibu selain anak, atau tidak ada yang
lebih peduli kepada seorang anak kecuali orangtua. Dalam hal ini, anak
mendapatkan kebutuhan utamanya, yaitu cinta kasih, yang akan membentuk
kepercayaan dalam dirinya kalau kebaikan itu ada dan dialami.
Kedua, kekuasaan dan
pengaruh. Orangtua berkuasa atas anak mereka, baik secara fisik maupun
psikologis. Bahkan, hidup dan mati seorang anak dapat dikatakan bergantung
pada orangtua. Kekuasaan biasanya terwujud dalam bentuk pola pengasuhan yang diterapkan
orangtua terhadap anak. Dalam ilmu psikologi, pola pengasuhan dikenal dengan
istilah parenting style.
Ketiga, harapan. Ada
harapan pada setiap orangtua agar anak-anak menjadi manusia yang baik, bahkan
jauh lebih baik daripada orangtuanya.
Harapan setiap
orangtua ialah anak selalu menuju ke arah yang baik dan positif. Hal itu
mendorong orangtua untuk mengarahkan anak menuju pada apa yang dia inginkan
(Sofia dan Herdiansyah, 2009: 896).
Keluarga dan
pendidikan sekolah yang selalu membiasakan dan menghargai kejujuran membuat
anak akan merasa salah dan tersiksa kalau tidak jujur. Kebiasaan itu pada
urutannya akan membentuk pribadi jujur. Ketika anak berbuat curang, tebersit
perasaan bersalah dan tidak percaya diri sebagaimana berangkat sekolah tidak
mandi atau tidak gosok gigi. Dengan cara itu, cita-cita pembentukan karakter
bangsa dapat terwujud dengan melakukan interkoneksi peran antara lembaga
pendidikan formal (sekolah/lembaga pendidikan) dan nonformal yang dijalankan
keluarga. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar