Sabtu, 21 Maret 2015

Dana Mengerdilkan Parpol

Dana Mengerdilkan Parpol

Tommi A Legowo  ;  Doktor Ilmu Politik FISIP-UI (2003-2008);
Master Politik dari Essex University, Colchester, Inggris (1991-1992)
DETIKNEWS, 19 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tentang dana Rp 1 triliun dari negara untuk partai politik (parpol) per tahun mengundang kontroversi dan menyimpan berbagai pertanyaan terkait banyak hal prinsipiil maupun teknis. Tidak dijelaskan apa dasar besaran alokasi itu dan apa kualifikasi parpol untuk memperoleh dana sebesar itu. Wacana itu memang menjelaskan alasan perlunya santunan negara, yakni "menekan tindak pidana korupsi oleh politikus".

Alasan itu sungguh suatu ironi yang mendangkalkan logika umum. Pertama, santunan negara difungsikan untuk substitusi hasil korupsi dari politikus. Kedua, itu pun tidak diamarkan untuk memberantas, melainkan menekan, yang berarti tetap menoleransi tindak pidana korupsi oleh politikus. Ketiga, alasan itu merupakan pengakuan tidak langsung bahwa selama ini ada tindak pidana korupsi oleh para politikus.

Sulit untuk tidak percaya karena wacana itu disampaikan oleh mantan tokoh utama satu parpol besar, yaitu PDI Perjuangan. Jika itu faktanya, sungguh disayangkan. Parpol yang seharusnya menjadi pionir dan pemangku utama untuk terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab ternyata telah menjadi antitesisnya (perusaknya) sendiri. Lantas, layakkah parpol seperti itu mendapatkan santunan dari negara?

Fakta lain menunjukkan parpol belum mampu atau bahkan kurang berkehendak menjalankan dan mematuhi prinsip-prinsip good governance melalui tata kelola dan pertanggungjawaban keuangan yang transparan dan kredibel (dapat dipercaya).

Santunan negara untuk parpol sebenarnya sudah diberikan sejak 2009 kepada parpol yang mempunyai kursi di DPR dan DPRD. Nilainya berdasarkan pada perolehan suara dalam pemilu. Untuk nasional, harga setiap suara sebesar Rp 108. Ini juga berlaku untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan nilai santunan untuk setiap suara berbeda-beda.

Sebagai lembaga yang dapat dana dari APBN/APBD, parpol harus patuh pada aturan terkait dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara. Sampai dengan saat ini, belum terdengar ada best practice laporan subsidi keuangan oleh parpol. Alasan yang sayup-sayup beredar, membuat laporan itu merepotkan dan tidak sepadan dengan jumlah subsidi yang relatif kecil.

Jika selama ini prinsip pelaporan keuangan untuk santunan yang relatif kecil itu diabaikan oleh parpol, menjadi pertanyaan bagaimana parpol bisa dipercaya untuk pelaporan keuangan dalam jumlah besar? Selama ini, tidak terlihat ada upaya sungguh-sungguh, terencana secara sistematik oleh parpol untuk mengoptimalkan penggalangan dana dari sumber-sumber legal: sumbangan sah yang tidak mengikat, subsidi negara, dan iuran anggota.

Sumber sumbangan sah yang tidak mengikat, misalnya, masih sangat digantungkan hanya pada pendiri dan tokoh parpol dalam jumlah sangat terbatas. Belum terlihat parpol menyelenggarakan penggalangan dana yang mengundang para simpatisan dan pendukung. Terutama parpol-parpol peserta pemilu, apalagi yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD, mempunyai pendukung riil. Sampai dengan saat ini, para pendukung ini hanya digalang sebatas untuk keperluan mendulang suara dalam pemilu. Sumber dana melalui iuran anggota tampaknya tidak pernah menjadi hal utama dan penting bagi para pendiri dan pengurus parpol sebagai fondasi pokok dalam mengelola, memberdayakan, dan mengembangkan parpol demokratis.

Sebagai pilar penting demokrasi, parpol harus mampu mengelola demokrasi dalam dirinya sendiri (internal). Jika parpol gagal melakukan ini, sulit dipercaya dia dapat mendorong terselenggaranya demokrasi pada aras dan lingkup masyarakat dan nasional.

Dalam pemahaman itu, iuran anggota sangat fundamental. Tidak peduli besarannya, iuran anggota merupakan wujud nyata dari saham yang ditanamkan anggota dalam parpol-nya. Dengan mempunyai saham, anggota mendapatkan kedaulatannya berupa hak bersuara di dalam proses pembuatan kebijakan parpol. Karena anggota berada dan didaftar pada tingkat akar rumput, kedaulatan anggota parpol pun berawal pada tingkatan ini.

Mewajibkan iuran anggota bukan hal mudah, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Tantangannya adalah kesediaan/kerelaan para pendiri dan penyandang dana utama membagi 'kedaulatan' mereka kepada para anggota parpol. Apa gunanya parpol mengelola daftar anggota jika anggota tidak dihargai dalam wujud penaatan atas kewajiban membayar iuran untuk parpol secara berkala?

Kalau parpol tidak memikirkan dan mengusahkan pengelolaan pewajiban iuran anggota, tidak bisa dibayangkan bagaimana mereka mengelola urusan-urusan internalnya secara sungguh-sungguh. Wajarlah parpol selalu dalam posisi lemah karena tidak membuka diri untuk penguatan dan perluasan fondasi keberadaannya. Ini merupakan satu penjelasan juga atas konflik internal yang tak kunjung selesai dialami parpol-parpol saat ini, yakni parpol tidak mengelola kedaulatan anggota secara saksama. Dalam keadaan seperti ini, sulit dibayangkan parpol mempunyai alasan memadai untuk mendapatkan santunan dana dari negara dalam jumlah yang besar.

Sejak Reformasi, secara prinsipiil parpol dirancang sebagai entitas politik inisiatif masyarakat yang mandiri dari pengaruh dan campur tangan negara. Ini merupakan antitesis dari fenomena parpol masa Orde Baru, yang kebutuhan pendanaannya dipenuhi negara tetapi dengan konsekuensi harus tunduk pada 'politik' negara. Prinsip itu semestinya harus bisa dipertahankan justru karena alasan setiap parpol mempunyai peluang yang sama untuk mengelola kekuasaan pemerintahan di Indonesia.

Dengan tidak menggantungkan pendanaan dari negara, parpol akan terbebas dari: pertama, conflict of interest dalam dirinya yang dapat mempersempit wawasan altruistisnya sebagai pilar demokrasi; kedua, proses pengerdilan diri karena pudarnya upaya-upaya internal kreatif untuk pengembangan diri; dan ketiga, pengingkaran penegakan prinsip kedaulatan anggota yang akan digantikan oleh 'kedaulatan negara' dalam parpol.

Santunan negara untuk dana parpol tentu saja boleh dipikirkan. Tetapi prinsip utama yang harus mendasari mestinya tetap pada acuan kemandirian, kedaulatan anggota, dan pemberdayaan parpol. Dalam prinsip ini, santunan negara untuk parpol tidak boleh menggantikan sumber-sumber pokok kedaulatan parpol yang demokratis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar