Selasa, 03 Maret 2015

Pohon

Pohon

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Dari ketinggian lantai lima belas, saya bisa melihat sebuah taman luas yang rindang. Daun-daunnya yang hijau tak pernah kering. Hujan, badai, panas terik tak menghalanginya untuk memberi kesan teduh bagi saya yang melihatnya.


Kesal

Pagi, siang, sore saya bisa menikmatinya, tepatnya dari tempat tidur yang menghadap ke taman luas itu. Bagi saya yang tinggal di hunian vertikal, maka pemandangan itu mengingatkan pada halaman luas di depan rumah di masa kecil dahulu.

Kalau hati sedang galau, memandangi taman asri itu saja, saya seperti sedang menelan obat penenang. Apalagi kalau cuaca sedang berbaik hati, matahari sore menjadi latar belakang yang mencolok, membuat pemandangan di taman itu seperti lukisan.

Belakangan, pemandangan ke taman rimbun itu seperti sebuah pelipur lara. Bahkan menjadi semacam pembuka mata. Ketika hujan turun dengan derasnya, angin yang menerpa begitu kencangnya, saya bisa menyaksikan pepohonan itu meliuk mengikuti terpaan angin kencang dan hujan yang deras.

Ketika matahari menyengat pohon-pohon besar itu berdiri kokoh. Pada suatu pagi di akhir pekan, ketika cuaca setengah panas dan setengah mendung, saya kembali memandangi taman itu. Di tengah acara leyeh-leyeh di tempat tidur, saya berpikir untuk menjalani hidup seperti pepohonan itu.

Belakangan perjalanan hidup saya terlalu drastis naik dan turunnya. Macam menaiki roller coaster. Saya dipenuhi dengan kekesalan, rasa iri hati yang sangat, ketidakadilan hidup entah mengapa menjadi begitu terasa, mudah tersinggung, problema datang bertubi-tubi, nasihat yang diberikan beberapa orang pada kenyataan hanya seperti pepesan kosong.

Saya berusaha dengan baik dan benar, saya mengikuti aturan main dengan benar, tetapi semua berjalan berantakan. Sehingga rencana gagal dan amburadul. Maka benarlah kata ungkapan it takes two to tango.

Kekesalan, kekecewaan, tujuan dan target yang tidak tercapai, perselingkuhan, mencintai, mempertahankan hubungan, pembunuhan karakter atau pembunuhan lainnya, hanya karena beberapa pihak tidak menyepakati melakukannya dengan sepenuh hati.

Persis seperti orang sedang berkendaraan di jalan umum. Ada manusia yang mengendarai kendaraan dengan niat yang baik dan benar, tetapi Anda dan saya tahu di jalan raya itu, tak semua manusia memiliki niat mengendarai dengan prinsip yang sama. Maka kecelakaan terjadi, atau mulut kemudian mengumpat karena ada saja yang nyaris membuat kecelakaan terjadi.

Bijak

Ada manusia yang mau naik dan ada yang mau turun. Ketika yang mau naik bertemu dengan yang mau turun, hasilnya menjadi amburadul. Yang naik bertemu dengan yang naik atau yang turun bertemu dengan yang turun, maka hidup menjadi lebih baik.

Ada yang mau di depan seperti boneka, ada yang mau di berdiri di belakang mengendalikan yang di depan. Ada yang berani berteriak dengan lantang, ada yang memorakporandakan dalam diam.

Tetapi masalahnya tak ada yang tahu apakah manusia akan setia mau naik atau mau turun, kapan ia mau menjadi dalang, kapan ia mau menjadi boneka, atau kapan ia mau menjadi keduanya. Kapan ia mau berteriak secara nyata dan kapan ia memorakporandakan dalam diam.

Maka melihat kembali kepada pepohonan di taman luas itu, saya seperti melihat rahasia hidup tenteram. Ada matahari dan terik yang menyengat, pepohonan itu tetap berdiri kokoh. Ia mungkin melakoninya dengan berpikir bahwa adanya matahari membantunya bertumbuh dan menjadi lebat.

Ada hujan badai dan angin kencang, yaaa... meliuk saja bersama hujan dan angin. Mungkin beberapa rantingnya yang sudah rapuh patah dan terbuang, dan itu tidak akan mengecewakan, karena yang terbuang itu sebuah pembersihan, akan diganti dengan yang baru dan lebih kokoh.

Saya tak tahu apakah pohon-pohon itu bisa berbicara bahwa ia juga kesal dalam melakoni hidupnya setiap hari. Tak bisa protes akan panas yang menyengat dan hujan yang deras. Sungguh saya tak tahu. Tetapi entah ia kesal atau tidak, pohon-pohon itu sudah meneduhkan mata, ketika hidup ini menyilaukan mata saya.

Ia telah memberi tumpangan berteduh, dan daun-daunnya yang rimbun telah menjadi payung buat mereka dan saya yang menumpang untuk beristirahat di bawahnya. Ia menjadi ”obat penenang” ketika kegalauan menyerang hari-hari saya. Ia telah menjadi paru-paru untuk sebuah kota.

Maka mungkin saya harus melatih untuk bisa meneduhkan orang lain ketika saya sendiri sedang kesal. Mungkin saya harus bisa membiarkan dan tidak menjadi kecewa karena beberapa ranting dalam hidup ini harus saya buang.

Mungkin ranting yang harus saya buang itu adalah perasaan iri hati, perasaan terancam, keinginan mengadu domba, menjadi dalang yang culas, mau menjadi boneka, dan sejuta ranting busuk yang membuat pohon kehidupan saya tak bisa tumbuh kokoh serta rimbun, dan yang terutama tak mampu meneduhkan.

Mungkin pohon-pohon itu sedang mencoba memberi cara baru yang out of the box, untuk saya melahirkan kebajikan dari sebuah kekesalan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar