Dana
Mengerdilkan Parpol
Tommi A Legowo ; Doktor Ilmu Politik FISIP-UI (2003-2008);
Master Politik dari Essex University, Colchester, Inggris
(1991-1992)
|
DETIKNEWS,
19 Maret 2015
Wacana
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tentang dana Rp 1 triliun dari negara
untuk partai politik (parpol) per tahun mengundang kontroversi dan menyimpan
berbagai pertanyaan terkait banyak hal prinsipiil maupun teknis. Tidak
dijelaskan apa dasar besaran alokasi itu dan apa kualifikasi parpol untuk
memperoleh dana sebesar itu. Wacana itu memang menjelaskan alasan perlunya
santunan negara, yakni "menekan tindak pidana korupsi oleh
politikus".
Alasan
itu sungguh suatu ironi yang mendangkalkan logika umum. Pertama, santunan
negara difungsikan untuk substitusi hasil korupsi dari politikus. Kedua, itu
pun tidak diamarkan untuk memberantas, melainkan menekan, yang berarti tetap
menoleransi tindak pidana korupsi oleh politikus. Ketiga, alasan itu
merupakan pengakuan tidak langsung bahwa selama ini ada tindak pidana korupsi
oleh para politikus.
Sulit
untuk tidak percaya karena wacana itu disampaikan oleh mantan tokoh utama
satu parpol besar, yaitu PDI Perjuangan. Jika itu faktanya, sungguh
disayangkan. Parpol yang seharusnya menjadi pionir dan pemangku utama untuk
terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab ternyata
telah menjadi antitesisnya (perusaknya) sendiri. Lantas, layakkah parpol
seperti itu mendapatkan santunan dari negara?
Fakta
lain menunjukkan parpol belum mampu atau bahkan kurang berkehendak
menjalankan dan mematuhi prinsip-prinsip good governance melalui tata kelola
dan pertanggungjawaban keuangan yang transparan dan kredibel (dapat
dipercaya).
Santunan
negara untuk parpol sebenarnya sudah diberikan sejak 2009 kepada parpol yang
mempunyai kursi di DPR dan DPRD. Nilainya berdasarkan pada perolehan suara
dalam pemilu. Untuk nasional, harga setiap suara sebesar Rp 108. Ini juga
berlaku untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan nilai santunan untuk
setiap suara berbeda-beda.
Sebagai
lembaga yang dapat dana dari APBN/APBD, parpol harus patuh pada aturan
terkait dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara. Sampai dengan
saat ini, belum terdengar ada best practice laporan subsidi keuangan oleh
parpol. Alasan yang sayup-sayup beredar, membuat laporan itu merepotkan dan
tidak sepadan dengan jumlah subsidi yang relatif kecil.
Jika
selama ini prinsip pelaporan keuangan untuk santunan yang relatif kecil itu
diabaikan oleh parpol, menjadi pertanyaan bagaimana parpol bisa dipercaya
untuk pelaporan keuangan dalam jumlah besar? Selama ini, tidak terlihat ada
upaya sungguh-sungguh, terencana secara sistematik oleh parpol untuk
mengoptimalkan penggalangan dana dari sumber-sumber legal: sumbangan sah yang
tidak mengikat, subsidi negara, dan iuran anggota.
Sumber
sumbangan sah yang tidak mengikat, misalnya, masih sangat digantungkan hanya
pada pendiri dan tokoh parpol dalam jumlah sangat terbatas. Belum terlihat
parpol menyelenggarakan penggalangan dana yang mengundang para simpatisan dan
pendukung. Terutama parpol-parpol peserta pemilu, apalagi yang memperoleh
kursi di DPR dan DPRD, mempunyai pendukung riil. Sampai dengan saat ini, para
pendukung ini hanya digalang sebatas untuk keperluan mendulang suara dalam
pemilu. Sumber dana melalui iuran anggota tampaknya tidak pernah menjadi hal
utama dan penting bagi para pendiri dan pengurus parpol sebagai fondasi pokok
dalam mengelola, memberdayakan, dan mengembangkan parpol demokratis.
Sebagai
pilar penting demokrasi, parpol harus mampu mengelola demokrasi dalam dirinya
sendiri (internal). Jika parpol gagal melakukan ini, sulit dipercaya dia
dapat mendorong terselenggaranya demokrasi pada aras dan lingkup masyarakat
dan nasional.
Dalam
pemahaman itu, iuran anggota sangat fundamental. Tidak peduli besarannya,
iuran anggota merupakan wujud nyata dari saham yang ditanamkan anggota dalam
parpol-nya. Dengan mempunyai saham, anggota mendapatkan kedaulatannya berupa
hak bersuara di dalam proses pembuatan kebijakan parpol. Karena anggota
berada dan didaftar pada tingkat akar rumput, kedaulatan anggota parpol pun
berawal pada tingkatan ini.
Mewajibkan
iuran anggota bukan hal mudah, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.
Tantangannya adalah kesediaan/kerelaan para pendiri dan penyandang dana utama
membagi 'kedaulatan' mereka kepada para anggota parpol. Apa gunanya parpol
mengelola daftar anggota jika anggota tidak dihargai dalam wujud penaatan
atas kewajiban membayar iuran untuk parpol secara berkala?
Kalau
parpol tidak memikirkan dan mengusahkan pengelolaan pewajiban iuran anggota,
tidak bisa dibayangkan bagaimana mereka mengelola urusan-urusan internalnya
secara sungguh-sungguh. Wajarlah parpol selalu dalam posisi lemah karena
tidak membuka diri untuk penguatan dan perluasan fondasi keberadaannya. Ini
merupakan satu penjelasan juga atas konflik internal yang tak kunjung selesai
dialami parpol-parpol saat ini, yakni parpol tidak mengelola kedaulatan
anggota secara saksama. Dalam keadaan seperti ini, sulit dibayangkan parpol
mempunyai alasan memadai untuk mendapatkan santunan dana dari negara dalam
jumlah yang besar.
Sejak
Reformasi, secara prinsipiil parpol dirancang sebagai entitas politik
inisiatif masyarakat yang mandiri dari pengaruh dan campur tangan negara. Ini
merupakan antitesis dari fenomena parpol masa Orde Baru, yang kebutuhan
pendanaannya dipenuhi negara tetapi dengan konsekuensi harus tunduk pada
'politik' negara. Prinsip itu semestinya harus bisa dipertahankan justru
karena alasan setiap parpol mempunyai peluang yang sama untuk mengelola
kekuasaan pemerintahan di Indonesia.
Dengan
tidak menggantungkan pendanaan dari negara, parpol akan terbebas dari:
pertama, conflict of interest dalam dirinya yang dapat mempersempit wawasan
altruistisnya sebagai pilar demokrasi; kedua, proses pengerdilan diri karena
pudarnya upaya-upaya internal kreatif untuk pengembangan diri; dan ketiga,
pengingkaran penegakan prinsip kedaulatan anggota yang akan digantikan oleh
'kedaulatan negara' dalam parpol.
Santunan
negara untuk dana parpol tentu saja boleh dipikirkan. Tetapi prinsip utama
yang harus mendasari mestinya tetap pada acuan kemandirian, kedaulatan
anggota, dan pemberdayaan parpol. Dalam prinsip ini, santunan negara untuk
parpol tidak boleh menggantikan sumber-sumber pokok kedaulatan parpol yang
demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar