Senin, 23 Maret 2015

Biennale, Banal, dan Kita di Sirkuit Dunia

Biennale, Banal, dan Kita di Sirkuit Dunia

Suwarno Wisetrotomo  ;  ( Tanpa Penjelasan )
KOMPAS, 22 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Di manakah batas puas? Tentu sulit mengukurnya karena begitu relatif. Dalam berkesenian, sering kali diserukan: jangan cepat berpuas diri. Makna yang dihasratkan sebenarnya baik, yakni agar sang seniman terus berada dalam dahaga kreativitas, tak cepat menepuk dada, dan tanpa sadar diselimuti kecongkakan. Dalam frasa ”jangan cepat berpuas diri” terkandung sikap reflektif dan kerendahhatian; bahwa apa yang dicapainya—sebutlah keberhasilan artistik, estetik, dan ekonomi—hanyalah sekadar ”bonus”. Bukan segala-galanya karena di atas langit masih ada langit. Karena itu, seniman yang ”berhasil” justru semestinya semakin jelas sikap keseniannya, jelas keberpihakannya, dan mengupayakan agar semakin berguna bagi banyak orang.

Bersikap semakin rendah hati tanpa kehilangan sikap kritis. Sebaliknya, ketika seniman atau siapa pun masih sibuk dengan dirinya sendiri, menepuk- nepuk dada karena merasa sukses, patut diduga ia masih jauh dari berhasil. Pendeknya, rasa puas terkait dengan rasa syukur. Semakin pelit bersyukur, semakin sulit menemukan kepuasan.

Namun, ketidakpuasan juga bisa diproduksi untuk kepentingan banyak orang. Jika keberhasilan (sukses) diri sudah dicapai, sudah saatnya untuk tidak puas dengan keadaan; saatnya protes dan komplain. Sampai hari ini, setelah 60 tahun merdeka, kita masih tidak puas dengan kondisi seni rupa kita. Tidak puas dengan gagasannya, dengan gerakannya, dengan publikasinya, dengan peran dan kontribusi kita di sirkuit dunia. Secara individu, sejumlah perupa kita mulai moncer di panggung internasional. Namun, hal itu belum cukup. Pemerintah harus mulai sungguh-sungguh memikirkan seni rupa (kesenian) dalam kerangka kebudayaan yang menyeluruh. Ke dalam (negeri) masih sangat banyak yang perlu ditata, ke luar (negeri) apalagi.

Bagaimana memberikan perhatian yang sistemik pada ruang, program, dan akuisisi koleksi Galeri Nasional Indonesia; berbagai peristiwa biennale (Yogyakarta, Jakarta, Sumatera, Jawa Timur, Bali), peristiwa seperti ArtJog (Yogyakarta), Pasar Seni ITB (Bandung), dan lain-lainnya. Bagaimana memberikan dukungan yang sistemik dan proporsional pada kemungkinan partisipasi di pameran internasional (Venice Biennale, Singapore Biennale, Beijing International Art Biennale, di Amerika dan Eropa) dan lain-lain. Perlu dipikirkan bersama, bagaimana kita tetap bisa hadir pada peristiwa seni rupa internasional, tanpa harus melewati kekacauan proses, anggaran, pemilihan tim atau seniman. Bagaimana mendorong partisipasi banyak pihak untuk membangun bangsa-negara lewat kesenian secara bermartabat.

Sirkuit seni rupa dunia

Ketika saya menyusuri Arsenale pada Venice Biennale 2013 (La Biennale di Venezia), menuju ke paviliun Indonesia, mata dan kaki saya tertahan, sementara di sebuah bangunan (masih di kompleks Arsenale); gedung bercat putih, dilengkapi tangga berjalan (escalator) untuk memasuki ruang pameran. Saya segera tahu, itulah paviliun Unit Emirat Arab (UAE) yang berpartisipasi dalam peristiwa dua tahunan penuh gengsi itu. UAE perlu membangun eskalator, menyiapkan minuman di depan pintu, dan brosur/katalog yang sangat memadai. Kurator Reem Fadda dibantu enam asisten, didukung penuh oleh promotor pribadi (Sheika Salama bint Hamdan Al), Nahyan Foundation, dan Ministry of Culture, Youth and Community Development. Pada saat yang sama, berjarak beberapa ratus meter, terdapat paviliun Indonesia yang menghadirkan perupa Albert Yonathan Setyawan, Entang Wiharso, Eko Nugroho, Titarubi, Sri Astari, dan Rahayu Supanggah.

Soal kualitas karya dan seniman yang dipilih/dipamerkan, setiap orang bisa memperdebatkannya. Namun, bagaimana Pemerintah UAE mengukur kepantasan tampil dalam sirkuit seni rupa dunia itu, dapat dijadikan pelajaran (tanpa bermaksud membandingkan). Paviliun, seniman yang dipilih, cara mempresentasikannya, kelengkapan pameran, adalah bagaikan ”etalase iklan” yang menempel pada mobil yang dipacu oleh sang pebalap. Pebalap, mobil, stiker/iklan yang menempel di sekujur pakaian yang dikenakannya, di sekujur bodi mobil, para pemayung, dan tim yang berada di ruang kendali, adalah ”etalase” yang mewakili negara dan para pendukungnya.

Negara hadir di sirkuit melalui sebuah tim yang solid. Sebuah event seni rupa—dalam skala apa pun, di mana pun—memang merupakan sirkuit; arena berpacu (kontestasi) untuk merebut ”panggung perhatian” dari banyak pihak atau banyak orang. Seorang atau tim pebalap (=perupa) akan mendapatkan ”panggung perhatian” jika didukung tim yang solid (kurator, organizer, pemerintah, swasta). Tim akan solid jika ditentukan oleh mekanisme yang tertata, terbuka, dan karenanya memiliki kredibilitas. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, yang memfasilitasi terpilihnya kurator, dengan mandat serta otoritas penuh untuk memilih seniman dan karyanya yang akan dibawa dalam sirkuit tersebut.

Apakah kondisi demikian itu mungkin terwujud? Jika semua pihak berpikir dan berkepentingan ”melampaui kepentingan dirinya sendiri”, semuanya menjadi mungkin.

Ketidakpuasan produktif

Rasa tidak puas dengan keadaan, dengan pilihan, dengan pemenang, dengan keputusan, dan sebagainya tidak perlu menggumpal menjadi komplain tanpa ujung. Ketidakpuasan hanya sebatas menggugat tanpa solusi, sungguh kontraproduktif. Ketidakpuasan akan produktif kalau berhasil dikonversi menjadi langkah-langkah solusi dengan sejumlah pilihan.

Usulan saya: pemerintah perlu segera memfasilitasi sebuah forum yang mempertemukan berbagai pihak (kurator, kritikus, akademisi, event organizer, sponsor, staf kedutaan, staf bea cukai, kementerian luar negeri, para kepala dinas/direktur kebudayaan/kesenian) untuk membicarakan standar prosedur operasional (bagi pemerintah dan mitra) pada setiap pemberian dukungan kegiatan seni rupa (juga kesenian pada umunya). Dukungan itu bisa dilakukan setelah terlebih dahulu dipetakan, misalnya level kegiatan, dampaknya bagi wacana, negara dan bangsa, atau bagi keberhasilan ekonomi.

Dampak semacam itu tak bisa dipisah-pisahkan secara rigid, tetapi bisa disusun urutan dampaknya. Misalnya, pameran biennale (nasional dan internasional), urutan dampaknya, prioritasnya, nilai pentingnya bagi wacana, bagi negara-bangsa, dan seterusnya. Peristiwa art fair/pasar seni, dampak ekonomi, pasar, wacana, industri budaya, dan seterusnya. Demikian pula pameran tunggal, pameran kelompok, pameran komunitas, dengan melihat reputasi dan prestasi seniman, kelompok, atau komunitasnya, digunakan sebagai dasar dukungan oleh pemerintah.

Dari forum semacam itu dapat disusun panduan bagi pemerintah, termasuk para mitranya, untuk pegangan dalam memberikan dukungan. Dengan demikian, dalam setiap merancang aktivitas seni rupa (dalam skala dan level apapun) tak lagi terkesan improvisasi yang berujung kisruh.

Venice Biennale merupakan biennale tertua di dunia (2013 penyelenggaraan yang ke-55 tahun) yang memiliki wibawa tersendiri. Meski bukan satu-satunya, berpartisipasi pada peristiwa tersebut penting, untuk hadir dalam sirkuit dunia, untuk menyuarakan isu dan pesan ”penting” agar didengar dan diperhatikan oleh warga (seni) dunia, dan meluas menjangkiti warga masyarakat dunia. Isu dan pesan ”penting” semestinya menjadi pegangan setiap kurator.

Bersikap dan bertindak banal—dalam pikiran, ucapan, tindakan, berkarya seni rupa—hanya akan merendahkan diri sendiri. Banalitas hanya menunjukkan kepentingan praktis yang bermuara pada kedangkalan. Juga jangan membiasakan diri merawat konflik dan intrik; jangan berharap terdapat keputusan yang independen serta bebas kepentingan. Itu utopia kalau bukan omong kosong.

Tak ada yang sepenuhnya independen, tak ada yang bebas kepentingan. Selalu tersembunyi hasrat kontestasi atau kepentingan pragmatis lainnya. Tak apa. Persoalannya, semua pilihan sikap jangan dikuasai hasrat untuk mengooptasi, kemudian membuat keputusan dengan plintat-plintut, yang dituntun oleh kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sejauh semua diputuskan melalui mekanisme sistemik, terbuka, ditujukan untuk kepentingan banyak orang, apalagi demi bangsa-negara, kita (semestinya) bisa menerima, tentu tetap disertai dengan catatan kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar