Anda Orang yang Ahli dalam Hal Ini, Apa Itu?
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis Kolom “Psikologi”
Kompas Sabtu
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Pada suatu saat,
seorang pria (K, 38 tahun, karyawan perusahaan swasta) datang berkonsultasi
dan ia menyatakan bahwa ia telah berupaya keras untuk membangkitkan perasaan
kasih yang hangat dari istrinya. Ia merasa bahwa beberapa tahun terakhir ini
relasi mereka sangat dingin dan tidak bergairah. Tentu saya tidak begitu saja
percaya pada pernyataan tersebut sehingga akhirnya saya meminta ia memberikan
contoh konkret tentang apa yang sudah ia lakukan untuk istrinya.
K menyatakan bahwa
usia pernikahannya baru sembilan tahun.
Ternyata tiga hal
spesifik yang selama berapa bulan terakhir ini ia lakukan demi perbaikan
relasi dengan istrinya adalah sebagai berikut.
. Ia memasak makanan
kesukaan istrinya pada waktu senggang.
. Ia membawa anak-anak
(tiga orang) pergi ke mal, suatu hari Minggu, agar istri dapat melepas lelah
pada akhir minggu dan bersantai di rumah tanpa diganggu oleh ulah anak-anak
(yang berada dalam kisaran usia 3-7 tahun).
. Ia mau mendengar
keluhan istri dengan kesabaran yang luar biasa tentang sikap ibunya yang
membedakan perlakuan terhadap dirinya dan adik kandungnya. Istri berpendapat
bahwa adiknya sangat dikasihi ibunya, sementara ia merasa dianaktirikan oleh
ibu kandungnya itu. Padahal, terus terang K bosan mendengar keluhan tersebut.
Dari upaya konkret
yang diutarakan K, saya mengambil kesimpulan bahwa K benar-benar menginginkan
perubahan iklim relasi dengan istrinya di rumah. K menginginkan relasi yang
penuh kasih dengan istrinya seperti yang pernah K rasakan selama tiga tahun
pertama pernikahannya. Pada dasarnya upaya K merupakan ide yang luhur dari
seorang suami dan cukup spesifik untuk diri K agar harapannya terpenuhi.
Apalagi jika keinginannya menjalin kembali tali kasih yang lebih hangat
dengan istrinya.
Banyak artikel di
majalah keluarga dan tabloid yang mengungkap berbagai tips untuk membuat
pasangan merasa berharga dan spesial. Namun, kita tidak membutuhkan berbagai
saran dan tips semacam itu, sejauh mana pun jarak emosi kita dengan pasangan
kita atau sesungguh apa pun kita telah mendesak keinginan kita untuk menjalin
relasi kita dengan pasangan menjadi hangat kembali. Tidak satu pun orang di
dunia ini yang ahli dalam membuat hati pasangan kita menjadi lebih hangat
pada diri kita. Mengapa? Karena hal yang paling menghambat kita dalam hal ini
adalah kecenderungan kita untuk justru memusatkan perhatian kita pada apa
yang kita inginkan pasangan memperlakukan diri kita dan apa yang kita tidak
inginkan pasangan memperlakukan kita.
Ketahuilah bahwa
semakin lama kita menjalin kehidupan perkawinan, kian mudah kita jatuh ke
dalam situasi yang membuat diri kita terbiasa tidak berupaya menciptakan
interaksi positif yang menguatkan relasi penuh kasih. Pada awal perkawinan,
biasanya kita mengungkapkan penghargaan dan memberikan penilaian positif
terhadap apa pun yang dilakukan pasangan kita. Semakin lama usia perkawinan
kita, justru kita melakukan kebalikannya, yaitu lebih sering mengkritik dan
menjelekkan hal yang dilakukan pasangan.
Serta-merta saya
berusaha mengingat kapan terakhir mendapatkan ungkapan penghargaan suami,
seperti "Kamu perlakukan anak-anakmu dengan cara yang bijaksana"
atau "Hai, indah sekali karangan bunga yang Mama susun" atau
"Enak banget sup yang Mama buat pagi ini". Ternyata
ungkapan-ungkapan itu lebih terasa masuk ke hati paling dalam dan membuat
saya benar-benar merasa dicintai suami. Efeknya, tentu saja kecintaan saya kepada
suami meningkat kembali sehingga suasana interaksi dalam keluarga menghangat
kembali.
Jadi, ternyata
pendapat bahwa jika kita memiliki keyakinan diri (self esteem) yang optimal
sekalipun, kita tetap memerlukan sejenis ungkapan penghargaan spesifik dari
luar diri kita. Seperti halnya anak-anak yang membutuhkan penghargaan,
seperti "Gitu, dong, ternyata anak Papa bisa merapikan kamar
sendiri" atau "Anakku sudah besar, ya, bisa menata meja makan
dengan rapi". Begitu pula halnya dengan pasangan kita sebagai orang yang
telah dewasa, jelas sesekali ia membutuhkan apresiasi dan penghargaan tulus
yang merupakan suara batin kita agar pasangan kita tetap merasakan bahwa ia
kita cintai sepenuh hati. Pasangan kita membutuhkan ungkapan bersifat
spesifik dengan frekuensi tertentu.
Untuk memecah kebekuan
interaksi antarpasangan dalam perkawinan yang sudah bertahun terjalin,
kiranya kita dapat memulai dari diri kita, yaitu dengan mengubah
kecenderungan mengkritik menjadi mulai menghargai dan mengungkap sisi positif
pasangan dalam keseharian kehidupan berkeluarga. Misalnya, "Papa hebat,
deh, ternyata bisa juga masak steik yang lezat" atau "Enggak perlu
panggil tukang listrik, ya, Pa. Papa sendiri bisa membetulkan sekring di
kamar kita. Jago juga, ya, Papaku ini".
Kembali pada kasus K,
dapat kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan K adalah apa yang sebenarnya K
ingin diperlakukan oleh istrinya sehingga istri K bergeming. K tidak
mencermati apa yang sebetulnya dibutuhkan istrinya. Istri K sebenarnya
membutuhkan pengakuan dan penghargaan dari lubuk hati mendalam K, yaitu
penghargaan dan apresiasi K atas kontribusi istrinya yang bekerja keras di
kantor untuk membantu menunjang kebutuhan ekonomi keluarga. Misalnya,
"Capek, ya, Ma, kerja berat. Terima kasih, ya, mudah-mudahan suatu saat
Papa bisa mendapat kenaikan tunjangan". Selama ini, istri K menilai K
cenderung mengambil manfaat keberadaan istri saja tanpa menyadari kerja keras
istri dalam hal menunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang
sebetulnya secara penuh adalah kewajiban K sebagai kepala keluarga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar