Gerbang
Kesetaraan Perempuan Arab Saudi
Larangan Wanita Arab Saudi Menyopir : Agama atau Budaya?
Zuhairi Misrawi ; Intelektual muda Nahdlatul Ulama;
Analis Pemikiran dan Politik
Timur-Tengah The Middle East Institute
|
DETIKNEWS,
28 September
2017
Dunia menyoroti langkah besar yang diambil oleh pihak
kerajaan Arab Saudi yang melapangkan jalan bagi perempuan untuk mengemudikan
kendaraan. Kebijakan tersebut rencananya baru akan diberlakukan Juni 2018,
setelah para perempuan mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM).
Ini terobosan yang bersejarah, mengingat negara kaya
minyak ini mempunyai sikap yang kaku dan rigid terhadap perempuan. Secara
umum, para perempuan tidak menikmati kebebasan layaknya kaum laki-laki. Hal
tersebut mengacu pada paham Wahabisme yang mengekang kaum perempuan. Khaled
Abou el Fadl dalam Speaking in God's Name menjelaskan secara gamblang
bagaimana pengekangan terhadap perempuan yang sebenarnya karena faktor budaya
patriarkhal yang dibalut sedemikian rupa dengan diktum dan adagium keagamaan.
Di dunia Islam, hanya Arab Saudi satu-satunya negara yang
tidak memperbolehkan perempuan mengemudikan kendaraan. Bahkan, Arab Saudi
sebelumnya memberlukan sanksi yang ketat terhadap perempuan yang mengemudikan
kendaraan.
Pada tahun 1990, Madeha al-Ajroush bersama teman-temannya
melabrak tabu dengan mengemudikan mobil di Riyadh. Pada saat itu, peristiwa
ini mendapatkan perhatian luas dari pihak kerajaan. Madeha bersama
teman-temannya dipecat dari pekerjaannya dan mendapatkan hujatan di media
massa. Bahkan pihak kerajaan mengeluarkan larangan bagi mereka untuk
bepergian keluar negeri.
Peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga bagi kaum
perempuan Arab Saudi untuk tidak menyentuh "garis merah" yang telah
digariskan para ulama yang diamini oleh kerajaan agar perempuan tidak
seenaknya mengemudi karena akan mendapatkan sanksi yang serius. Kaum
perempuan tidak bisa menikmati kebebasan seperti perempuan-perempuan di
seantero lainnya karena masih ada larangan bagi perempuan untuk mengemudi.
Namun, keinginan kaum perempuan Arab Saudi untuk
mendapatkan angin kebebasan tidak pernah surut. Mereka ingin seperti
perempuan-perempuan di negara lain yang dengan bebas bisa mengemudi. Maka
dari itu, pada 2011 lalu, Manal al-Sharif dengan berani melawan tabu. Ia mengemudikan
kendaraan.
Tak dinyana, Manal mendapatkan perlakuan yang lebih buruk
dari Madeha yang hanya dipecat dari pekerjaan dan dilarang bepergian ke luar
negeri. Manal dipenjara selama 9 hari. Bahkan, ia diancam oleh para ulama
untuk diberi sanksi yang lebih perat lagi, seperti dicambuk
Sekali lagi, peristiwa Manal ini menghebohkan jagad dunia.
Di Barat, media-media melihat dengan cermat perihal ketidakadilan terhadap
kaum perempuan. Sudah lama dunia Barat menggarisbawahi perihal ketidakadilan
gender di Arab Saudi, mengingat hingga saat ini Arab Saudi merupakan
satu-satunya negara Muslim yang tidak meratifikasi Hak Asasi Manusia. Bahkan
beberapa waktu lalu berlangsung sebuah seminar tentang Hak-Hak Perempuan
dalam Islam, tapi para pesertanya justru sebagian besar kaum laki-laki.
Secara umum, kaum perempuan di Arab Saudi masih diperlakukan secara
diskriminatif.
Di dunia Islam, sikap keras Arab Saudi yang melarang kaum
perempuan untuk mengemudi juga menimbulkan tanda-tanya, bahkan kebingungan.
Jika hukum Islam dijadikan alasan untuk melarang perempuan mengemudi, tentu
dalil-dalilnya akan terlihat aneh. Pasalnya tidak ada dalil yang kuat untuk
melarang perempuan mengemudi. Perempuan saja boleh menjadi pemimpin sebuah
negara, apalagi hanya untuk sekadar mengemudi.
Jika kita berkelana di seantero dunia Islam, khususnya di
Timur-Tengah, kita akan mudah menemukan perempuan mengemudikan kendaraan.
Tidak ada dunia Islam lainnya yang melarang perempuan mengemudi. Karena
ketika perempuan mengemudi banyak manfaat yang bisa didapatkan untuk
keperluan keluarga dan publik, seperti mengantar anak-anak ke sekolah,
belanja, menghadiri kegiatan, dan lain-lain.
Di Tehran yang selama ini dikenal konservatif, kita akan
menemukan perempuan-perempuan mengemudikan kendaraan. Di negeri para Mullah
ini, kita akan menemukan perempuan di ruang publik dan perkantoran dapat
menikmati kebebasan. Bukan hanya itu, perempuan juga berada di ruang-ruang
penelitian.
Bahkan kalau kita bertandang ke Tehran kita lebih banyak
menemukan kaum perempuan daripada laki-laki, karena begitu besarnya peran
perempuan di ruang publik. Teman saya yang baru pertama kali ke Tehran
terkaget-kaget ketika melihat perempuan Iran mendominasi perkantoran di media
massa dan berbagai sektor lainnya. "Di mana laki-laki Iran, kok semua
yang ada di sini perempuan?" ujarnya.
Begitu pula di Mesir, kita mudah menemukan perempuan
mengemudikan kendaraan di jalan raya. Mesir dikenal mempunyai ulama dan
politisi perempuan yang turut serta berperan dalam memperjuangkan kesetaraan.
Dari negeri ini lahir sejumlah aktivis kesetaraan jender, seperti Nawal
Saadawi, Hiba Rauf, dan lain-lain.
Namun situasinya berbeda dengan Arab Saudi. Negara ini
tidak memperbolehkan perempuan mengemudi sejak tahun 1932, saat negara ini
berdiri. Pada 2014, Loujain al-Hathoul dipenjara 73 karena mengemudikan mobil
dari Uni Emerat Arab ke wilayah Arab Saudi.
Peristiwa ini juga menjadi heboh dan mendapatkan perhatian
dunia. Bahkan, kasus tersebut menjadi bahan olok-olok dan cemoohan, karena
masih ada sebuah negara yang melarang perempuan untuk sekadar mengemudi.
Nalarnya sederhana, jika mengemudi saja dilarang bagaimana dengan peran
perempuan di ruang publik. Pasti situasinya akan semakin mengenaskan.
Semua itu sekarang sudah berubah. Perjuangan perempuan
Arab Saudi untuk mendapatkan kesetaraan menemukan jalan terang. Pemantiknya
adalah visi 2030 yang digagas oleh Pangeran Muhammad bin Salman. Arab Saudi
harus mulai membuka diri terhadap dunia luar dan beradaptasi dengan
perkembangan mutakhir.
Kaum perempuan merupakan salah satu faktor penting dalam
upaya memajukan Arab Saudi mengingat jumlah mereka yang sangat signifikan dan
kompetensi mereka yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Faktanya, banyak
sekali kaum perempuan yang lulus dari perguruan tinggi terkemuka di dalam
negeri dan negara-negara Barat. Sangat disayangkan jika potensi mereka tidak
digunakan secara maksimal untuk kemajuan negaranya.
Meskipun demikian, langkah Raja Salman mencabut larangan
mengemudi para perempuan bukan akhir dari perjuangan menuju kesetaraan
perempuan di Arab Saudi. Ini hanya ada bagian kecil dari upaya untuk menuju
kesetaraan yang paripurna. Pada 2015, Arab Saudi sudah memperbolehkan
perempuan untuk ikut memilih dalam pemilu. Dan di antara mereka sudah ada
yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Raja.
Namun masih ada kebijakan yang menjadikan laki-laki
sebagai pelindung yang kerap mengekang kaum perempuan dan memperlakukan
perempuan secara diskriminatif. Kebijakan tersebut merupakan klausul penting
yang secara pelan-pelan harus mendapatkan perhatian. Belum lagi perlakukan
terhadap perempuan buruh migran yang sangat tidak manusiawi.
Meskipun demikian, Arab Saudi sedang menuju gerbang baru
bagi kesetaraan perempuan. Arab Saudi sedang menatap masa depan, dan secara
perlahan ingin meninggalkan masa lalu. Mari kita tunggu gebrakan dan
pembaruan apa lagi yang akan dilakukan Arab Saudi untuk menjadi negara yang
modern dan ramah terhadap perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar