Senin, 14 Maret 2016

Intoleransi dalam Tiga Irisan

Intoleransi dalam Tiga Irisan

Max Regus ;   Tengah menulis disertasi tentang Minoritas dan HAM
di Universitas Tilburg, Belanda
                                             MEDIA INDONESIA, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

EDITORIAL Media Indonesia (26/2/2016)-Politisasi Berujung Intoleransi-melengkapi informasi seputar kian menumpuknya persoalan hubungan sosial antarkomunitas. Sejumlah lembaga penelitian sekaligus organisasi pendukung kebebasan beragama, seperti Wahid Institute dan Setara Institute, dalam beberapa tahun belakangan ini, memublikasikan kasus-kasus intoleransi di ranah publik. Satu kesimpulan yang selalu terulang, kontestasi perebutan kuasa di ranah politik lokal dianggap sebagai sumbu dari ledakan aksi intoleran yang menggenangi ruang sosial. Secara konvensional, alat analisis untuk mengukur intoleransi, selalu menggunakan basis pelaku. Hal yang selalu menjadi perhatian dari sejumlah lembaga pengkaji toleransi sosial di level internasional, seperti The Pew Research Center (PRC).

Pada tiga tahun terakhir, misalnya lembaga ini secara tetap menyuguhkan laporan dengan berpijak pada analisis social-based intolerance dan state-based intolerance. Intoleransi selalu memiliki sosiologis (sosial) sekaligus politik (negara). Namun, ada ruang kosong yang tidak terjelaskan dengan lengkap bagaimana keterbatasan konstitusional, penampang kultural, dan pergeseran politik bekerja di antara dua aspek konvensional ini. Intoleransi, dengan demikian, tidak hanya memiliki dua irisan, bahkan tiga, atau mungkin lebih.

Demokrasi angka

Benar bahwa sentimen agama yang masuk industri kekuasaan-atau bisa menyebutnya dengan 'kapitalisasi agama'-menjadi salah satu pemicu represi sejumlah komunitas minoritas di Indonesia. Di satu pihak, minoritas selalu jadi sasaran tatapan kebencian kelompok mayoritas. Di pihak lain, kekuasaan yang lebih condong tunduk pada posisi mayoritas akan meniadakan proteksi politik bagi komunitas minoritas. Para penguasa lebih mudah menjaga hubungan baik dengan basis mayoritas dari dukungan politik. Tidak terbantahkan, model semacam ini dapat ditaruh dalam kerangka imbas sesat 'demokrasi angka' yang menjadi 'permen paling murah' bagi para maniak kekuasaan sejauh ini. Mudah untuk dikatakan, dengan membaca latar kultural, diskursus soal pemisahan antara agama dan politik-atau argumentasi yang mendesakkan agar politisi (politik) menjauhkan agama dari permainan politik (kekuasaan)-sama sekali tidak relevan di Indonesia.

Ini jadi salah satu isu paling sensitif dan menantang untuk dipecahkan secara tuntas oleh para akademisi-ilmuwan sekaligus dicarikan kerangka kebijakan politik yang tepat oleh para penguasa dengan kadar kenegarawanan yang menempel dalam tindak-perilaku mereka. Meskipun konstitusi, misalnya menggaransi secara ketat perlindungan politik bagi komunitas minoritas, tetap saja hal itu tidak diikuti dengan konstruksi aturan yang cukup rinci, terutama di level lokal sehingga menjadi nyata, negara pusat tidak bisa menindak perilaku pemimpin lokal-sebagai aktor negara-yang melancarkan pemusnahan terhadap individu dan anggota kelompok kecil, minoritas, dan pinggiran.

Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla-yang dianggap pro rakyat-tidak mampu menyelesaikan persoalan yang tersisa ini. Tentu saja, bukan semata-mata karena ketiadaan kehendak politik, melainkan terutama karena 'infrastruktur hukum' yang tidak memadai untuk mendedahkan langkah ketat dalam konteks ini. Negara, ketika itu, memang ironis, selalu jadi salah satu irisan intoleransi sosial.

Basis sosial

Meskipun agak sulit menyebut semuanya secara lengkap, benar bahwa kekerasan sosial memiliki genealogi unik di Indonesia. Sekian lama, ruang sosial mereproduksi kekerasan ke dalam sekian banyak bentuk. Aktor dan target dari kekerasan bergeser dengan cepat pada setiap sesi perubahan politik. Kekerasan yang bekerja sangat teratur di masa lalu, menggumpal dalam banyak paket. Misalnya, yang pernah jadi bahan studi seperti operasi militer dan penembakan misterius, memupuk kultur yang sama di level sosial pada hari-hari ini. Irisan lain intoleransi ialah ruang sosial yang terjangkit candu kekerasan.

Riset-riset yang dilakukan sejumlah peminat studi Indonesia, dalam satu dekade terakhir ini membuktikan para pelaku utama kekerasan dan 'motor' serangan intoleran terhadap minoritas, memiliki hubungan langsung dengan pusat-pusat otoritas di masa lalu seperti militer dan kawan-kawannya. Hubungan itu luput dari pantauan di masa akhir pemerintahan HM Soeharto, ketika semua kekuatan politik dan kekuasaan secara sendiri-sendiri, ingin meluputkan diri dari perlawanan terbuka rakyat. Studi Ian Wilson (2005), misalnya menyebut kelompok ini dengan-'pretty gangster'-yang memiliki semacam privilese melancarkan serangan kekerasan di ranah publik.

Jika kita amati dengan teliti, pada simpul ini, para pendukung intoleransi umumnya menghubungkan motivasi mereka pada dua tiang pembenar. Pertama, sikap intoleran dianggap sebagai tindakan suci untuk membersihkan nilai-nilai moral yang terafiliasi kepada laku mayoritas. Yang disasar sudah jelas, semua yang mereka kategorikan sebagai 'kemaksiatan' dan 'penodaan spiritual' dan mengancam fondasi dogmatis keyakinan mayoritas tertentu. Pembersihan itu bisa dialamatkan kepada siapa saja yang masuk ke definisi semacam ini. Kedua, para pelaku intoleran, misalnya selalu menggunakan 'ketidakberdayaan' negara mengurus moralitas sosial (publik) sebagai justifikasi aksi mereka.

Lembaran bisu konstitusi

Suatu waktu di 2013, saya bertanya kepada Direktur Human Rights Working Groups (HRWG), Rafendi Djamin, tentang tendensi perusakan hak-hak minoritas agama di Indonesia. Pendapat yang cukup umum selalu berkaitan dengan 'ketidakberdayaan' lembaga dan 'government actors' dalam memenuhi kehendak konstitusi dalam menjamin keberadaan kelompok minoritas. Jelas, misalnya hukum internasional menekankan tugas utama negara di ranah penegakan hak asasi manusia, terutama memberikan prioritas perlindungan bagi warga minoritas. Namun, ada paradoks yang cukup jelas terlihat bagaimana negara mengalami keterpecahan di dalam dirinya sendiri. 'Negara lokal' seolah memiliki privilese sendiri dalam mengatur hubungan sosial di level lokal. Namun, persoalan serius sebetulnya, sebagai irisan ketiga intoleransi adalah 'inkonsistensi' normatif-filosofis apa yang disebut dengan pemihakan dan pendirian asasi-fundamental konstitusi.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana semakin tidak pastinya nasib dan masa depan minoritas di Indonesia ketika konstitusi bisa dikalahkan oleh satu butir aturan/regulasi yang dikeluarkan pejabat politik lokal berdasarkan nafsu kekuasaan di level daerah/lokal. Tumpang-tindih hukum, aturan, regulasi-lebih celakanya-ketika konstitusi hanya sekadar 'lembaran bisu'-menjadikan intoleransi sebagai ulang-tutur dalam kehidupan bersama. Kita baru bisa mengharapkan adanya perubahan ketika institusi dan aktor yang berkewajiban menghidupkan pesan imperatif konstitusi, mau bekerja dengan ikhlas demi sebagian warga yang selalu ditampar kekerasan sosial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar