Arab
Saudi Menerabas Wahabisme
Zuhairi Misrawi ; Intelektual muda Nahdlatul Ulama; Analis
Pemikiran dan Politik Timur-Tengah The Middle East Institute
|
DETIKNEWS,
18 Agustus
2017
Arab Saudi mulai berubah dan mengubah haluan kerasnya.
Wahabisme yang sejak lama menjadi ideologi resmi negara secara lamat-lamat
terlihat lentur, bahkan memudar.
Pasalnya, seperti yang diberitakan sejumlah media asing
seperti News Australia, Evening Standard, The Sun, dan The Telegraph Arab
Saudi akan meluncurkan proyek destinasi wisata terbesar di Timur-Tengah. The
Telegraph menyebut langkah Arab Saudi dengan revolusi pariwisata (tourism
revolution).
Laut Merah akan disulap sebagai tempat wisata yang supermegah:
modern, bebas bagi wisatawan asing dari Barat, dan aturan ketat yang biasanya
menjadi kelaziman di Arab Saudi akan dilonggarkan. Kawasan wisata tersebut
akan dimulai pembangunannya pada 2019 dan dijadwalkan rampung pada 2022.
Saat naik haji pada 1998, saya pernah menikmati indahnya
Laut Merah dari atas kapal laut sepanjang perjalanan dari Pelabuhan Port
Said, Mesir menuju Pelabuhan Jeddah. Selama ini, jemaah haji asal Indonesia
biasanya menikmati "Masjid Terapung" yang berada di Laut Merah, Jeddah.
Kabarnya, luas tempat wisata tersebut sepanjang 34.000 km
di kawasan Umluf dan Alwajih, termasuk 50 pulau yang akan dibangun resor
mewah yang akan memanjakan para wisatawan untuk menikmati indahnya Laut
Merah. Di samping, situs bersejarah Mada'in Saleh yang sudah mendapatkan
sertifikat dari UNESCO, yang kedudukannya sama dengan Petra di Jordania.
Di kawasan itu akan dibangun seluruh fasilitas pariwisata
yang supermegah, termasuk akan dibangun pelabuhan, bandara, dan tol untuk
mempermudah transportasi bagi para wisatawan lokal dan mancanegara. Bahkan,
Arab Saudi akan memberlakukan bebas visa bagi para wisatawan yang akan
berkunjung ke kawasan ini.
Sesuai dengan visi ekonomi 2030, putera mahkota Pangeran
Muhammad bin Salman menargetkan jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke Laut
Merah nantinya bisa melebihi jumlah jemaah haji dan umrah. Tahun ini saja
jumlah wisatawan ke Arab Saudi dari haji dan umrah mencapai 18,7 juta per
tahun.
Pada 2027, jumlah wisatawan ditargetkan bisa mencapai 31,5
juta orang. Jika target tersebut terpenuhi, maka Arab Saudi akan mendapatkan
pemasukan sekitar 5 miliar dolar AS per tahun, dan menciptakan setidaknya
35.000 lapangan pekerjaan baru bagi warga Arab Saudi.
Langkah tersebut diambil karena negara-negara tetangganya
seperti Uni Emirat Arab, Mesir, Turki, bahkan Iran sangat gencar
mengembangkan destinasi pariwisata. Negara-negara tersebut telah lama
menjadikan pariwisata sebagai sumber pemasukan negara. Khusus untuk
pariwisata mewah, sebenarnya Arab Saudi kepincut dengan keberhasilan Uni
Emirat Arab dalam menyulap Dubai sebagai kawasan wisata bagi para pesohor
dunia.
Proyek Laut Merah ini tidak hanya terlihat istimewa dari
segi fasilitas dan anggaran yang digelontorkan, melainkan juga dari segi
ketahanan ideologi Wahabisme yang sudah berumur panjang dan lumutan di negeri
kaya minyak itu. Nantinya di kawasan wisata Laut Merah ini, wisatawan asing
bisa bebas menikmati minuman alkohol, berbikini, dan menikmati musik hingga
larut malam, sebagaimana di tempat-tempat wisata lainnya.
Maka dari itu, kebijakan spektakuler yang akan diambil
oleh Putera Mahkota, Pangeran Muhammad bin Salman merupakan kebijakan yang
terbilang berani, karena menerabas Wahabisme yang mengakar kuat dalam langgam
keberagamaan Arab Saudi. Tidak pernah terbayangkan Arab Saudi akan mempunyai
keberanian untuk menerabas Wahabisme yang sudah menjadi "identitas"
yang bersifat distingtif dengan negara-negara Muslim lainnya. Jangankan dalam
hal kebijakan memperkenankan bikini dan minuman alkohol, untuk sekadar
memperkenankan perempuan mengemudikan mobil saja masih menjadi hal yang tabu
di Arab Saudi.
Pangeran Muhammad bin Salman sudah mengambil kebijakan
spektakuler dalam rangka menyelamatkan perekonomian Arab Saudi di masa
mendatang. Konsekuensi dari kebijakan ini, Arab Saudi tidak lagi terkungkung
dengan identitasnya sebagai jantung Wahabisme. Artinya, Pangeran telah
memberikan sinyal kuat untuk mengedepankan kepentingan Arab Saudi dari segi
ekonomi daripada untuk mempertahankan ideologi Wahabisme yang sudah mengakar
kuat bagi seluruh warganya.
Jujur, sampai sekarang saya tidak bisa membayangkan
bagaimana respons ulama-ulama Arab Saudi terhadap langkah yang akan diambil
oleh Putera Mahkota. Mungkin saja mereka kecewa dan ingin memberontak. Tapi,
karena kebijakan Raja bersifat mutlak dan mengikat, maka para ulama tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka harus tunduk dan patuh sepenuhnya pada Raja.
Tentu saja kebijakan yang diambil Pangeran Muhamammad bisa
menjadi batu sandungan bagi masa depan Wahabisme yang sejak era 80-an
melakukan ekspansi ideologis ke seantero dunia, termasuk Indonesia. Wahabisme
merupakan paham yang sangat rigid, dan tidak mudah menerima
perubahan-perubahan mendasar. Mereka mudah mengafirkan kelompok lain, dan
mudah sekali mengeluarkan fatwa haram. Misalnya, musik haram, patung haram,
ziarah kubur haram, tahlilan haram, dan sejumlah fatwa 'keras' lainnya.
Wahabisme sangat anti terhadap budaya Barat, karena hingga saat ini tidak ada
bioskop di Arab Saudi.
Megaproyek wisata Laut Merah secara eksplisit mengundang
orang-orang Barat untuk hadir secara massif ke negara yang selama ini
dianggap sakral bagi wisatawan asing. Sementara bagi kelompok ekstremis,
orang-orang Barat adalah musuh Islam.
Arab Saudi selama ini dikenal sebagai negara yang menjaga
dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, yang biasa dikenal dengan
khadim al-haramayn. Ketika datang ke Arab Saudi yang dibayangkan adalah umrah
dan haji. Dengan hadirnya tempat wisata Laut Merah, maka Arab Saudi akan
mempunyai dua wajah: tempat suci dan tempat liburan.
Pertanyaannya, apakah Arab Saudi sudah siap untuk
meninggalkan Wahabisme? Di permukaan, kebijakan Pangeran Muhammad secara
simbolik sebagai upaya melakukan terobosan yang sangat spektakuler untuk
menjadikan Arab Saudi pada 2030 sebagai kota modern dan tidak berjarak dengan
Barat. Tapi, untuk meninggalkan Wahabisme, Arab Saudi membutuhkan upaya luar
biasa untuk melakukan reformasi di kalangan ulamanya.
Karen Elliott House dalam On Saudi Arabia: Its People,
Past, Religion, Fault Lines and Future menegaskan bahwa relasi antara Dinasti
al-Saud dengan ulama Wahabi tidak mulus. Dinasti al-Saud kerap menghendaki
modernisasi dan reformasi, tetapi selalu muncul perlawanan dari ulama Wahabi.
Hal tersebut merupakan tantangan yang tidak mudah dipecahkan.
Maka dari itu, upaya Pangeran Muhammad bin Salman
menerabas Wahabisme akan menjadi episode baru dalam relasi antara Dinasti
al-Saudi dengan Wahabisme. Akankah proyek wisata Laut Merah menjadi akhir
kemesraan antara Dinasti al-Saud dan Wahabisme? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar