Senin, 23 Maret 2015

“Sayyy…”

“Sayyy…”

Samuel Mulia ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 22 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Judul itu adalah kepanjangan dari kata sayang. Biasanya digunakan sebagai ungkapan rasa cinta, baik asmara maupun non-asmara. Begini contoh yang saya lihat di media sosial. Pagi sayyyy....Lovee banget sayyy....

Muna

Pada situasi yang seperti apakah, Anda dan saya mengucapkan kata yang bermakna sayang? Yang jelas ketika hati Anda dan saya lagi senang, problema nyaris tidak ada dan ketika hubungan Anda dan saya serta pihak lainnya berlangsung baik-baik saja, bukan?

Tetapi, bagaimana kalau dalam perjalanan waktu sebuah hubungan asmara, pertemanan, bisnis, keluarga menjadi tidak baik? Apakah ”nyanyian” bermakna sayang itu masih akan disuarakan? Tentu pertanyaan saya ini konyol sekali. Sudah barang tentu Anda dan saya akan setuju untuk diam saja atau mengatakan: ”Ya ngapain juga....”

Pada waktu saya membaca sejuta kata sayyy di media sosial, saya teringat akan sejuta kemunafikan yang saya lakukan. Seingat saya, saya jarang sekali menggunakan kata itu untuk mengungkapkan sebuah rasa sayang.

Tetapi, membaca ekspresi itu, saya seperti diingatkan betapa banyaknya kesalahan yang saya buat dalam menilai manusia. Bahkan, saya diingatkan bahwa lidah saya ini benar-benar tak bertulang. Tidak ada saringannya, asal bicara saja.

Sejujurnya, di beberapa kejadian, saya benar-benar tidak menganggap mereka seseorang yang patut disayangi, tetapi saya melakukan perilaku yang munafik itu karena ada agenda tersembunyi, ada sesuatu yang saya harapkan dilakukan mereka untuk kebutuhan saya pribadi.

Seorang manajer hubungan masyarakat beberapa kali menghubungi saya untuk meminta data beberapa nama orang tenar dan kaya di kota Jakarta ini. Ia tak pernah lupa untuk memulai percakapan atau pesannya dengan hope that you are well. Kemudian dilanjutkan dengan mengajukan permohonannya, dan sebagai penutup ia akan menulis atau mengucapkan: ”Aku tunggu ya darling. Loveee you sayyyy....”

Tetapi, kalau giliran saya lagi butuh, ia bahkan tak pernah menjawab pesan atau mengangkat telepon. Pertama saya kesal, kemudian saya pikir kesal itu tak ada gunanya sama sekali. Saya memutuskan untuk berperilaku seperti dirinya. Ia adalah satu dari sekian manusia dalam hidup saya yang mengajarkan kemunafikan yang menguntungkan. Kadang saya bingung apakah saya harus berterima kasih atau sama sekali tidak.

Bermakna

Ungkapan kasih sayang semacam itu dibutuhkan dalam dunia ini. Mau munafik atau tidak alasannya. Mencium pipi kalau bertemu, mengirim kado ulang tahun anak rekan bisnis, mengirim karangan bunga saat dilangsungkan pernikahan, pembukaan kantor baru, meluncurkan produk baru.

Dan, tindakan itu masih disertai ucapan: ”Selamat ya, panjang umur, sehat dan sukses. Usahanya lancar.” Sebuah ungkapan yang meluncur dengan mulus tanpa halangan seperti sebuah mobil berlari kencang di jalan bebas hambatan. Sebuah ekspresi yang sering saya lakukan tanpa berpikir panjang.

Bagaimana kalau mereka benar panjang umur, sehat, dan usaha mereka itu ternyata sukses sekali dan kebetulan bermain di dalam industri yang sama dan pada akhirnya mampu mengalahkan saya?

Tidakkah itu menimbulkan iri hati dan bisa jadi berakhir untuk menjatuhkan mereka? Padahal, kesuksesan itu juga bisa jadi karena ucapan selamat yang sudah mirip doa, yang saya lakukan saat mereka baru memulai usahanya.

Atau sebaliknya, bagaimana kalau yang saya sayyy, kan, begitu seringnya, kemudian jatuh miskin, ternyata koruptor, ternyata pembunuh, atau melakukan sesuatu yang mengancam hidup saya? Masihkah mulut saya akan bernyanyi mengekspresikan ungkapan kasih sayang itu? Benarkah saya masih mau menyayangi mereka yang membuat hidup saya di ujung tanduk?

Salah satu kejahatan yang bisa saya lakukan sebagai manusia adalah bukan kemunafikan, melainkan melakukan sesuatu tanpa memiliki makna. Memeluk orang tanpa makna, mengirimkan karangan bunga tanpa makna, mendoakan tanpa makna. Bermakna itu tidak mengandung agenda apa pun.

Makna berbeda dengan menaikkan awareness, berbeda dengan material promosi. Karangan bunga di sebuah acara yang ukurannya raksasa disertai nama si pengirim berikut nama perusahaan yang sama ukurannya bahkan mengalahkan ucapan selamatnya, itu bukan bermakna. Itu bentuk sebuah keegoisan yang cantik, sebuah ucapan yang bukan datang dari hati, melainkan datang dari bagian pemasaran.

Saya tak berjanji apa-apa karena sulit sekali menghilangkan kemunafikan, tetapi nurani saya memberikan alat untuk mengurangi hal itu. Begini. Jangan berpikir panjang soal apa yang akan diungkapkan.

Tetapi, pikirkan apakah saya benar-benar bahagia dengan apa yang saya nyanyikan dari lidah tak bertulang ini. Benar-benar bahagia itu artinya yang benar berbahagia itu saya yang bernyanyi.

Saya benar berbahagia teman saya panjang umur, saya benar berbahagia usahanya yang saya doakan maju dan mengalahkan usaha saya, tanpa ada rasa terancam dan tersaingi. Semoga kalau saya bahagia, kalau saya tak punya agenda yang tersembunyi, itu bisa mengurangi sebuah kemunafikan hidup. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar