Intoleransi dalam Tiga Irisan
Max Regus ;
Tengah menulis disertasi
tentang Minoritas dan HAM
di Universitas Tilburg, Belanda
|
MEDIA INDONESIA,
05 Maret 2016
EDITORIAL Media
Indonesia (26/2/2016)-Politisasi Berujung Intoleransi-melengkapi informasi
seputar kian menumpuknya persoalan hubungan sosial antarkomunitas. Sejumlah
lembaga penelitian sekaligus organisasi pendukung kebebasan beragama, seperti
Wahid Institute dan Setara Institute, dalam beberapa tahun belakangan ini,
memublikasikan kasus-kasus intoleransi di ranah publik. Satu kesimpulan yang
selalu terulang, kontestasi perebutan kuasa di ranah politik lokal dianggap
sebagai sumbu dari ledakan aksi intoleran yang menggenangi ruang sosial.
Secara konvensional, alat analisis untuk mengukur intoleransi, selalu
menggunakan basis pelaku. Hal yang selalu menjadi perhatian dari sejumlah
lembaga pengkaji toleransi sosial di level internasional, seperti The Pew
Research Center (PRC).
Pada tiga tahun
terakhir, misalnya lembaga ini secara tetap menyuguhkan laporan dengan
berpijak pada analisis social-based
intolerance dan state-based
intolerance. Intoleransi selalu memiliki sosiologis (sosial) sekaligus
politik (negara). Namun, ada ruang kosong yang tidak terjelaskan dengan
lengkap bagaimana keterbatasan konstitusional, penampang kultural, dan
pergeseran politik bekerja di antara dua aspek konvensional ini. Intoleransi,
dengan demikian, tidak hanya memiliki dua irisan, bahkan tiga, atau mungkin
lebih.
Demokrasi angka
Benar bahwa sentimen
agama yang masuk industri kekuasaan-atau bisa menyebutnya dengan
'kapitalisasi agama'-menjadi salah satu pemicu represi sejumlah komunitas
minoritas di Indonesia. Di satu pihak, minoritas selalu jadi sasaran tatapan
kebencian kelompok mayoritas. Di pihak lain, kekuasaan yang lebih condong
tunduk pada posisi mayoritas akan meniadakan proteksi politik bagi komunitas
minoritas. Para penguasa lebih mudah menjaga hubungan baik dengan basis
mayoritas dari dukungan politik. Tidak terbantahkan, model semacam ini dapat ditaruh
dalam kerangka imbas sesat 'demokrasi angka' yang menjadi 'permen paling
murah' bagi para maniak kekuasaan sejauh ini. Mudah untuk dikatakan, dengan
membaca latar kultural, diskursus soal pemisahan antara agama dan
politik-atau argumentasi yang mendesakkan agar politisi (politik) menjauhkan
agama dari permainan politik (kekuasaan)-sama sekali tidak relevan di
Indonesia.
Ini jadi salah satu
isu paling sensitif dan menantang untuk dipecahkan secara tuntas oleh para
akademisi-ilmuwan sekaligus dicarikan kerangka kebijakan politik yang tepat
oleh para penguasa dengan kadar kenegarawanan yang menempel dalam
tindak-perilaku mereka. Meskipun konstitusi, misalnya menggaransi secara
ketat perlindungan politik bagi komunitas minoritas, tetap saja hal itu tidak
diikuti dengan konstruksi aturan yang cukup rinci, terutama di level lokal
sehingga menjadi nyata, negara pusat tidak bisa menindak perilaku pemimpin
lokal-sebagai aktor negara-yang melancarkan pemusnahan terhadap individu dan
anggota kelompok kecil, minoritas, dan pinggiran.
Pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla-yang dianggap pro rakyat-tidak mampu menyelesaikan
persoalan yang tersisa ini. Tentu saja, bukan semata-mata karena ketiadaan
kehendak politik, melainkan terutama karena 'infrastruktur hukum' yang tidak
memadai untuk mendedahkan langkah ketat dalam konteks ini. Negara, ketika
itu, memang ironis, selalu jadi salah satu irisan intoleransi sosial.
Basis sosial
Meskipun agak sulit
menyebut semuanya secara lengkap, benar bahwa kekerasan sosial memiliki genealogi
unik di Indonesia. Sekian lama, ruang sosial mereproduksi kekerasan ke dalam
sekian banyak bentuk. Aktor dan target dari kekerasan bergeser dengan cepat
pada setiap sesi perubahan politik. Kekerasan yang bekerja sangat teratur di
masa lalu, menggumpal dalam banyak paket. Misalnya, yang pernah jadi bahan
studi seperti operasi militer dan penembakan misterius, memupuk kultur yang
sama di level sosial pada hari-hari ini. Irisan lain intoleransi ialah ruang
sosial yang terjangkit candu kekerasan.
Riset-riset yang
dilakukan sejumlah peminat studi Indonesia, dalam satu dekade terakhir ini
membuktikan para pelaku utama kekerasan dan 'motor' serangan intoleran
terhadap minoritas, memiliki hubungan langsung dengan pusat-pusat otoritas di
masa lalu seperti militer dan kawan-kawannya. Hubungan itu luput dari
pantauan di masa akhir pemerintahan HM Soeharto, ketika semua kekuatan
politik dan kekuasaan secara sendiri-sendiri, ingin meluputkan diri dari
perlawanan terbuka rakyat. Studi Ian Wilson (2005), misalnya menyebut
kelompok ini dengan-'pretty gangster'-yang memiliki semacam privilese
melancarkan serangan kekerasan di ranah publik.
Jika kita amati dengan
teliti, pada simpul ini, para pendukung intoleransi umumnya menghubungkan
motivasi mereka pada dua tiang pembenar. Pertama, sikap intoleran dianggap
sebagai tindakan suci untuk membersihkan nilai-nilai moral yang terafiliasi
kepada laku mayoritas. Yang disasar sudah jelas, semua yang mereka
kategorikan sebagai 'kemaksiatan' dan 'penodaan spiritual' dan mengancam
fondasi dogmatis keyakinan mayoritas tertentu. Pembersihan itu bisa
dialamatkan kepada siapa saja yang masuk ke definisi semacam ini. Kedua, para
pelaku intoleran, misalnya selalu menggunakan 'ketidakberdayaan' negara
mengurus moralitas sosial (publik) sebagai justifikasi aksi mereka.
Lembaran bisu konstitusi
Suatu waktu di 2013,
saya bertanya kepada Direktur Human Rights Working Groups (HRWG), Rafendi
Djamin, tentang tendensi perusakan hak-hak minoritas agama di Indonesia.
Pendapat yang cukup umum selalu berkaitan dengan 'ketidakberdayaan' lembaga
dan 'government actors' dalam memenuhi kehendak konstitusi dalam menjamin
keberadaan kelompok minoritas. Jelas, misalnya hukum internasional menekankan
tugas utama negara di ranah penegakan hak asasi manusia, terutama memberikan
prioritas perlindungan bagi warga minoritas. Namun, ada paradoks yang cukup
jelas terlihat bagaimana negara mengalami keterpecahan di dalam dirinya
sendiri. 'Negara lokal' seolah memiliki privilese sendiri dalam mengatur
hubungan sosial di level lokal. Namun, persoalan serius sebetulnya, sebagai
irisan ketiga intoleransi adalah 'inkonsistensi' normatif-filosofis apa yang
disebut dengan pemihakan dan pendirian asasi-fundamental konstitusi.
Tidak dapat
dibayangkan bagaimana semakin tidak pastinya nasib dan masa depan minoritas
di Indonesia ketika konstitusi bisa dikalahkan oleh satu butir
aturan/regulasi yang dikeluarkan pejabat politik lokal berdasarkan nafsu
kekuasaan di level daerah/lokal. Tumpang-tindih hukum, aturan, regulasi-lebih
celakanya-ketika konstitusi hanya sekadar 'lembaran bisu'-menjadikan
intoleransi sebagai ulang-tutur dalam kehidupan bersama. Kita baru bisa
mengharapkan adanya perubahan ketika institusi dan aktor yang berkewajiban
menghidupkan pesan imperatif konstitusi, mau bekerja dengan ikhlas demi
sebagian warga yang selalu ditampar kekerasan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar