Senin, 23 Maret 2015

Perpres Golkar

Perpres Golkar

Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 21 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Rabu pertengahan pekan ini saya mengalami kesulitan yakni kesulitan untuk menjawab dan menjelaskan kepada beberapa awak media yang menanyakan pendapat saya mengenai rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkum-HAM) Yasonna Laoly mengeluarkan peraturan presiden (perpres) untuk menyelesaikan kisruh kepengurusan Partai Golkar.

Saya tak mudah menjawab sesuatu yang hampir tak mungkin ada yakni pernyataan Pak Yasonna. Tak mungkin seorang Menkum-HAM tidak paham bahwa sebuah perpres tak bisa dikeluarkan untuk menyelesaikan kisruh sebuah parpol. Saya yakin, Pak Yasonna tidak mengatakan itu dan, tentulah, wartawan salah memahami atau salah mengutip atas apa yang dinyatakan oleh Pak Yasonna.

Berbeda dari Pak Yusril yang mengatakan Pak Yasonna tak paham bidang tugasnya, saya lebih cenderung mengira wartawan salah memahami atau salah mengutip dari Pak Yasonna. Secara umum saya hanya menjawab bahwa Presiden tak perlu mengeluarkan perpres untuk mengesahkan kepengurusan Partai Golkar.

Bukan hanya tidak perlu, tetapi juga tidak bisa. Mengapa? Karena sebuah perpres di dalam hukum itu peraturan atau produk hukum yang bersifat mengatur (regeling), sedangkan pengesahan kepengurusan suatu partai merupakan bentuk keputusan yang bersifat penetapan (beschikking).

Di dalam hukum ada perbedaan mendasar antara regeling dan beschikking. Regeling (pengaturan) itu memberlakukan sesuatu yang bersifat abstrak umum, belum ada subjek dan objeknya yang spesifik, sedangkan beschikking (penetapan) itu memberlakukan sesuatu yang bersifat konkretindividual.

Contohnya sederhana. Adanya ketentuan bahwa setiap orang yang mempunyai penghasilan sejumlah minimal tertentu harus membayar pajak sekian persen adalah regeling (pengaturan), abstrakumum, berlaku bagi siapa saja. Tetapi, ketika ada seorang bernama Badrun mempunyai penghasilan sekian tertentu dan kemudian ditetapkan oleh kantor pajak kewajiban kepada Badrun untuk membayar pajak sebesar tertentu maka itu adalah beschikking (penetapan), konkretindividual.

Hanya berlaku bagi Badrun (individual) dalam pembayaran pajak (konkret). Penetapan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Badrun itu tidak bisa dikeluarkan dalam bentuk peraturan Direktur Jenderal Pajak, melainkan dalam bentuk keputusan atau penetapan kepala kantor pajak setempat.

Contoh lain misalnya utang piutang. Ketentuan bahwa barang siapa berutang harus membayar itu adalah regeling, berlaku bagi siapa saja. Ketika dalam suatu sengketa oleh pengadilan si Muis dinyatakan berutang dan harus membayar sejumlah uang tertentu, putusan pengadilan itu beschikking.

Hanya berlaku bagi Muis (individual) dalam masalah utang piutang tertentu (konkret). Pembedaan seperti ini sangat mendasar dan menjadi materi awal ketika mahasiswa Fakultas Hukum mulai belajar hukum administrasi negara. Mengapa penting? Sebab jika terjadi sengketa karena ada pelanggaran dalam pembuatannya, kompetensi peradilannya berbeda.

 Kalau pemerintah dianggap salah dalam membuat peraturan (regeling), upaya hukum untuk melawannya dilakukan melalui pengujian yudisial atau judicial review. Tetapi, jika pemerintah atau pejabat tata usaha negara dalam membuat keputusan (beschikking), upaya hukum untuk melawannya adalah ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau administratief rechtspraak atau bisa juga ke peradilan umum, bergantung pada isi keputusannya.

Maksudnya, jika keputusan yang akan digugat itu merupakan keputusan dalam bidang administrasi atau tata usaha negara, menjadi kompetensi PTUN untuk mengadilinya. Namun, jika keputusan yang akan dilawan itu dalam bentuk perbuatan biasa (materiale daad) di bidang keperdataan misalnya, menjadi kompetensi peradilan umum untuk mengadilinya.

Dalam kasus kisruh kepengurusan Partai Golkar itu, tentu tak bisa diselesaikan dengan perpres sebab Partai Golkar itu secara hukum adalah ”individual” dan masalahnya jelas menyangkut urusan kepengurusan yang sudah ”konkret”. Apa pun ujung kisruh Partai Golkar itu hanya bisa berbentuk beschikking baik dalam bentuk keputusan pemerintah maupun dalam bentuk vonis pengadilan.

Jadi secara hukum tak mungkin bisa ada Perpres tentang Kepengurusan Partai Golkar sebab perpres itu harus bersifat abstrak-umum (regeling). Sifat regeling dari kepengurusan parpol (termasuk pengaturan konfliknya) sudah termuat di dalam UU Partai Politik yakni pada bagian yang mengatur tata cara pendaftaran atau pencatatan susunan pengurus bagi semua parpol.

Penetapan kepengurusan Partai Golkar juga tak bisa dikeluarkan dalam bentuk keputusan presiden (kepres) yang bersifat konkret-individual (beschikking). Di dalam UU Partai Politik kewenangan menetapkan atau mencatat susunan pengurus parpol itu sudah didelegasikan kepada Menkum-HAM.

Untuk apa membawa-bawa Presiden lagi? Keputusan Menkum- HAM tentang itu sudah bersifat final tanpa perlu dikepreskan. Sebagai catatan, ada jua pandangan yang kurang tepat dari internal Partai Golkar sendiri terkait kompetensi PTUN untuk memerkarakan surat Menkum- HAM itu.

Menurut Pengurus Golkar kubu Aburizal Bakrie, pihaknya tidak bisa membawa kasus itu ke PTUN sekarang karena bentuknya baru berupa surat biasa dari Menkum-HAM dan belum berbentuk SK Pengesahan/ Pencatatan Pengurus. Ini keliru sebab sebenarnya, menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara, keputusan pejabat tata usaha negara bisa digugat ke PTUN meski tidak berbentuk SK resmi.

Keputusan yang dalam bentuk surat biasa, bahkan nota atau memo yang tidak berkop atau berstempel sekali pun, sudah bisa digugat ke PTUN asal pembuatnya jelas, objeknya jelas, dan tidak dibantah oleh yang membuatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar