Senin Vs Jumat
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 13 Maret
2016
Sesungguhnya saya
sendiri tak tahu alasannya, mengapa saya selalu kesal ketika hari Senin tiba.
Saya merasa bahwa segala bencana, baik dari keluarga, teman, urusan kantor,
klien, maupun berita-berita yang bikin jantung lepas, banyak terjadi pada
hari itu. Mungkin itu hanya terjadi untuk saya. Tapi, itu sungguh
mengesalkan.
Senin
Saya sungguh tahu
bahwa problema itu bisa hadir kapan saja dan tak peduli akan jatuh di awal
minggu, tengah, atau akhir minggu. Tetapi, berdasarkan pengalaman hidup ini,
kok, saya merasa hari Senin itu dijadikan seperti tong sampah. Dijadikan
tempat pembuangan. Berdasarkan intuisi, manusia yang berada di sekitar hidup
saya yang telah saya sebutkan di atas menyukai menumpuk problem untuk dibuang
pada hari Senin.
Saya merasa mereka itu
seperti telah mengatur bahwa hal-hal yang berat dan membebani sebaiknya
dipecahkan pada hari Senin. Mereka tak berniat untuk membagikan kesusahan secara
adil dan merata pada hari-hari lainnya.
Sejujurnya, kekesalan
menyambut datangnya hari Senin selalu dimulai dari hari Minggu sore. Maka,
kalau saya ditanya, dari tujuh hari dalam seminggu yang paling tidak saya
sukai adalah hari Minggu, bukan hari Senin.
Karena Minggu itu
berarti bukan waktunya untuk leyeh-leyeh,
tetapi untuk mempersiapkan mental hari Senin yang bakal penuh dan padat
dengan problem atau berita yang menyesakkan dada.
Acap kali problema itu
telah terjadi di minggu sebelumnya, tetapi tak bisa dan tak mau dituntaskan
pada minggu itu, dan selalu saja dilempar ke minggu berikutnya. Saya kadang
merasa, mengapa harus minggu depan kalau bisa diselesaikan minggu ini.
Apalagi kalau
berakhirnya masa liburan tepat di hari Minggu. Tiba di rumah setelah liburan
bukan merasa lebih lega, tetapi kesal karena besok hari Senin. Karena menurut
otak saya yang terbatas dan jongkok ini, awal minggu itu setiap manusia
tampaknya memiliki energi yang masih penuh. Sehingga kemarahan, kekesalan,
semangat untuk mencecar meluap di hari itu.
Di ruang rapat pun
aktivitas berteriak dan tegangan meninggi acap kali terjadi pada hari Senin.
Semua manusia yang hadir seperti berlomba untuk memuntahkan problema dan
ingin secepatnya diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya.
Seperti saya tuliskan
di atas, karena masih hari Senin, semangat masih tinggi, energi seperti mobil
berisi bensin penuh, maka mencecar pun seperti sebuah aktivitas seorang
polisi yang sedang melakukan interogasi.
Jumat
Senin juga merupakan
hari ketika pertanyaan dan ide paling banyak diajukan dan disodorkan karena
akhir pekan umumnya manusia di sekitar hidup saya itu bertemu dengan beberapa
manusia lainnya yang memiliki cerita yang selalu diawali dengan kalimat
pembuka "Kamu tahu, enggak?".
Untuk beberapa manusia
di sekitar hidup saya itu, cerita yang diawali dengan kalimat tanya
"Kamu tahu enggak" di akhir pekan itu sering kali menjadi inspirasi
mengganti rencana yang sudah disetujui beberapa hari lalu. Maka, ruang rapat
akan mengubah wajah yang sudah kesal soal hari Senin bertambah kesal
mendengar rencana diobrak-abrik.
Tetapi bagaimana soal
hari Jumat? Saya percaya, manusia di sekitar hidup saya dan Anda sekalian
cukup menyetujui bahwa Jumat itu hari yang paling membahagiakan jiwa raga.
Meski sejuta problema datang, Jumat mampu mengubah cara pandang melihat
problema.
Maksud saya, cara
pandang untuk melempar problema pada hari Senin dan tidak dibahas pada hari
super menyenangkan itu. Maka, Anda dan saya tahu dengan pasti ada ungkapan
macam begini, thank God it's Friday.
Ya, enggak? Nah, menurut Anda, mengapa ungkapan itu sampai eksis? Ini
penjelasan yang saya baca di sebuah kamus. Used to express the joy one feels in knowing that the work week has
officially ended and that they have two days off with which to enjoy.
Maka, saya lagi
berpikir bagaimana caranya agar Senin itu seperti Jumat meski tak ada hari
libur keesokan harinya kecuali ada harpitnas. Kemudian saya berpikir untuk
mengubah cara saya memandang hari. Maaf salah. Memandang problema dan berita
yang acap kali membuat jantung berdenyut keras dan tekanan darah meninggi
secara tiba-tiba.
Baru saja berniat
melakukan perubahan itu, otak saya mulai berpikir. Kalau saya saja yang
berubah, sementara manusia di sekitar hidup saya berniat saja tidak karena
hari untuk mencecar akan hilang, apalah gunanya? Itu seperti memperjuangkan
hal yang sia-sia belaka, ya, kan? Sudah capek-capek berubah supaya lebih
baik, tetapi gagal total karena orang lain tak memiliki cara pandang dan niat
yang sama.
Setelah otak
mengungkapkan pendapatnya, nurani giliran bernyanyi. "Kalau mau mengubah
orang itu caranya gak pakai mulut, tapi pakai perbuatan. Manusia itu kalau
dinasihati cenderung tersinggung dan malah tambah kesal. Perbuatan itu emas,
suara itu memekakkan."
Nurani itu terus
bersuara. "Mending elo aja yang mulai berubah dan suara yang datang dari
otak elo itu dibuang aja ke laut. Kalaupun mereka gak berubah setelah elo
berubah, emang elo rugi apa? Perubahan yang elo akan alami itu adalah cara
paling pas untuk memenuhi cita-cita elo membuat Senin berasa Jumat." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar