Saat Bulan dan Matahari Asyik Bermadu
Sindhunata ;
Wartawan; Penanggung Jawab
Majalah Basis Yogyakarta;
Kurator Bentara Budaya
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Gerhana adalah fenomena keindahan alam. Karena itu, para perupa
yang hidupnya bergelut dengan keindahan tak ingin ketinggalan menangkap
fenomena itu dalam kanvas mereka. Beberapa karya mereka dapat dinikmati dalam
pameran berjudul Kala Rahu di Bentara Budaya Yogyakarta, 11-20 Maret ini.
Kita mengalami pagi dan malam sebagai kejadian biasa setiap
hari. Karena biasa, kita jadi lupa bahwa sesungguhnya keduanya adalah hal
luar biasa yang dianugerahkan Sang Pencipta. Gerhana matahari membuat pagi
tidak lagi biasa dan kita dibuatnya jadi kagum akan keindahan karunia
semesta. Diah Yulianti menggambarkan gerhana matahari sebagai remang-remang
yang hening dan sunyi, yang bukan cahaya fajar atau senja. Remang-remang itu
adalah suasana persujudan, di mana manusia berada dalam situasi yang tak
dimengertinya. Mereka tertelan ke dalam misteri dan tak tahu harus berbuat
apa, kecuali sujud dan menyembah kebesaranNya.
Seakan bukan kebetulan, gerhana matahari kali ini jatuh
bersamaan dengan perayaan umat Hindu, Saka 1938, hari raya Nyepi, yang
mengajak manusia masuk ke dalam keheningan diri. Dalam suasana hening dan
sepi itu, I Made Palguna menggambarkan bukan hanya matahari, bulan juga
merupakan misteri. Bulan hanyalah kecil, tetapi kali ini bulan mampu menutupi
matahari yang besar hingga gelaplah sebagian wilayah bumi. Maka gerhana
matahari juga mengundang kita untuk mengagumi kebesaran bulan. Tanpa bulan
tiada gerhana matahari. Kita diajak merenungkan kembali tentang perlunya
malam bagi siang, seperti perlunya bulan bagi matahari. Tataplah bulan dan di
sana akan kita melihat ada makhluk seperti lelaki dan wanita, ikan-ikan, dan
cahaya terang. Di bulan pun ternyata ada kehidupan.
Putu Sutawijaya menggambarkan matahari itu sebagai lelaki, yang
kuat dan gagah, mengendap-endap mencari bulan. Ketika bulan ditemukan,
suasana pun menjadi gelap seketika. Bumi harus mau mengalah, ia harus
merelakan pagi menjadi sejenak malam karena di sana matahari dan bulan sedang
asyik terbenam dalam persanggamaan. Bumi harus rela untuk sejenak
ditinggalkan terang agar raja siang dan ratu malam, dua penguasa jagad raya
itu, dapat asyik berpadu di gelapnya malam.
Inilah kisah gerhana di Tanah Jawa. Waktu itu para dewa di
kahyangan sedang meminum tirta amerta, air kehidupan. Tanpa sepengetahuan
mereka, menyusuplah di sana Kala Rahu, asura, yang berupa raksasa. Ulahnya
ini ketahuan oleh Batara Surya, dewa matahari, dan Batara Candra, dewa bulan.
Keduanya berteriak sehingga membuat para dewa tersadar akan kehadiran Kala
Rahu. Batara Wisnu segera memanahkan senjata cakranya, menebas leher Kala
Rahu. Panah itu terlambat karena Kala Rahu sudah telanjur menenggak air
kehidupan sampai di lehernya. Maka, hanya badan Kala Rahu yang mati dan jatuh
ke bumi, sementara kepalanya tetap hidup selamanya. Kala Rahu menaruh dendam
terhadap Batara Surya dan Batara Candra dan ingin selalu menelan mereka. Setiap
kesempatan pelampiasan dendamnya itu tiba, terjadilah di dunia ini gerhana
matahari atau gerhana bulan.
Jadi, gerhana matahari terjadi karena Kala Rahu, "raksasa
menakutkan" itu. Karena itu, Hermanu melukiskan datangnya gerhana
sebagai pratanda bahwa alam akan bergejolak. Badai, hujan petir
menyambar-nyambar, dan tanah longsor. Bahkan, gerhana itu adalah prawarta
bakal terjadi huru-hura. Karena itu, gerhana mengingatkan agar manusia
janganlah terlena. Kala Rahu bukan sekadar raksasa yang menelan matahari,
melainkan kekuatan tak kelihatan yang terus berusaha untuk menggelapkan hidup
kita dan menjerumuskan kita ke dalam kekacauan dan kegelapan. Tidakkah
"gerhana kegelapan hidup" itu juga sedang terjadi dalam hidup
sosial kita sekarang ini? Kegelapan yang membuat kita kehilangan arah, saling
menubruk, dan membuat kita membabi buta mempertahankan kepentingan diri kita
sendiri. Untuk itu, mungkin kita diingatkan akan kedatangan Kala Rahu dengan
gerhananya sekarang ini.
Bergerak cepat
Subandi Giyanto menggambarkan Kala Rahu itu bergerak cepat,
bahkan lebih cepat dari gerak senjata cakra Batara Wisnu yang hendak
mematikannya. Maksudnya, sejenak saja kita terlena, kegelapan akan menelan
kita. Tampaknya itulah yang kini terjadi di negeri ini. Kekuatan gelap itu
demikian berkuasa di antara kita dan kekuatan baik terlambat atau tak sanggup
lagi menghadapinya. Maka, keserakahan, ketamakan, dan kerakusan merajalela di
mana-mana. Hilanglah segala rasa malu, hilang pula tata tepa selira dalam
hidup bernegara. Kekuatan gelap itu menyusup ke mana saja, juga ke dalam
tubuh agama, dan menjadikan orang-orang beragama berperilaku dalam
kemunafikan dan kekerasannya. Sejenak saja kegelapan itu melanda kita, tak
dapat lagi kita mengendalikannya. Itulah kekuatan Kala Rahu yang menjadikan
gerhana. Maka, seharusnya kita waspada terhadap "sejenaknya gelap"
yang melanda kita.
Kala Rahu adalah ibarat bagi kuasa gelap yang mau menelan apa
saja di bumi ini. Maka, Kala Rahu juga bisa "terjelma" dalam diri
orang-orang berdasi. Itu yang digambarkan oleh Gunawan Bonaventura. Karena
diliputi kuasa gelap, orang-orang berdasi ini bisa menelan apa saja, emas,
batubara, kelapa sawit, minyak, palawija, padi, sapi, unggas, dan sebagainya.
Dengan memukul lesung, Kala Rahu bisa diusir. Akan tetapi, tak semudah itu
mengusir kuasa gelap yang meliputi orang-orang berdasi itu. Mereka tak takut
akan suara apa pun. Jangankan suara kentungan dan kendang, suara rakyat pun
tak mereka dengar. Telinga mereka sudah tuli akan sinyal bahwa bahaya
kegelapan sedang melanda negeri ini. Mereka terus menguntal "matahari
kekayaan rakyat ini". Orang-orang berdasi itulah gerhana mengerikan bagi
negeri ini.
Demikianlah gerhana adalah saat paling tepat untuk mengajak kita
menjadi eling lan waspada. Itulah
yang ingin dikatakan oleh Waljiono dengan patung Mbilungnya. Mbilung,
gambaran rakyat jelata, menjalankan semadi
gerhana. Dengan semadinya, ia tidak ingin menjadi sakti atau hebat. Ia
hanya ingin pasrah kepada "kekuatan" yang tak dapat dikuasainya. Ia
ingin semeleh dan sujud kepada matahari pada saat gerhana. Justru dengan
sujud dan semadi seperti ini, matahari berkenan menyerahkan diri kepadanya
dan tinggal di telapak tangannya. Inilah simbol bagi persatuan manusia dengan
alam semesta.
Dan akhirnya, Herjaka mengingatkan kita, setelah gerhana, pasar
menjadi ramai seperti semula. Irama hidup berjalan seperti irama matahari.
Tak ada sesuatu yang istimewa di muka bumi, seperti matahari pun tak merasa
istimewa ketika memberikan cahayanya kepada manusia setiap hari. Sejauh pasar
ramai berkumandang, matahari pun setia bersinar terang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar