Minggu, 22 Maret 2015

Konflik Ukraina, Rusia Takluk ke Barat/AS?

Konflik Ukraina, Rusia Takluk ke Barat/AS?

Toni Ervianto  ;  Alumnus FISIP Universitas Jember;
Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia
DETIKNEWS, 20 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Konflik politik yang disertai dengan insurgensi di Ukraina sudah berlangsung lebih dari 1 tahun yang menurut catatan Badan HAM PBB sebanyak 6.000 orang (dari kalangan tentara dan warga sipil) tewas sejak konflik di Ukraina terjadi pada April 2014. Dalam perkembangannya, konflik yang terjadi di Ukraina semakin menarik untuk dicermati karena maraknya proxy war yang menyertainya, serta “memori lama persaingan Uni Soviet vs Barat/AS” sebelum terjadinya glasnost dan pereztroika kembali terulang.

Menurut catatan penulis, hingga 8 Maret 2015, konfrontasi senjata dalam skala kecil masih terjadi di Debaltseve, Ukraina Timur. Jubir Militer Ukraina, Andrey Lysenko menyatakan bahwa kontak senjata kembali dilakukan oleh kedua pihak (apkam Ukraina dan pemberontak pro-Rusia), sehingga memunculkan kekhawatiran gagalnya gencatan senjata yang digagas dalam KTT Minsk.

Sebelumnya, Menhan Inggris Michael Fallon, negaranya berencana mengirim sejumlah perangkat militer pekan ini guna membantu tentara Ukraina mempertahankan wilayahnya dari agresi Rusia. Senada dengan itu, Ketua DPR AS, John Boehner juga mendesak Pemerintah AS segera mengirim persenjataan berat ke Ukraina, sekaligus menerapkan sanksi terhadap Rusia.

Sebaliknya, Deputi Menlu AS, Antony Blinken beranggapan bahwa pengiriman senjata ke Ukraina bukanlah solusi militer terbaik, mengingat Rusia yang juga terus memperkuat dukungannya kepada kelompok separatis, sehingga berpotensi mengakibatkan situasi chaos. Untuk itu, Blinken lebih memilih langkah diplomatik, dengan menerapkan sanksi bagi Rusia.

Adu Kuat Senjata

Komandan Brigade Arhanud AS Kol. Michael Foster mengungkapkan bahwa pada akhir minggu ini Pemerintah AS akan menempatkan enam kompi pasukan angkatan daratnya di Ukraina guna melatih angkatan darat negara tersebut. Menurut Foster program kerjasama pelatihan AD AS–Ukraina tidak akan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengirimkan persenjataan AS ke Ukraina.

AS telah menunda pengiriman persenjataan tempurnya ke Ukraina setelah terjadi kesepakatan gencatan senjata pada 13 Februari 2014. Selain AS, sebelumnya Inggris juga berjanji akan mengirimkan penasihat militernya ke Ukraina. AS dan NATO telah menjalin kerjasama pelatihan militer dengan Ukraina sejak musim gugur 2014.

Sementara itu, di Mons, Belgia, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg mengatakan, bahwa Rusia masih mengirim persenjataan, pasukan dan pasukan pemberontak di Ukraina Timur. Tindakan itu melanggar kesepakatan gencatan senjata yang telah disetujui bersama pada 12 Februari 2015 di Minsk. Untuk itu, Stoltenberg menyerukan kepada Rusia agar segera menarik seluruh pasukannya dari Ukraina Timur dan menghormati kesepakatan Minsk.

Di lain pihak, pejabat Kemenlu Rusia mengatakan, Pemerintah Rusia memiliki hak menempatkan senjata nuklir di Semenanjung Krimea dan Laut Hitam. Sedangkan, Komandan militer AS di Eropa, Letjen Ben Hodges mengatakan saat ini ada sekitar 12.000 tentara pendukung kelompok separatis di Ukraina Timur, 29.000 tentara Rusia di Krimea.

Konflik Ukraina selain diwarnai fenomena kekuatan adu senjata, juga telah “membuka bisnis baru” bagi tentara bayaran. Hal ini diakui oleh Ketua Madrid Committee in Support of Anti-Fascist Ukraine Ramiro Gomez mengungkapkan adanya beberapa warga negara yang menjadi tentara bayaran dan bergabung dengan kelompok fasis di Ukraina serta berjuang besama pasukan Ukraina melawan pasukan separatis Ukraina Timur. Para tentara bayaran tersebut umumnya merupakan veteran tentara Spanyol. Pembayarannya dilakukan melalui bank cabang terbesar Ukraina di Spanyol, PrivatBank.

Sementara itu, informasi yang beredar tentara bayaran asal Spanyol bergabung dengan milisi ultra nasional Ukraina, termasuk batalyon Neo-Nazi Azov. Selain berjuang bersama pasukan Ukraina, tentara bayaran asal Spanyol tersebut ada yang berjuang bersama pasukan Ukraina Timur. Minggu lalu, polisi Spanyol menangkap delapan warga Spanyol yang diduga terlibat dalam konflik Ukraina. Kedelapan orang tersebut dikenai dakwaan telah melakukan kejahatan pembunuhan, kepemilikan senjata api dan bahan peledak, serta melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kepentingan Spanyol di luar negeri.

Rusia Takluk?

Rusia dinilai oleh PBB, NATO, Barat dan Amerika Serikat sebagai “aktor intelektual” berkepanjangnya konflik Ukraina, sehingga NATO, Barat dan Amerika Serikat sepakat untuk terus mendesak Rusia agar tidak membantu kelompok separatis di Ukraina atau Rusia akan mendapatkan beragam sanksi baru.

Wakil Sekretaris Jenderal NATO Alexander Vershbow mengatakan, Rusia menjadi “ancaman baru” bagi perdamaian di Ukraina, seiring perangkat persenjataan berat yang dipasok negara tersebut guna memperkuat kelompok separatis di wilayah konflik. Sebaliknya, Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Anatoly Antonov membantah tuduhan NATO, dan menganggapnya sebagai upaya mendisinformasi fakta di lapangan.

Menlu Rusia, Sergey Lavrov dan Menlu AS, John Kerry bertemu, membahas situasi keamanan di Ukraina pasca penarikan mundur tentara Ukraina dan separatis pro-Rusia dari wilayah operasi Debaltseve. Dalam pertemuan tersebut, Menlu Kerry meminta Rusia agar mematuhi perjanjian genjatan senjata yang digagas dalam KTT Minsk.

Asisten Menlu AS untuk Urusan Eropa dan Eurasia, Victoria Nulland mengatakan, Pemerintah AS tengah mempertimbangkan sanksi baru terhadap Rusia jika terus melakukan pelanggaran gencatan senjata di Ukraina Timur, atau gagal menerapkan perjanjian yang ditandatangani antara Pemerintah Ukraina dan kelompok separatis yang didukung Rusia. Sebelumnya, Kanselir Jerman, Angela Merkel telah mengeluarkan peringatan serupa. Menurut Merkel, jika perjanjian di Minks gagal, maka Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia.

Departemen Keuangan AS berlakukan sanksi terhadap 14 orang, termasuk 8 orang separatis Ukraina, dan 2 entitas termasuk Russian National Commercial Bank, bank Rusia yang beroperasi di Krimea dan semenanjung di Laut Hitam yang dianeksasi Rusia. Dengan demikian, aset-aset ke 14 orang tersebut yang berada di AS akan dibekukan, dan dilarang masuk ke AS. Ke 14 orang itu dan 2 entitas dituduh “merongrong kedaulatan Ukraina” dan menggelapkan aset Pemerintah Ukraina

Tidak hanya ancaman sanksi terhadap Rusia, bahkan “proxy war” juga diciptakan untuk menyudutkan Rusia, dengan tertembaknya Boris Nemtsov pada 28 Februari 2015. Secara khusus, Presiden Ukraina, Petro Poroshenko juga menyebut Boris Nemtsov sebagai pahlawan yang menghubungkan Kremlin dan Kiev. Kubu oposisi (Partai Republikan) berencana mengungkap bukti-bukti keterlibatan tentara Rusia dalam konflik di Ukraina, berdasarkan fakta-fakta yang dimiliki Boris Nemtsov sebelum terbunuh.

Di Moskow, anggota oposisi Partai Republikan, Alexei Navalny meyakini bahwa rezim penguasa berada dibalik kematian Boris Nemtsov. Menurut Alexei, di samping mengeksekusi Nemtsov, Kremlin juga membentuk “team” yang melakukan kontra-opini terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kebijakan Presiden Vladimir Putin, termasuk membentuk relawan-relawan perang di Ukraina dan Chechnya. Di lain pihak, Presiden Putin kembali menegaskan bahwa Kremlin bukanlah dalang terkait kematian Nemtsov. Untuk itu, Putin memerintahkan Badan Keamanan Federal Rusia terus melakukan penyelidikan guna mengungkap aktor dibalik kematian tokoh oposisi tersebut.

Konflik Ukraina memiliki multi dimensi dan kepentingan di antara kelompok yang bertikai. Bagi Rusia, “keterlibatannya” dalam konflik Ukraina selain terkait agar Ukraina hanya menjual minyak dan gasnya ke Rusia dengan harga yang ditetapkan oleh Rusia, di sisi yang lain Rusia setelah kuat ekonomi dan militernya pasca bubarnya Uni Soviet sebenarnya “menginginkan” agar negara-negara pecahannya tetap “di-remote control” walaupun mereka secara yuridis adalah merdeka.

Bagi Barat dan AS, kebangkitan Rusia secara geopolitik, geoekonomi dan geostrategi sangat tidak diharapkan, apalagi manuver Putin seringkali dinilai Barat/AS “membahayakan” seperti bekerjasama/bersahabat antara Rusia dengan Korea Utara. Bagaimanapun juga, keterlibatan AS dalam “penyelesaian” konflik Ukraina akan membahayakan defisit neraca berjalan mereka, karena untuk memerangi ISIS saja, AS sudah mengeluarkan dana sebesar Rp 23 trilyun. Tampaknya, peranan Paman Sam sebagai “polisi dunia” harus dikaji ulang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar